Mengenangmu...

Aku tahu ini bulan April. Dimana hujan akan mengucapkan selamat tinggal pada tanah. Dimana selimut-selimut tebal mulai akan ditanggalkan, diganti baju singlet tipis. Anak-anak penjaja payung di depan pelataran Mall Ciputra akan menidurkan payung-payung mereka dan mungkin kembali ke perempatan . Seorang petani berdiri di tengah hamparan padi menguning di April ini. “Selamat datang musim kemarau”, begitu ujarnya. Suatu titik batas yang memang setiap tahun sudah membuatnya terbiasa dengan transisi. Semua berganti dan mengikuti siklus yang diciptakan. Hujan berganti panas- pagi berganti malam, dengan segala yang dibawanya. Barangsiapa yang tidak pernah siap dengan transisi musim, akan terbuang dari putaran zaman. Barang siapa yang tidak siap dengan perubahan, akan merana. Begitu juga denganku, aku harus siap.

Mas Transisi juga sedang menghampiriku**

Kaka Slank pagi ini menyapaku merdu. Kali ini musik yang menjadi orang pertama yang menyapaku setelah kau pergi. Aku bahkan tak pernah tahu kalau aku menyimpan sesal yang mendalam atas perbuatanku. Aku ingin kau datang. Tetapi seketika aku sadar, bahwa aku sedang menyiapkan sengsara di hidupmu. Sadar akan itu, lebih baik kiranya kalau aku menjauh saja. Mudah-mudahan kau membenciku dengan segala kesalahanku. Itu lebih baik kupikir. Entah bisikan darimana yang bilang bahwa kau bergelimang air mata. Disesaki kesedihan yang tak kuketahui seberapa dalam dasarnya. Aku hanya tahu, kau masih sakit hati. Ini pula yang membuatku tambah kokoh, bahwa kau lebih baik tanpa aku. Semua orang tahu bahwa kita tak akan mungkin bersatu. Apalagi di negara yang meletakkan ayat-ayat agama dan norma di depan bibir mereka. Bukan pada otak dan hatinya. Dan kau tahu, Socrates mati juga karena tirani mayoritas itu.

Meskipun kataku kau lebih baik tanpaku, aku tahu kau merasa akan lebih baik denganku. Dua titik persilangan yang memang harus kita letakkan di meja dialog. Bukan di ring tinju kehidupan. Yang satu harus dijatuhkan untuk menang. Tetapi cinta memang lebih senang berada dalam garis hitam putih. Kompromi lebih banyak selesai di dunia politik. Padahal yang kita butuhkan adalah kompromi. Inti persoalannya, bagaimana menjalani hubungan dengan Tuhan yang berbeda di negeri ini. Kenapa Titi Kamal Bisa ? Dan Lidya Kandow sudah punya anak 3 dengan Jamal Mirdad. Berarti kemungkinan itu tetap ada. Benar kemungkinan itu tetap ada, tetapi mari kita dudukkan secara kausistik hubungan Titi, Lidya dengan kita. Setiap hubungan itu unik, artinya tidak akan pernah ada kompleksitas yang benar-benar sama.

Setelah lama berdialog, bahkan sesekali sempat terpleset ke ring tinju pergulatan. Aku menyerah. Kau putus asa dengan keputusanku. Kubilang “ cinta tanpa harus memiliki”. Kau bilang “ cinta harus memiliki”. Perdebatan itu kemudian senyap ditinggal hati yang sama-sama remuk redam. Meja dialog yang basah karena air mata. Ditinggal sepasang kekasih yang tak lagi menempuh jalan yang sama ketika pulang. Apakah memang cinta itu bersekat ?. Bukankah Ken Arok Yang berkasta Sudra bisa saling mencintai dengan Dedes yang Brahmana ?. Kini aku tahu sejarah juga mencatat tentang pengkotakan cinta ke dalam sekat-sekat yang boleh dan tidak boleh. Cinta itu ternyata bukan sesuatu yang bebas ditujukan kepada setiap makluk manusia. Cinta itu diskriminatif. 

Sore ini mungkin hujan terakhir di bulan April, aku tak tahu apakah hujan ini datang untuk menghapus jejakmu. Aku bingung hendak memayungi jejakmu agar tidak larut dibawa air. Ataukah kurela saja agar jejak itu bisa kau jejakkan di hati yang lain ?.

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :