LADY GAGA dan STANDAR GANDA NEGARA


Terancam batalnya konser Lady Gaga memiliki makna khusus terhadap gambaran situasi yang tengah dihadapi bangsa ini. Kontroversi mengenai konser penyanyi pop asal Amerika Serikat itu mencerminkan bagaimana bangsa ini menyikapi masuknya kultur asing yang tidak mencerminkan kepribadian masyarakatnya. Opini penulis tidak dalam rangka membahas penolakan atau dukungan terselenggaranya konser tersebut, melainkan untuk memberi gambaran lain tentang bagaimana seharusnya aparat, tidak hanya soal menyikapi Sang Lady, juga harus bersikap tegas pada perilaku ‘ekstremis’ atas nama agama yang jelas-jelas bukan merupakan identitas bangsa ini.

Adalah ormas-ormas agama yang paling keras menyuarakan penolakan terhadap konser Lady Gaga yang kerap tampil eksentrik. Alasanya cukup mudah ditebak, Lady Gaga dianggap representasi budaya barat yang tidak cocok dengan nilai-nilai ketimuran, baik itu dari cara berpakaian sampai bertingkah laku. Oleh karenanya, para penentang Lady Gaga memberi masukan kepada kepolisian untuk tidak memberi izin berlangsungnya konser tersebut. Akhirnya, berdasar pertimbangan masukan dari ormas-ormas penentang konser, kepolisian tidak memberikan rekomendasi diadakanya konser. Namun ironisnya, aparat kepolisian yang sigap menyikapi konser Gaga itu tidak berkutik ketika bangsa ini diinfiltrasi oleh Ideologi Islam Timur Tengah yang disemai via ormas-ormas fanatik lengkap dengan vandalismenya yang, sama seperti kultur barat, tidak sesuai dengan Ideologi Pancasila. Apakah ini pertanda, jikalau negara diam-diam punya standar ganda ?

Bukan Ke-barat-an, Bukan Ke-arab-an
Sama halnya dengan pribadi manusia, sebuah bangsa juga harus selektif terhadap pengaruh-pengaruh yang datang diluar dirinya. Seorang individu yang mencontoh mentah-mentah pengaruh luar, akan terombang ambing dalam menentukan jati dirinya. Proklamator kita, Bung Karno pernah melarang musik asing (musik ngak ngik ngok), masuk ke Indonesia, sebagai strategi politik kebudayaan Bung Karno dalam menjaga kepribadian, identitas dan jati diri bangsa. Presiden pertama republik itu dalam Pidato 17 Agustus 1959 yang bertajuk ”Penemuan Kembali Revolusi Kita” mengatakan “Kenapa di antara engkau banyak yang tidak menentang imperialisme kebudayaan? Kenapa di kalangan engkau banyak yang masih rock n’roll—rock n’roll-an, dansa-dansian ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak-ngik-ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi....”.

Apa yang dikhwatirkan Bung Karno seakan-akan mewujud pada masa-masa sekarang di mana generasi muda kita telah mati muda dalam melunasi janji kemerdekaan. Upaya mengisi pembangunan diseberang jembatan emaskemerdekaan dipenuhi oleh perilaku hedonis-vadalis. Generasi muda hari ini adalah generasi pemuja berhala budaya asing. Terlelap dalam pelukan kapitalisme-liberalisme yang menjanjikan mimpi-mimpi surga hedonis. Aksi geng motor, tawuran, seks bebas, narkoba, gaya hidup konsumtif, individualisme merupakan deretan potret-potret buram anak-anak muda Indonesia. Sungguh miris, nation and character building dalam kerangka berkepribadian di bidang budaya kini sudah tidak punya ruh. Generasi muda kita ”mati muda” dalam kemudaanya.

Pun dengan Ideologi Islam Timur Tengah yang coba diterapkan sekelompok ormas garis keras sebagai jawaban carut marutnya problematika bangsa. Ormas-ormas tersebut secara terang-terangan memperjuangkan ideologi disertai dengan kekerasan yang vulgar. Menurut Gus Dur, yang bertahun-tahun menimba ilmu di Timur Tengah, universalitas Islam dibangun tidak melalui satu model kebenaran Islam yang hanya mengacu pada praktik beragama di tanah Arab untuk dipaksakan di Indonesia. Pembumiannya justru pada kesadaran kultural nusantara dan pertemuan dengan kebhinekaan yang lainlah yang membuat Islam menyatu dengan ke-Indonesia-an kita yang plural.

Kekerasan atas nama pemurnian dan perlindungan terhadap agama dilakukan ormas mulai marak terjadi sejak awal 2000-an. Sepanjang 2007- 2010 Markas Besar Kepolisian Indonesia mencatat paling tidak terjadi 107 kekerasan yang dilakukan organisasi kemasyarakatan (ormas) berbasis keagamaan maupun primordialisme etnis. Pada 2007 ada 10 tindak kekerasan. Pada 2008 ada 8 kali. Pada 2009 ada 40 kali, sementara pada 2010 ada 29 kali. Data Mabes Polri ini diperkuat dengan data yang dikeluarkan Setara Institute, yang menunjukkan sepanjang 2009-2010 terjadi sebanyak 183 kekerasan atas nama agama dilakukan aktor non-negara.

        Aparat Jangan Diskriminatif
Pembatalan rekomendasi konser Lady Gaga di satu sisi dan pembiaran aparat terhadap kekerasan agama di sisi lainya tidak berada dalam neraca yang seimbang. Dalam catatan Kontras tentang Evaluasi Kinerja Polri 2010 – 2011, tampak pembiaran polisi terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kelompok-kelompok agama. Berdasarkan pemantauan Kontras pada tahun 2010 – 2011, sebanyak 36 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat di wilayah Indonesia. Dari keseluruhan peristiwa tersebut, aparat Polri berada di lokasi namun tidak melakukan tindakan hukum yang tegas. Pembiaran juga terjadi pada beberapa indikasi kejahatan yang sebenarnya sudah muncul di kalangan masyarakat dalam konteks penyebaran kebencian (hate speech) di tempat ibadah atau wilayah publik lainnya. Namun, aparat kepolisian tampak gamang dan bahkan memilih untuk membiarkan penyebaran tersebut terjadi di masyarakat.

Dalam Pembukaan UUD 1945, salah satu tujuan pemerintah negara Indonesia dibentuk adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Namun, melihat pembiaran negara terhadap kekerasan atas nama agama membuat hati kita terenyuh sangat. Negara gamang dan gampang didikte oleh ormas. Kewibawaan negara diinjak-injak dan gagal mewujudkan maksud dan tujuan dibentuknya pemerintahan yang melindungi warga negaranya sebagaimana yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. Patut kita catat sudah dua kali Presiden SBY mengeluarkan pendapatnya mengenai ormas anarkis. Pertama, pada saat memperingati hari Pers Nasional di Kupang NTT pada tahun 2011. SBY menginstruksikan agar organisasi massa yang menciptakan keresahan ditindak tegas, jika perlu dibubarkan. Instruksi Presiden tersebut dijawab ormas dengan angka 20 kasus kekerasan pada tahun 2011. Bahkan yang cukup menarik, salah satu ormas malah mengancam balik akan menggulingkan pemerintahan SBY.

Peristiwa kedua, pernyataan Presiden SBY pada saat jumpa pers di Istana tanggal 13 Maret 2012, dimana SBY meminta ormas anarkis untuk melakukan instrospeksi. Sungguh disayangkan, karna secara tidak langsung, Presiden menganggap solusi anarkisme ormas hanyalah sebatas instrospeksi yang sudah tentu tidak akan digubris. Fakta ini juga bermakna bahwa ormas-ormas fundamentalis tersebut menganggap remeh posisi SBY sebagai kepala Negara dengan tidak mengindahkan instruksi presiden tersebut.

Dalam perspektif Hak Asasi Manusia, pembiaran yang dilakukan negara (Kepolisian) ini dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia melalui pembiaran. Hal ini jelas bahwa representasi negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban dalam negeri (Kepolisian) telah melanggar, mengabaikan tugas dan kewajibannya dalam rangka memberikan pengamanan, perlindungan, dan pengayoman kepada warga negara sebagaimana diatur dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI.

Indonesia bukanlah bangsa yang kebarat-baratan juga bukan kearab-araban. Indonesia adalah Indonesia. Bangsa yang memiliki karakter khas dalam peta kultur dunia. Untuk itu, pemerintah harusnya tampil sebagai sosok penyeleksi kultur maupun tindakan yang tidak sesuai dengan ideologi Pancasila. Baik itu kultur yang di cap “barat” maupun Ideologi Timur Tengah yang dianggap tidak cocok diterapkan di Indonesia. Keduanya harus disikapi tegas. Bukan menindak yang satu dan membiarkan yang lain. Jikalau pemerintahan ini berwibawa, kami rakyat Indonesia, menantang keberanian untuk bersikap tegas menindak pihak-pihak yang tidak sesuai dengan Ideologi bangsa.

Adi Surya Purba
Tenaga Ahli Anggota DPR-RI
Alumni Fisip Unpad

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :