Siapa Terdidik, Akan Menang


Siapa Terdidik, Akan Menang
            Semua yang ditanya apakah pendidikan memegang posisi yang sangat penting dalam memajukan sebuah negara akan menganggukkan kepala. Namun, saat berbicara tentang aksi menjadikan pendidikan sebagai sarana mencetak sumberdaya manusia yang memiliki ruh kompetisi,belum tentu semua akan mendukungnya. India punya Bangalore dimana wilayah itu juga disebut “Silicon Valley” tempat berkumpul ribuan perusahan teknologi informasi dunia. Bangalore menyediakan kwalitas manusia yang sangat siap dengan apa yang sedang dan akan terjadi dalam arus besar perobahan peradaban. Kelebihan India dari kawasan lain adalah kualitas pendidikannya yang luar biasa. Keberuntungan mewarisi tradisi penjajah bangsa Inggris, membuat pendidikan menjadi nyawa pembangunan India. Cerita dari Bangalore di atas seharusnya menampar kedua pipi kita bahwasanya kita masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia lainnya. Apakah setelah itu kita sadar atau tidak ?. Ini berada dalam wilayah komitmen semua pihak.
            Di era globalisasi ini, invetasi modal finansial juga harus disertai dengan investasi sumber daya manusia. Mesin atau teknologi yang diimport dari luar, tidak akan bisa dijalankan oleh tenaga lokal ketika tidak ada satupun anak negeri yang bisa mengoperasikannya. Sumber daya alam yang terserak tidak akan bisa digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, saat kita masih memakai tangan asing yang hanya peduli pada profit semata. Investasi finansial ada di wilayah penguatan ekonomi, sedangkan kualitas manusia ada dalam wilayah pendidikan. Ternyata kita masih berjalan separuh arena, kita belum bulat dalam bentuk, belum seirama dalam alunan. Indikasinya, sejak merdeka, baru beberapa tahun yang lalu politik anggaran berpihak pada pendidikan sebesar 20 persen. Itupun diduga tidak penuh karena dibebankan dengan gaji pendidik. Indikasi lainnya, adalah gejala bagaimana cara melakukan evaluasi belajar yang bermutu. Contohnya adalah Ujian Nasional (UN) tidak pernah sepi dari pro kontra. Lantas bagaimana kita melaksanakan amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD, mencerdaskan kehidupan bangsa ?
            Matra pendidikan kita baiknya fokus pada bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap. Selama ini kita masih berada dalam wilayah pengetahuan. Padahal, saat batas negara semakin menipis, persaingan semakin ketat, maka keterampilan dan sikap layak untuk kita kembangkan. Dengan modal pengetahuan, memiliki keterampilan yang didukung oleh sikap yang positif tentunya tidak akan membuat kita menjadi bangsa kuli atau kuli diantara bangsa-bangsa. Guru Besar Universitas Waseda Jepang, Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya,barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
            Investasi pada awalnya memang memerlukan pengeluaran,namun investasi pendidikan tidak akan pernah merugikan. Disamping itu ada hal yang tidak tampak namun penting yakni good will dari semua pihak khususnya penyelenggara negara. Karena pemerintah punya potensi melenceng, maka juga butuh elemen kontrol sosial yang juga kuat. Semua punya hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan peran. Namun yang tetap harus diingat, pendidikan gratis maupun yang murah dan berkualitas adalah harga mati bagi bangsa yang ingin jadi tuan dinegeri sendiri, bukan bangsa kuli, budak diantara bangsa-bangsa.
Adi Surya
Mahasiswa Fisip Unpad
Aktivis GMNI

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :