Penggusuran (Tidak ) Dengan Hati


                Louis Althusser pernah mengatakan tentang Represif State Aparatus (RSA) yang menggambarkan aparat negara yang menggunakan tindakan-tindakan represif demi kepentingan bangsa. Fenomena RSA ini di Indonesia tampak sejak zaman orde baru dimana militer memonopoli tafsir tentang tindakan represif bagi penentang pancasila dan pengganggu pembangunan. Nyatanya, tindakan represif ini tidak hilang walaupun militer telah kembali ke barak. Nilai-nilai kekerasan  mendapat pewarisnya dalam jubah-jubah yang lain. Hari ini kita bisa melihat itu pada tubuh Satpol PP. Tindakan represif yang mereka gunakan selalu dialaskan dengan masyararat yang tidak mau ditertibkan. Sejenak kita pantas menggantung tanya, dimana kedudukan rakyat dalam negara demokrasi yang disepakati bersama ?
                Rakyat sebenarnya bukan tidak mau tertib. Maraknya bangunan dan aktivitas liar yang melanggar izin tumbuh subur karena bukan keinginan mereka. Semisal, tanah disewakan kepada penduduk untuk beraktivitas (tempat tinggal atau tempat berdagang) tanpa pernah diberitahu resiko bahwa lahan tersebut merupakan milik negara yang tidak boleh dipakai sesuka hati. Kedua, masyarakat kecil dijebak oleh oknum-oknum. Masyarakat seolah-olah dibiarkan membangun bangunan di lahan milik privat/negara dengan membayar uang sewa. Ketiga, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat oleh negara. Padahal dalam konstitusi, jelas tercantum tugas negara adalah melindungi segenap rakyat Indonesia. Sehingga, ketika ada pemberitahuan bahwa tanah tempat mereka akan digusur, muncul protes yang selalu dipadamkan dengan filosofi “pangkas rumput liar”.
                Dalam Undang-undang nomor 33 disebutkan bahwa tanah, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bunyi undang-undang tersebut terasa hambar ketika dibenturkan dengan realita negara lebih suka menjual tanah pada asing dan pihak-pihak yang dianggap menguntungkan. Disini, tampak kedaulatan rakyat “dibunuh” dalam ruang demokrasi. Mereka hanya menjadi tuan saat pilkada dan kemudian menjadi orang asing di negeri sendiri. Jika pancasila kita bedah, dalam sila kedua jelas dikatakan, kemanusiaan dan adil dan beradab dan sila kelima mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, bangsa ini menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan perikemanusiaan untuk setiap warga negara Indonesia.
                Jadi, tampak kontras tindakan represif Satpol PP terhadap warga yang di sisi lain juga punya hak untuk hidup, mendapat tempat tinggal layak, berusaha dan menggunakan aset bangsa ini untuk kemakmurannya. Meskipun mereka dikatakan menyalahi  izin, bukan berarti mereka juga diperlakukan tidak manusiawi. Mereka harus diperlakukan secara manusiawi. Selain itu, peraturan jangan lantas membelenggu dan menindak tanpa solusi. Penggusuran harus dilakukan disertai solusi dengan prinsip partisipasi. Kenapa partisipasi penting, karena masyarakat juga berhak menentukan apa yang terbaik untuk kehidupannya.
                Sudah waktunya aparatur negara memperlakukan rakyatnya sebagai tubuh-tubuh yang dewasa. Artinya, tidak lagi menindak seperti “mengusir binatang”, namun juga memenuhi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Aparat yang menggunakan pendekatan partisipatif dan kekeluargaan akan membuat suasana menjadi dialogis. Rakyat jika diperlakukan kasar, maka akan dibalas dengan kasar. Rakyat jika perut dan rumahnya tidak diperhatikan negara, maka akan menyerobot tanah negara. Jika kita kembali ke akar masalah, pendirian bangunan tanpa izin hanya gejala, akarnya masalahnya adalah mari kita bertanya  bagaimana pemerintah selama ini mengurus rakyatnya ?

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :