Korupsi Tanpa Wajah


Malam menjemput perlahan. Suara televisiku belakangan ini dipenuhi oleh komentar-komentar orang-orang yang katanya “pakar”, “ahli”, “menguasai di bidangnya” perihal kasus Gayus. Aduh, cape juga nonton berita yang itu-itu lagi. Gayus jadi artis dalam sekejap. Ternyata untuk jadi artis pun ga perlu menapak dari bawah, tapi cukup dengan korupsi. Tapi yang agak gede dikit, kalau kecil-kecilan, media ga mau muat. Dan kalau uang yang dirampok gede, itu santapan lezat buat para kuli tinta yang kaya raya. Biasalah bro, media kita masih menganut mainstream, bad news is a good news. Dalam hati, aku bilang, “kalau gitu pantes berita Indonesia bagus-bagus semua, wong isinya berita buruk semua”. Hehehe

Kenapa ya Gayusisme atau bahasa kerennya, maling, udah jadi biasa di bangsa ini. Karena udah biasa, justru malah dimaklumi dan biasanya tindakan yang dimaklumi, akan mulai ditiru. Apa maksudnya mas ? hmm, gini loh, kalau sampean mendengar, ada orang makan ular. Apa yang dirasakan ? pasti jadi pikiran dan keheranan yang luar biasa sambil ngucap “mengerikan” atau “kaya binatang” atau apa aja deh makian favorit khas orang indonesia. Intinya, perbuatan itu dianggap abnormal. Nah, kalau diandaikan makan ular sama dengan seorang yang korupsi, maka anda juga pasti memaki juga toh. Sekarang bayangkan yang makan ular itu banyak orang, dan kuping anda juga sudah biasa dengar “ ular enak juga loh”, atau temen anda bilang “ gw baru aja makan empedu ular, muantap coy”. Setelah frekuensi makan ular itu semakin sering kita dengar, maka semakin wajar dan maklum pula kita melihat seseorang memakan ular, bahkan lebih jauhnya, kita pun menjadi pemakan daging ular.

Begitu juga korupsi, semakin sering dan semakin banyak yang melakukan. Perbuatan itu ga lagi “aib”, bukan lagi perbuatan yang sembunyi-sembunyi, ga tabu lagi. Karena apa ? karena korupsi sudah dilakukan oleh para anonim (banyak wajah). Logikanya, tindakan yang dilakukan para anonim-anonim, lambat laun menjadi perbuatan yang biasa saja yang toh dilakukan semua orang. Itulah sebabnya, pas ngurus KTP, camat atau lurah ga malu ngomong uang pelicin. Itu juga sebabnya kenapa pas ngurus KTP, kita ga malu nanya berapa uang pelicinya. Bahkan kalau kita ga lakuin tindakan suap,korup dan seabrek perilaku tercela, malah kita yang jadi abnormal. Edan ga ?

Terus kemaren ada pengamat politik bilang “ satu orang jujur,masuk ke 9 orang korup, bisa dipastikan, bulan depan calon tersangka (kalau ga di depan hukum ya di depan Tuhan), bakal bertambah satu. Artinya, kejahatan korupsi bukanlah bersifat personal, melainkan berkaitan dengan sistem. Siapapun orangnya ketika masuk dalam sebuah sistem yang korup, dikasi pilihan 2 biji. Keluar atau bergabung dengan jaringan mafia maling negara. Kalau keluar, anak istri ga makan, kalau bergabung, masuk neraka. Ckckcc...ga ada pilihan lain apa mas...nasib..nasib..

Terus korupsi itu bukan berdiri sendiri, kaya tiang. Tapi saling berkaitan dengan kondisi sosial,ekonomi dan budaya. Kondisi sosial ya itu tadi, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, kalau ekonomi, sifat serakah manusia. Bayangkan udah kaya masih aja korup. Jadi tolong ya, jangan seenaknya aja ngomong minta tambah gaji para pejabat, kalau cuma alasan doang.Jangan sok memuji remunerasi, toh kalau ga ada udang dibalik batu. dan ketiga ,budaya, korupsi udah jadi adat baru di Indonesia dengan budya manusianya yang tidak pernah puas, suka jalan pintas, lebih mementingkan hasil daripada proses. Korupsi itu multicausal booo...

Apa sih yang edan di republik ini. Mungkin variasi tindak kejahatan semua ada di sini. Indonesia adalah miniatur neraka versi dunia. Hehehe, bodoh amat kata orang menghina negeri sendiri, wong dihina aja, ga sadar-sadar. Uppsss, ngomongin kesadaran, wah berat urusannya. Sadar berarti membangunkan ketidaktahuan,menyadarkan ketidaksadaran. Dan itu ga gampang. Sama kalau menyadarkan orang yang udah pingsan (alhamdulilah belum mati), susah bukan ? ya lebih susah dibandingin bangunin orang tidur. Oh, masihkah kita segede ini minta disadarkan ?

Ada yang bilang hukum mati aje..nah lo, coba bayangin, memang pada awalnya masyarakat akan takut dengan hukuman, tapi jangan lupa, kejahatan selalu lebih maju dibanding hukum. Karena itu pula China ga sukses dengan hukuman matinya. Kita selalu fokus pada hukuman,bukan pada penyadaran. Asumsinya, untuk mencegah korupsi ya bukan mengandalkan hukum saja, tetapi ya lewat pikiran manusianya. Kalau pikiran kita clear untuk tidak korupsi, ga perlu hukuman mati deh..tapi ini pula yang sulit memang, mengubah pikiran sulit karena kita bukan robot. Dan kalau anda berharap revolusi pemikiran akan terjadi dalam wakktu dekat, hmm jangan ngarep deh..merubah mind set  itu puluhan tahun mas. Pikiran dipengaruhi lingkungan-lingkungan adalah nilai-nilai yang hidup dan diciptakan orang-orang-dan orang-orang berpikir-untuk berpikir benar, butuh alat berpikir benar- kita butuh lembaga. Apakah itu sekolah maupun organisasi terkecil, keluarga.

Rumus iseng saya, tindakan baik dilakukan dengan  sadar, dan kesadaran berbuat baik dipengaruhi oleh lingkungan (artinya bisa di rekayasa sosial) melalui lembaga formal/informal sehingga melahirkan budaya bangsa yang juga baik. Wah sudah malam...mau melanjutkan nonton TV lagi...eh...ada kasus Priok ya ? Maaf mau nonton dulu yo...Wassalam...

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :