Merajut Jiwa Kewirausahan Dari Kampus

Merajut Jiwa Kewirausahan Dari Kampus

Pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia, berbagai sektor yang dianggap vital bagi pemenuhan keberlangsungan hidup masyarakat menjadi porak-poranda. Sampai saat ini, persoalan kemiskinan dan pengangguran seakan menjadi masalah yang tiada pernah terpecahkan. Data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2007 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, angka pengangguran terbuka berkurang menjadi 9,75 persen dibandingkan dengan periode Agustus 2006 yang besarnya 10,28 persen. Meskipun menurun, jumlah penganggur dari kalangan perguruan tinggi justru meningkat. Jika pada Agustus 2006 penganggur dari kalangan terdidik ini sebanyak 673.628 orang atau 6,16 persen, setengah tahun kemudian jumlah ini naik menjadi 740.206 atau 7,02 persen. Ini menunjukkan lulusan perguruan tinggi berpeluang menambah panjang deretan jumlah pengangguran.

Jika kita mencermati kondisi saat ini, jumlah pembukaan lapangan kerja sangat timpang dengan jumlah pencari kerja. Setiap tahunnya perguruan tinggi meluluskan ribuan mahasiswa untuk diserap pasar kerja. Namun, lulusan tersebut tidak dapat diserap seluruhnya oleh pasar dikarenakan lahan pekerjaan yang tidak sebanding. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi para pencari kerja yang berpotensi menjadi penganggur-penganggur baru, salah satunya adalah membekali mahasiswa sejak dini dengan pendidikan kewirausahaan melalui peran kampus.Wirausahawan dianggap akan mampu mendinamiskan perekonomian ke arah yang lebih baik. Dengan inovasi kreatif yang berupa penemuan-penemuan baru, diyakini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

Machfoedz dan Machfoedz (2004) berpendapat wirausahawan adalah orang yang bertanggungjawab dalam menyusun, mengelola dan mengukur resiko suatu usaha bisnis. Dengan demikian, wirausahawan adalah inovator yang mampu memanfaatkan dan kesempatan menjadi ide yang dapat dijual atau dipasarkan, memberi nilai tambah dengan memanfaatkan upaya, waktu, biaya, atau kecakapan dengan tujuan mendapat keuntungan. Seperti diketahui, gerakan kewirausahaan sudah dilakukan pemerintah sejak 12 tahun lalu. Pemerintah melalui Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1995 mencanangkan Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Tujuannya untuk menumbuhkan budaya kreatif, inovatif, di masyarakat, baik di kalangan dunia usaha, pendidikan, maupun aparatur pemerintah. Namun, lagi-lagi kebijakan ini tidak terlaksana dengan baik di tataran implementasi juga dipengaruhi cara berpikir masyarakat terhadap sebuah pekerjaan.

Banyak lulusan perguruan tinggi yang masih bermental pencari kerja. Padahal dengan kemampuan dan potensinya,mahasiswa seharusnya bisa menjadi pencipta kerja. Kemudian, peran perguruan tinggi dan pemerintah dianggap kurang serius dalam mencetak dan menumbuhkan mental-mental wirausaha. Jadi perlu usaha yang sistematis dengan komitmen kuat dari masing-masing elemen untuk bekerja sama.

Jiwa dan mental wirausaha dapat dimunculkan melalui dua faktor. Pertama, faktor keturunan dan kedua lingkungan. Penelitian yang dilakukan oleh Mc Clelland tahun 1961 di Amerika Serikat menunjukkan 50 persen pengusaha yang menjadi sampel penelitiannya (diambil secara acak) berasal dari keluarga pengusaha. Hal sama juga terjadi dalam penelitian Sulasmi pada 1989 terhadap 22 pengusaha wanita di Bandung menunjukkan 55 persen pengusaha tersebut memiliki keluarga pengusaha (orangtua, suami atau saudara pengusaha). Begitu juga dengan peran lingkungan, sebagai contoh, lulusan dari ITB dan IPB kebanyakan menjadi wirausahawan dan profesional yang andal. Kedua institusi ini juga mempunyai lembaga kewirausahaan (inkubator) yang terkemuka. Hal ini disebabkan kedua perguruan tinggi tersebut mendidik mahasiswa baik secara konseptual maupun teknikal.

Kampus sebagai pabrik ilmu pengetahuan seharusnya bisa menjembatani persoalan ini. Perubahan paradigma yang terlalu menekankan aspek kognitif (pengetahuan ) sebaiknya diberi porsi yang seimbang dengan keterampilan. Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk menanamkan mental wirausaha dari kampus. Pertama, mengintegrasikan pendidikan kewirausahaan ke dalam kurikulum. Kedua, menjalin kerja sama dengan pengusaha (link and match). Peran pengusaha selain bisa menjadi trainer, juga bisa jadi model dan penyambung teori dalam ranah praktik. Selain itu, pengusaha bisa jadi partner untuk menampung produk-produk yang dihasilkan. Ketiga, pemerintah perlu menyediakan bantuan pada pihak kampus untuk menyediakan pasar untuk menyerap hasil karya kreatif wirausaha-wirausaha muda.

Adi Surya

Mahasiswa Kesejahteraan Sosial

Fisip Unpad 2004

ucox-komdis@yahoo.com

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :