Berlomba Menjadi Kutu Loncat Politik

Berlomba Menjadi Kutu Loncat Politik

Dalam dunia politik dikenal diktum “tidak ada kawan dan lawan abadi, yang kekal hanyalah kepentingan”. Mungkin prinsip ini yang menjadi penjelas sementara dari hengkangnya beberapa politikus dari satu parpol ke parpol lainnya menjelang pemilu. Dalam politik memang semua hal bisa terjadi, bahkan yang tidak pernah terpikirkan sekalipun oleh kita. Coba bayangkan ada politikus yang berpindah ke partai yang memiliki perbedaan ideologis yang cukup kontras. Fenomena lompat pagar ini diyakini oleh beberapa pihak sebagai bentuk pragmatisme elit dan cukup untuk menjelaskan bahwa motivasi untuk menjadi abdi rakyat hanya bungkus palsu untuk menutupi borok perilaku haus kekuasaan. Walaupun dunia politik adalah dunia yang tidak bisa ditebak arahnya, namun ada seperangkat aturan berupa etika politik untuk mengawal politik tetap berada dalam rel normatifnya.

Saat ini ada beberapa politikus yang memiliki hobi menjadi petualang di dunia politik yakni Zaenal Ma’arif yang lepas dari PPP pindah ke Partai Demokrat dan tercatat juga 14 anggota FPBR, 11 menyeberang ke PPP. Mantan pendiri Partai Demokrat Vince Rumangkang, bahkan kini menjadi Ketua Umum Partai Barisan Nasional (Barnas). Di Hanura ada Fuad Bawazier yang sebelumnya bergabung di PAN, kini menjadi dedengkot partai pimpinan Wiranto. Ada juga Djafar Badjeber yang mulanya di PBR, kini menjadi salah satu Ketua DPP Partai Hanura. Aktor Anwar Fuady yang dulu dekat dengan Partai Golkar, kini menjadi caleg Partai Hanura. Gusti Randa yang pernah menjadi caleg dari PKB juga pindah ke Hanura. Tentunya masing-masing dari mereka yang memutuskan pindah, memiliki alasan-alasan bergabung dengan partai lain.

Untuk menjelaskan apa sebenarnya motivasi dari para kutu loncat tersebut, kita akan menggunakan teori motivasi sebagai konstruk pikiran (cognitive construct) dari Albert Bandura. Di sini, Bandura (1977), menjawab bahwa manusia belajar melalui lingkungan sosialnya dengan menggunakan konstruk pikiran. Konstruk pikiran manusia bersumber dari dua hal , pertama, gambaran masa depan (future outcomes) seperti keinginan, cita-cita, harapan, mimpi-mimpi yang melahirkan munculnya dorongan tertentu bagi tingkah laku. Atau dengan bahasa yang lebih mudah, ketika seseorang menentukan masa depan, ia akan terdorong mencapainya dengan menghasilkan tingkah laku untuk meraih masa depan tersebut. Kedua, penetapan dan substansi tujuan ( setting goals), yaitu pilihan seseorang terhadap tujuan di balik gambaran masa depannya agar dapat dievaluasi. Dengan kata lain, seseorang menetapkan tujuan substansial dalam beraktifitas sehingga mendorong dirinya menampilkan tingkah laku tertentu.

Kutu loncat secara sederhana dapat didefenisikan sebagai perilaku seorang politikus yang dianggap kurang konsisten dengan pilihan politiknya dan cenderung berpindah-pindah tanpa alasan yang prinsipil dari partai yang satu ke partai yang lainnya. Biasanya kutu loncat tidak mempersoalkan apakah partai yang baru dimasuki bertentangan secara ideologi atau prinsip dengan dirinya sendiri. Kutu loncat memang lekat dengan perilaku negatif dalam etika politik. Hal ini lebih disebabkan karena kebanyakan alasan pindah parpol tidaklah dianggap sebagai hal yang prinsipil. Jarang sekali politisi di tengah jalan pindah dikarenakan tidak sepaham dengan ideologi partai. Kebanyakan dikarenakan tidak lagi merasa diakomodir oleh partainya yang lama dan ada kecenderungan untuk pindah ke partai yang sedang naik daun ataupun partai baru yang dianggap bisa memuluskan jalan menuju lingkaran kekuasaan. Ada juga yang dikarenakan kalah dalam pertarungan memperebutkan pengaruh di partai, yang paling banyak karena tidak dimasukkan ke dalam daftar caleg sehingga memunculkan aroma oportunisme , pindah hanya demi mengejar keuntungan pribadi.

Dalam memilih alat perjuangan politik berupa partai, tentunya politisi sudah memiliki pertimbangan matang dan uji kecocokan sebelum memutuskan untuk bergabung. Baik itu dari segi ideologi, cara berjuang, nilai dan norma partai. Hal-hal tersebut terlebih dahulu disesuaikan secara sadar dengan nilai-nilai dan keyakinan . Jadi motivasi pindah parpol karena alasan ideologis, akan sangat tipis kemungkinannya menjadi faktor determinan. Seandainya pun alasan kutu loncat politik diakibatkan oleh hal yang prinsipil, pertanyaan berikutnya adalah kenapa baru lompat pagar menjelang momen pemilu ?.

Dari sini terlihat motivasi politikus kutu loncat adalah semata-mata adalah penghalalan pragmatisme politik demi mengejar kekuasaan. Mimpi atau cita-cita politikus hari ini tidak lagi beralaskan kesejahteraan rakyat, bukan lagi sebagai pelayan dan penyambung lidah rakyat, melainkan bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan semata. Politisi yang pindah parpol dengan bingkai merebut kekuasaan tentunya akan melakukan tindakan apapun untuk mencapai tujuannya. Tujuan berupa kekuasaan tersebut kemudian menggerakkan perilaku untuk berpindah parpol. Setali tiga uang, hasrat berkuasa para drakula politik tersebut bertemu dengan maraknya partai baru yang sedang open recruitmen untuk posisi-posisi strategis. Tak ayal, peluang ini ditangkap oleh politisi-politisi yang haus kuasa dan merasa tidak terkomodir untuk segera bergabung dengan partai baru tersebut.

Kutu loncat bukanlah politisi yang memiliki karakter ideologi yang kuat. Satu-satunya ideologi yang dijunjung tinggi hanyalah pragmatisme politik. Ketiadaan karakter ideologi yang kuat ini ditengarai disebabkan oleh peran partai yang memang lemah dalam menggembleng kader-kader yang berideologi kuat. Partai lebih suka mencari-cari celah untuk mencari atau mempertahankan kekuasaan dibanding pembenahan kaderisasi dan melaksanakan peran partai di masyarakat. Atau dengan kata lain, partai di Indonesia belumlah menjadi partai kader yang memiliki landasan ideologi yang dipegang teguh oleh setiap kadernya. Malah, kecenderungannya partai yang mengaku sebagai partai kader lebih suka menampilkan diri sebagai partai massa.

Menurut Yasraf A. Piliang dalam bukunya berjudul Transpolitika, ada semacam nomadisme yang tidak saja merupakan kecenderungan psikologis, khususnya psikologis politik yang menghinggapi politisi kita. Nomadisme politik digerakan oleh semacam mental nomad (nomad psychology), yaitu kondisi psikis para politikus yang dicirikan oleh sifat inkonsistensi, tidak pernah menetap, dan tanpa ketetapan (ucapan, diri, identitas, keyakinan, ideologi). Ia hidup di dalam semacam ruang petualangan politik, yang didalamnya diri, simbol, identitas, dan ideologi menjadi semacam pakaian yang dengan mudah ditukar dengan kekuasaan, dan keyakinan (politik, agama, cultural) dapat ditukar dengan sebuah kursi.

Akibat yang ditimbulkan dari kutu-kutu loncat ini bukannya tidak ada. Kutu loncat hanya akan meimbulkan kecemburuan di dalam partai. Kader-kader yang merangkak dari bawah dan sudah antri untuk bisa dinominasikan partai menjadi pejabat publik, harus gigit jari ditelikung oleh orang baru yang langsung mendapat posisi-posisi strategis. Dalam jangka panjang, selain menumpulkan proses regenerasi , tentunya akan menanam api dalam sekam di tubuh partai. Kutu loncat juga tidak memberikan pembelajaran politik yang baik bagi masyarakat. Di budaya kita yang masih paternalistik, terkadang perilaku elit menjadi teladan dan contoh untuk diikuti di tataran grass root. Masyarakat disuguhkan contoh budaya jalan pintas dalam menggapai sesuatu tujuan. Padahal, sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, rakyat berhak untuk mendapat hak dalam pendidikan politik yang cerdas.

Sebenarnya, perpindahan antar parpol merupakan hak politik seseorang yang tidak bisa dibatasi oleh siapa pun. Sah-sah saja ketika seorang politikus memutuskan untuk bergabung di wadah manapun, namun yang harus menjadi catatan sebenarnya adalah lebih pada alasan kepindahan tersebut. Jika pindah hanya karena like and dislike atau sakit hati karena tidak dicalonkan lagi jadi caleg dan faktor-faktor yang tidak substansi lainnya, perilaku pindah parpol hanya akan menelanjangi nafsu berkuasa politisi. Lain halnya jika memang kepindahan itu sendiri sebagai bentuk reaksi terhadap kekecewaan buruknya wajah parpol, sehingga memunculkan perlawanan idealisme dalam bentuk hengkang ke partai lain yang dianggap lebih baik sebagai alat perjuangan.

Dibutuhkan peran partai yang lebih besar dalam menempa kader-kadernya untuk loyal secara pemikiran dalam berjuang, untuk setia pada ideologi. Hal ini dapat terwujud jika proses internalisasi ideologi berjalan dengan baik. Juga para sesama elit partai, tidak saling memainkan jurus jegal menjegal yang terkadang membuat kepentingan di atas segalanya. Peran media massa dan organisasi kemasyarakatan juga sangat penting dalam menginformasikan kepada rakyat bagaimana perilaku politisi –politisi yang tidak lagi membela rakyat. Hukuman bagi para kutu loncat politik ini akan berakhir di ujung tangan rakyat sebagai pemegang mandat. Rakyat yang sudah tahu rekam jejak politisi, diharapkan tidak lagi kembali memilih calon tersebut. Sudah saatnya rakyat cerdas dalam menilai dan melek dalam politik agar tidak tertipu oleh politikus yang suka gonta-ganti baju identitas hanya demi sebuah kursi kekuasaan.

Adi Surya (UCOX)

Ketua DPC GMNI Kab Sumedang 2007-2009





0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :