Negara Kesejahteraan Minus Subsidi


Negara Kesejahteraan Minus Subsidi
                Indonesia adalah sebuah negara kesejahteraan, bukan negara yang mengusung bendera free fight liberalism dan pemuja mantra invisible hand. Sebagai sebuah negara kesejahteraan, rumusnya adalah negara harus tetap ambil bagian dalam penanganan masalah sosial dan penyelenggaraan jaminan sosial. Salah satu cara dalam penanganan atau bantuan sosial adalah subsidi. Jadi, pendapat yang selama ini mengatakan bahwa subsidi adalah haram, tidak dapat dibenarkan. Bahkan, di negara-negara eropa yang sering dituduh liberal , mensubsidi sapi sebesar 2 dollar per ekor. Jika dibenturkan dengan keinginan pemerintah membatasi subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) dengan alasan kekurangan anggaran, rasa-rasanya belum pada tempatnya. Persoalanya, subsidi adalah urusan rakyat kecil, dan mengutak-atik sampai mencabut subsidi sama dengan mencabut nyawa rakyat kecil pula.
            Di era globalisasi ekonomi dimana hukum pasarlah yang menentukan transaksi perdagangan internasional membawa akibat bagi negara-negara yang tidak mampu bersaing. Kita adalah salah satu negara yang itu. Ekonomi kita sangat rentan dengan ekonomi global. Seperti istilah efek kepak sayap kupu-kupu yang menjelaskan kesalingtergantungan kita dengan ekonomi internasional. Jika eropa “bersin”, kita di Indonesia bisa saja “demam parah”. Salah satu komoditas perdagangan kita yang belum berdikari adalah minyak. Sumur-sumur minyak kita ternyata tidak mampu mencukupi konsumsi dalam negeri  sehingga membuat kita juga menjadi negara pengimpor minyak. Disini yang menjadi masalah, ketika harga minyak dunia melambung,kita sebagai importir pasti membeli dengan harga yang mahal dengan daya beli masyarakat yang masih rapuh.
            Untuk itulah negara turut campur dengan memberi subsidi sehingga disparitas daya beli dengan harga keekonomian tidak terlalu timpang. Namun, fenomenanya harin ini bergulir wacana pembatasan subsidi BBM, dimana bahan bakar tersebut masih digunakan di sebagian besar kehidupan masyarakat mulai dari rumah tangga sampai dengan pabrik dan transportasi. Jika dibatasi, maka pertanyaanya pembatasan seperti apa ?. Jika yang dimaksud adalah pembatasan subsidi terhadap warga yang sebenarnya mampu, tentunya tidak akan menjadi masalah. Namun, jika pembatasan dialamatkan pada wong cilik, ini sama saja dengan penyiksaan konstitusional via negara.
            Alasan keterbatasan anggaran karena membludaknya konsumsi BBM sebenarnya bukanlah alasan. Mengapa negara ini ketika dalam kondisi kesulitan selalu mengorbankan rakyat untuk menyelesaikannya. Semisal, harga-harga dinaikkan karena anggaran kita defisit. Padahal, masih banyak sumber pemasukan lain yang bisa dibidik. Kita wajar bertanya, kenapa negara tidak menangkap para koruptor yang justru biang keladi bangkrutnya republik ini. Hasil korupsi milyaran sampai triliunan rupiah jika dikelola dengan baik oleh negara akan berimbas positif bagi anggaran. Pemerintah sebaiknya membaca keras-keras pasal kelima pancasila yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Karena sila itu bisa menggugat dan bertanya, kenapa ketika negara kehabisan uang, rakyat kecil yang menanggung dan ketika negara surplus para perampok negara yang menunggang ?

Adi Surya
Mahasiswa Fisip Unpad
Aktivis GMNI

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :