Menguji Politik Santun Partai Demokrat



Menguji Politik Santun Partai Demokrat
                Masuknya Andi Nurpati, salah satu anggota KPU aktif ke Partai Demokrat sebagai Ketua Divisi Komunikasi Politik memunculkan perdebatan yang cukup hangat. Pasalnya, sebagai wasit dalam pemilu 2009 yang lalu, kini Andi menjadi pemain yang bergabung dengan partai pemenang yang kental tuduhan memainkan kecurangan. Akibatnya, kecurigaan publik menguat akan teka-teki hasil pemilu kemarin. Selain itu, persoalan lain yang muncul adalah apakah anggota KPU bisa berhenti semaunya sendiri dan apa efek buruknya bagi perkembangan demokrasi kita ke depan ?. Hal ini menjadi penting karena demokrasi bisa berjalan dengan kepercayaan (trust) diantara aktor-aktor demokrasi tersebut. Jika hal ini tidak bisa dibangun, bukan tidak mungkin, semua lembaga independen hanyalah bungkus ketidakindependenan sikap yang ditanamkan oleh partai politik untuk memuaskan syahwat kekuasaaanya.
                Peristiwa semacam ini bukan sekali ini saja terjadi. Andi Malaranggeng, tercatat pernah menjadi anggota KPU periode 1999-2004, kini bergabung di Partai Demokrat. Setelahnya, muncul nama Anas Urbaningrum yang pernah menjabat sebagai anggota KPU 2004-2009, sekarang menjadi ketua umum Partai Demokrat. Kini, Andi Nurpati meniru jejak para seniornya di KPU terdahulu untuk bergabung dalam partai politik. Titik pangkal persoalan ada pada pertanyaan “apakah tindakan Andi Nurpati dan Partai Demokrat itu salah dan apa motif beliau masuk demokrat ?.
Berbicara salah-benar, kita bisa menggunakan rujukan peraturan tertulis berupa undang-undang dan etika politik. Semangat undang-undang yang mengatur penyelengaran negara adalah melarang merangkap sebagai anggota partai politik tertentu. Semua partai memahami itu pastinya. Namun, Partai Demokrat justru mengumumkan susunan kepengurusan yang di dalamnya ada nama Andi Nurpati yang pada saat yang sama masih menjabat sebagai anggota KPU aktif. Tindakan demokrat ini sebenarnya menyalahi semangat undang-undang, dimana partai tidak bisa menarik dan mengumumkan seorang penyelenggara negara ketika beliau masih menjabat. Disini tampak arogansi partai berkuasa yang justru menabrak regulasi yang berlaku dan disepakati bersama.
Sisi lainya, Andi Nurpati juga seharusnya paham dan tidak menyetujui pengangkatan dirinya menjadi pengurus partai politik. Hal ini disebabkan beliau masih sedang menjabat di KPU dan malah menerima tawaran partai sebelum masa jabatanya habis. Tindakan Andi ini juga bisa dikatakan melanggar Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum dimana Pasal 29 ayat (1) undang-undang tersebut menegaskan anggota KPU tidak bisa mengundurkan diri sebagai anggota KPU, kecuali terhadap dua hal yakni alasan kesehatan atau karena terganggu fisik atau jiwanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai anggota KPU.
Dari kedua syarat tersebut, tampak jelas bahwa jika Andi berhenti dikarenakan keinginan masuk demokrat, tentu saja menabrak undang-undang tersebut. Andi sehat jasmani dan rohani, tidak ada halangan kesehatan apapun yang menghambat beliau menjalankan tugas di KPU. Andi juga tidak mengalami sakit kejiwaan, hal ini dibuktikan dengan pernyataan-pernyataanya  yang masih menunjukkan dia adalah orang yang waras. Lantas, kalau tetap memaksakan diri menjadi pengurus partai, hal ini bukan saja mencederai kehidupan berdemokrasi kita, tetapi kepercayaan (trust) publik pada lembaga penyelenggara negara. KPU adalah lembaga yang netral dari intervensi politik. Justru masuknya Andi merusak etika politik yang berkembang di dalam masyarakat. Etika politik selalu berbicara benar salahnya sebuah tindakan dipandang dari nilai-nilai yang hidup yang kadang tidak terlembagakan dalam peraturan tertulis. Tentu hal ini adalah sebuah preseden buruk buat penyelenggara negara di Indonesia.
Lantas apa motif Andi dan juga Partai Demokrat dalam hal ini ?. Motif merupakan suatu pengertian yang melengkapi semua penggerak alasan-alasan atau dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu (Gerungan,1996). Motif timbul karena adanya kebutuhan dimana dianggap sebagai kekurangan dan butuh pemenuhan. Sedangkan Mc.Clelland (1967) berpendapat bahwa untuk menemukan motif yang mendasai suatu perbuatan, cara yang terbaik ialah dengan menganalis motif yang ada di dalam fantasi seseorang. Gardner Lindzey,Calvin S.Hall, dan Richard Thompson dalam buku Psychology (1975) mengklasifikasikan motif ke dalam dua hal yaitu drives dan incentives. Drives (needs) adalah yang mendorong untuk bertindak yang tidak dipelajari maupun yang dipelajari. Sedangkan Incentives adalah benda atau situasi yang berada di dalam lingkungan sekitar kita yang merangsang tingkah laku.
Analisis Partai Demokrat dengan menggunakan analisis drives dan incentive dalam hal ini bisa dibaca dalam tujuanya untuk memenangkan pemilu 2014 (persaingan). Oleh karena itu ada sebuah kebutuhan yang mendorong partai membuat strategi yang salah satunya adalah merekrut anggota KPU yang strategis dalam pemenangan pemilu. Strategis karena sebagai  anggota KPU, tentunya memahami seluk beluk penyelenggara pemilu dan hal ini adalah salah satu kunci penting dalam strategi pemenangan. Oleh karena adanya persaingan dalam bentuk kontestasi pemilu, demokrat kemudian menindaklanjuti dengan menawarkan posisi kepada Andi. Jika ada kecurigaan bahwa ini adalah balas jasa demokrat pada Andi yang turut membantu demokrat pada pemilu lalu, tidaklah bisa kita salahkan juga. Seorang wasit yang kemudian masuk ke pada pihak yang menang, dimanapun pasti akan dicurigai. Namun, kecurigaan itu harus ditindaklanjuti dengan fakta-fakta yang mendukung hal tersebut menjadi sebuah fakta.
Sedangkan Andi Nurpati lebih banyak didorong kebutuhan untuk aktualisasi diri dan memperoleh penghargaan. Sebagai anggota KPU, Andi mendapat fasilitas dan pendapatan yang bisa dikatakan lebih dari cukup untuk ukuran kebutuhan dasar manusia Indonesia. Sehingga, perilaku masuk demokrat lebih didorong oleh keinginan berkarir pada posisi-posisi strategis untuk mendapatkan penghargaan dari lingkungan sosialnya. Kondisinya saat sebentar lagi masa tugas anggota KPU akan berakhir dan wajar Andi memikirkan tempat dia berkarir selanjutnya. Namun, dorongan-dorongan yang berujung pada perilaku dikawal dengan aturan-aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Untuk itu ada beberapa hal yang bisa kita rumuskan untuk memaknai kejadian ini. Pertama, membawa kasus ini ke dewan kehormatan KPU untuk diuji integritas dan kredibilitasnya, apakah bisa menjelaskan persoalan secara jernih kepada publik. Kedua, merevisi Undang-Undang KPU. Dalam undang-undang tersebut dikatakan anggota parpol yang ingin menjadi anggota KPU harus keluar dari parpol minimal 5 tahun sebelum dia menjadi anggota KPU. Ini menjadi timpang ketika anggota KPU bisa masuk kapan saja untuk masuk ke dalam parpol seperti yang dilakukan Andi Nurpati. Setidaknya anggota KPU yang berhenti dari KPU disarankan diatur dalam undang-undang tidak boleh masuk dalam partai politik minimal 5 tahun setelah berhenti dari KPU.
Pengaturan akan hal ini menjadi penting mengingat pentingnya netralitas KPU dalam pemilu. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, wasit yang memimpin pertandingan ternyata dalah “peliharaan” salah satu tim yang bertanding, maka hasilnya juga tidak bisa dipertangungjawabkan secara adil. Tentunya KPU bukanlah tempat pasukan khusus partai yang mengemban misi memenangkan dan mendesain hasil pemilu sesuai dengan selera dan kepentingan dari pemilik skenario kotor. Namun yang paling penting adalah bagaimana partai tidak mencoba mengotori proses kontestasi dengan “membajak” anggota KPU aktif yang masih bertugas. Partai Demokrat mencipta brand sebagai partai santun, dipimpin oleh anak muda yang juga santun. Apakah hal tersebut berkorelasi dengan tindakan yang santun ?. Tentunya elit-elit partai tersebutlah yang bisa menjawab.

Adi Surya
Mahasiswa KS Fisip Unpad
Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009
               

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :