Pengadilan Tipikor,Nasibmu Kini


Suatu sore saya sambil minum kopi dan duduk santai bersama seorang teman sempat berpikir kenapa RUU Pengadilan Tipikor belum rampung juga. Bahkan DPR tidak menjadikan RUU ini prioritas yang mendesak untuk dibahas. Jangan-jangan RUU ini dipending sembari melemahkan atau ada rencana untuk menghancurkan KPK terlebih dahulu baru kemudian di sahkan. Mungkin pikiran saya ini agak skeptis dan curiga berlebihan bai sebagian orang. Tetapi di negara ini,hal apa sih yang tidak patut kita curigai?. Indikasi kecurigaan saya berlatarbelakang gencarnya upaya beberapa pihak untuk melemahkan lembaga superbody ini.Mulai dari adanya opini DPR yang menyatakan KPK harus lima orang untuk dapat menjalankan fungsinya. Padahal sebagaimana kita tahu Ketua KPK sedang dibelit kasus hukum. Belum lagi adanya keinginan audit dalam tubuh KPK sampai konflik kepolisian dan Kejaksaan Agung dengan KPK.

Jamak kita ketahui bahwa belum ada satu pun koruptor yang bisa lolos dari pengadilan Tipikor. Adalah keputusan MK yang melihat keberadaan Pengadilan Tipikor dibutuhkan bagi tindak pemberantasan korupsi.MK kemudian memberi tenggat waktu 3 tahun untuk membuat UU Pengadilan Tipikor sebagai payung hukum yang lebih otonom dan mengikat. Namun,realitasnya,sampai hari ini pembahasan RUU tidak mendapat perhatian dan tampaknya tidak ada good will dari pemerintah (DPR dan Presiden). Presiden sebenarnya bisa mengeluarkan Perpu sebagai pengganti undang-undang. Tentunya dengan syarat jika dalam keadaan darurat. Apa yang menjadi sebab RUU ini tidak mulus pejalananya ?

Di Indonesia dan bahkan di seluruh dunia,semua orang sepakat kalau hukum adalah rel dari politik.Namun,di negeri ini malah terbalik,hukum bukan landasan politik,melainkan politik adalah landasan hukum. Implikasinya produk-produk hukum merupakan refleksi dari kepentingan dan pesanan politik kelompok-kelompok yang terkait dengan produk hukum tersebut. Melalui analisa ini,kita bisa mencoba meraba RUU PT mandeg karena ada kepentingan-kepentingan segelintir orang yang terganggu dengan adanya UU TP. Andai saya boleh menduga,bisa saja ada ketakutan kalau UU disahkan maka akan banyak anggota dewan yang masuk bui. Mereka berpikir mensahkan RUU sama dengan menodongkan senjata ke kepala sendiri.

Untuk itu ada tiga skenario untuk mensiasati lahirnya UU TP ini. Pertama,mengundur waktu pembahasan sampai selesainya masa tugas DPR 2004-2009. Pengunduran ini bisa saja agar lepas tanggungjawab atau bahkan membersihkan diri terlebih dahulu sebelum RUU disahkan. Kedua,mengundur sambil mempreteli perangkat KPK. Sebagaimana kita tahu,KPK di bawah Antasari Azahar berani masuk ke wilayah pusat kekuasaan. Beberapa pihak yang tidak pernah tersentuh selama ini ahirnya masuk bui, seperti anggota DPR, Gubernur, Bupati, Walikota dan pejabat-pejabat negara yang punya kuasa. Untuk itu saya pun curiga kalau Antasari sengaja dijebak. Lalu kita bisa lihat upaya untuk mempreteli KPK dengan mengusut keuangan KPK,mengusut keterkaitan personel KPK dalam kasus Antasari,sampai opini pemangkasan kewenangan lembaga ini. Intinya,otaknya harus di putus dulu agar sekuat apapun tangannya tidak akan berfungsi. Skenario ketiga,presiden dengaja belum mengeluarkan perpu mungkin saja (dugaan saya) karena ada pihak-pihak yang selama ini menyokong kekuasaan presiden yang akan terkena getah jika RUU TP menjadi UU. Bisa juga dugaan saya,presiden ingin menunggu momen yang tepat (DPR menyerah) untuk mengeluarkan Perpu agar tampak seperti pahlawan ditengah ketidakmampuan dewan.

Jika dugaan ini benar maka kita turut berbelasungkawa bagi pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini. Hukum seharusnya adalah cerminan kehendak kepentingan umum. Bukan kehendak segelintir orang yang berkuasa. Semua tahu korupsi adalah masalah sosial yang butuh penanganan cepat. Maka, RUU Pengadilan Korupsi menjadi harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi keberadaanya.selain itu agar tidak terjebak pada pembenahan sistem semata. Melakukan penyadaran secara terus menerus harus terus berjalan. Hal ini penting karena pemikiran bahwa kita sibuk membuat perangkat hukum tapi alpa dalam penyadaran manusianya. Faktor manusia yang bahkan mendapat porsi penting. Tidak peduli berapa banyak produk hukum dibuat,jika manusianya belum sadar,maka akan terus menerus mencari celah atau membuat pola kejahatan baru yang tidak diatur sistem.

Salah satunya adalah pendidikan korupsi di sekolah sampai universitas. Pelajaran ini tidak usah masuk kurikulum.Tapi cukup jadi program bimbingan dan penyuluhan yang intensif dilakukan. Baik itu melalui penyadaran tatap muka sampai pada membuat kegiatan sosialisasi ke masyarakat.Tentunya untuk membersihkan debu juga butuh sapu yang bersih. Perangkat pendukung seperti pengajar juga haruslah orang yang kredibel. Sekolah dan perguruan tinggi juga bisa mengundang dan bekerja sama dengan KPK,Kejaksaan dan Kepolisian atau pakar-pakar untuk mengetahui lebih jauh tentang tindak pidana korupsi.Proses pendidikan ini tetunya harus terus menerus di evaluasi secara bertahap agar dapat menghasilkan model pendidikan yang efektif bagi pencegahan tindak pidana korupsi.Kalau bukan kita yang memulai penyadarannya,siapa lagi.


0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :