Pendidikan Yang Membebaskan


Dalam buku Republic,Plato membuat sebuah “perumpamaan gua” tentang belenggu yang menghinggapi manusia. Para tahanan yang terikat dan terpasung sejak kecil dan hanya bisa melihat bayangan yang hilir mudik di dinding gua menganggap bahwa bayangan itu adalah realitas. Padahal,mereka duduk membelakangi lobang masuk gua yang terbuka bagi cahaya matahari.Suatu ketika,seorang tahanan lepas dan keluar dari mulut gua dan melihat realitas sesungguhnya ada di luar gua dan bukan bayangan-bayangan yang setiap hari mereka lihat. Namun,akhirnya tahanan yang mewartakan realitas terseut dibunuh oleh tahanan-tahanan yang tidak percaya akan kesaksian tersebut.
Orang yang terlepas dari dalam gua dan mengetahui realitas yang sebenarnya adalah orang yang memiliki pengetahuan.Jika ditarik ke dalam hal ikhwal pendidikan,maka proses yang ditempuh seseorang yang sangup keluar dari gua sehingga mengetahui akan kebenaran atau kepalsuan adalah pendidikan. Dalam artian, pendidikan merupakan tindakan atau upaya pembebasan. Dengan pendidikan kita tahu membedakan mana yang benar dan yang salah. Lewat pendidikan orang akan mengetahui jahat dan benar,apa yang patut dan tidak patut.Pendidikan harus dapat membentuk manusia seutuhnya,yaitu manusia yang berhasil menggapai keutamaan atau moralitas jiwa dengan mengubah secara total sifat,perilaku,tindakan dan perbuatan sehingga orang tersebut bagaikan orang yang baru saja dilahirkan (J.H Rapar,2002).
Dikarenakan fungsi pembebasan tersebut pendidikan mendapat tempat dan harus menjadi perhatian negara yang sangat vital. Hal ini untuk mendukung negara yan diadakan oleh individu-individu untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat diusahakan secara peorangan.Oleh sebab itu dalam Pembukaan UUD 45 dan UU Nomor 23 Tahun 2002 disusun sebuah regulasi untuk mengatur sistem pendidikan di Indonesia.Dalam Undang-undang tersebut jelas dikatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak untuk mendapat pendidikan yang bermutu (Pasal 5 ayat 1).Dalam artian,pendidikan sudah menjadi hak setiap warga negara yang disediakan oleh negara.
Namun,perkembangan masyarakat Indonesia sejak Plato menuliskan perumpamaan tersebut sampai sekarang masih jauh panggang dari api. Kita bisa melihat bagaimana rakyat indonesia masih mempercayai mitos sebagai satu-satunya pegangan hidup. Masih banyak terjadi masyarakat tidak bisa membedakan mana baik-buruk,patut-tidak patut,benar-salah dan perbuatan-perbuatan yang merefleksikan belenggu bayangan dalam gua Plato. Masyarakat kita banyak yang pasrah dengan kemiskinan dengan alasan takdir Tuhan.Individu merasa benar membunuh sesama dengan tameng kebebasan dan tafsir kebenaran kelompok. Korupsi menjadi berjamaah karena dianggap perbuatan “tidak berwajah” karena dilakukan mayoritas orang sehingga sudah menjadi pemakluman umum. Hari ini justru masyarakat Indonesia di tengah kemajuan pendidikan hadir dan menegaskan diri sebagai masyarakat kurang beradab.Lantas,dimana peran pendidikan yang membebaskan tersebut?
Penyelenggaraan pendidikan bagi rakyat mungkin sudah dijalankan,namun kita maish harus mempertanyakan akan kualitas pendidikan tersebut. Kualitas pendidikan di Indonesia yang rendah itu juga di tunjukkan data Balitbang tahun 2003 bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program. Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya 8 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program. Dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategiri The Diploma Program.
Dari gambaran data tersebut, terlihat jelas bahwa kita sebagai negara berdaulat masih belum serius menyelesaikan seputar persoalan pendidikan. Setidaknya ada beberapa faktor yang menjadi fokus untuk dibenahi. Pertama, masalah kurikulum..Kurikulum sebaiknya fleksibel mengikuti perkembangan zaman dengan muatan-muatan yang berkualitas dan tidak terkesan ganti menteri, ganti kurikulum.
Kedua,masalah metode pembelajaran. Pengajar masih banyak yang terpaku pada teks dan anti dialog. Dalam artian,proses interaksi hanya satu arah dan kurang merangsang daya kritis. Seharusnya pendidik mendesain kegiatan belajar yang menyenangkan,komunikatif dan partisipatif. Ketiga,fasilitas dan sarana. Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat.
Keempat,masalah guru dan tenaga pendidik. Untuk mendukung tugas mulia dalam mencerdaskan bangsa, guru dan tenaga pendidik juga harus sejahtera.Pemenuhan kesejahteraan guru akan membuat profesi guru menjadi lebih professional. Kelima,masalah anggaran. Pemenuhan dan pendistribusian 20% anggaran pendidikan seharusnya menjadi harga mati untuk menunjukkan komitmen yang lebih besar untuk pendidikan. Tanpa anggaran, segala sesuatunya tidak akan berjalan dengan semestinya.Tanpa komitmen, mendambakan pendidikan yang berkualitas hanya akan jadi mimpi di siang bolong.
Belenggu seperti dikisahkan dalam perumpaan gua oleh Plato tidak akan pernah hilang jika pendidikan yang diselenggarakan tidak bermutu. Untuk menjadi bangsa yang merdeka,bangsa yang berbudaya,bermoral tidak bisa tidak,pendidikan harus jadi agenda prioritas. Hanya orang yang terlepas dari belenggu yang mengetahui bahwa apa yang terlihat di dalam gua bukanlah realitas yang sebenarnya.
Adi Surya Purba
Ketua DPC GMNI Sumedang

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :