Kedaulatan Pemilih Lima Tahunan


Musim kampanye tiba-tiba membuat semua politisi menjadi pahlawan rakyat yang berlomba-lomba memoles diri dengan image politik pro rakyat. Semua kontestan yang akan bertanding menggunakan “politik ala kecap” dengan mengklaim diri sebagai nomor satu dalam menyelesaikan segudang persoalan. Namun,perilaku baik hati ini dimaknai hanya sebatas musim,yang artinya hanya dilakukan pada saat tertentu. Setelah itu,interaksi politik dengan rakyat usai setelah politisi berhasil memetik suara dan melupakan janji yang ditebar pada saat kampanye. Fenomena ini memberi arti bahwa kedaulatan rakyat hanya dibutuhkan setiap lima tahunan dan menjadi penonton badut-badut politik.
Kampanye menjelang pemilu merupakan bagian dari kampanye politik. Namun,politisi kita masih memahami kampanye politik sebagai kampanye pemilu. Padahal,kampanye politik adalah suatu proses jangka panjang yang menuntut konsistensi dan kontinuitas dari partai politik (Blumenthal,1982). Sedangkan kampanye pemilu merupakan semua aktivitas politik berdasarkan aturan dan dibatasi oleh kurun waktu tertentu. Kampanye politik bahkan dianjurkan dilakukan setiap hari (Norris,2000). Pemahaman kampanye musiman ini bisa menyebabkan arti penting publik hanya direduksi sebatas objek pemberi suara untuk meramaikan pemilu.
Mendudukkan kampanye musiman sebagai arus utama (mainstream) dalam kompetisi politik tentunya membuat masyarakat disuguhkan hal-hal instan,janji muluk,program yang tidak masuk akal yang semuanya insidental. Kita seharusnya bisa membedakan kampanye jangka pendek (pemilu) dan kampanye jangka panjang (permanen). Interaksi yang dilakukan secara terus menerus sebenarnya membawa hubungan simbiosis mutualisme.Partai politik atau kontestan bisa membentuk image politik dengan terus menerus melakukan akivitas –aktivitas yang mencerminkan kepedulian kepada permasalahan rakyat,disamping itu masyarakat bisa menjadi kritis karena dibiasakan berinteraksi dengan proses-proses politik.Sehingga partisipasi publik bisa meningkat dalam proses demokrasi karena merasa dilibatkan tidak hanya dalam masa pemilu.
Demokrasi sebagai suatu proses kedaulatan dari,oleh dan untuk rakyat kini hanyalah sebatas gincu demokrasi yang dihuni oleh para “vampir politik” yang menghisap darah rakyat. Kedaulatan hanya menjadi jargon demokrasi semu,seolah-olah masih rakyat yang berdaulat. Untuk itu perubahan harus dimulai dari aktor-aktor demokrasi itu sendiri.Elit politik atau parpol bisa memulainya dengan memahami kampanye permanen bisa membuat rakyat makin melek politik jika dilakukan dengan benar.Begitu juga rakyat juga senantiasa mereposisi diri agar tidak terjebak oleh permainan catur politik yang membelenggu kesadaran.
Adi Surya Purba
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fisip Unpad

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :