Hidup Untuk Mati


Hidup Untuk Mati

Kepulan asap rokok berkejar-kejaran membentuk formasi lingkaran yang semakin lama pecah dan bubar. Seorang lelaki,tinggi,dengan kulit hitam manis duduk bersandar di lemari pakaian yang tampak sudah berumur. Usia lelaki itu sudah mencapai 59 tahun dan mulai sakit-sakitan. Rumah kayu sederhana sudah berpuluh tahun ia tempati sendirian. Tidak ada yang spesial di rumah itu, tidak juga ada barang-barang mewah. Sesekali batuk kecil menginterupsi hisapan rokoknya yang dalam. Mungkin paru-parunya tidak tahan dan muak dengan racun yang dilegalkan oleh negara itu setiap hari menghujani rongga dadanya. Batuk ini memang belum berhenti sejak tiga bulan lalu. Mukanya tampak lelah ,seperti orang kurang darah. Di ruangan inilah tempat dia menggugat hidup.

Hidup baginya adalah sebuah hukuman di dunia. Manusia lahir,tumbuh,berkembang biak dan akhirnya mati. Baginya manusia hidup hanyalah untuk mati. Cuma, mati seperti apa yang diinginkan manusia itulah yang kelak menetukan bagaimana ia menjalani hidup. Harapan mati yang indah dan damai, tiada meninggalkan kesulitan dan derita orang yang ditinggalkan adalah cita-cia semua orang. Dari sinilah semua itu berangkat. Bagaimana orang-orang berusaha mendapat yang terbaik dalam hidup. Ingin dapat pekerjaan yang dinikmati, ingin punya rumah mewah, uang berlimpah dan pasangan hidup yang setia menemani sampai mati menjemput. Semua orang ingin mati dengan nyaman.

Berbicara kematian, maka kita berbicara sebuah keniscayaan. Hukumnya adalah semua orang pasti mati. Dengan memahami kematian,kita akan memahami bagaimana kita hidup. Namun, dibalik pengakuan akan kemutlakan kematian,tersimpan penolakan dan penghindaran dari manusia sendiri. Dalam keseharian, kita bisa melihat bagaimana manusia tidak mau menerima kematian. Semua orang enggan meninggalkan hidup. Manusia ingin hidup abadi. Dalam Al-Quran (QS Al Baqarah (2) : 96 ) “ Setiap orang di antara mereka menginginkan seandainya dia diberi umur seribu tahun”. Keinginan itu pula yang digunakan iblis untuk menjerumuskan Adam dan pasangannya sehingga mereka berdua memakan buah pohon terlarang.

Kemudian ia teringat akan ceramah kiai yang menemuinya beberapa waktu yang lalu. Kiai itu lalu berbicara tentang kematian dengan merujuk pada buku Psikologi Kematian karagan Komaruddin Hidayat, ada dua pandangan terhadap kehidupan. Pertama, Kelompok yang pesimis. Orang yang pesimis memandang hidup ini sebagai sesuatu yang berat,penuh kesedihan dan kesulitan lalu berakhir dengan kepunahan. Selama anda masih memiliki hidup,maka lakukan apa saja yang menyenangkan hati anda sekaligus mewujudkan eksistensi anda. Jangan hiraukan apapun,karena pada akhirnya suka tidak suka,kita pasti mati. Bagi yang pesimis dihibur oleh filsuf Schopenhauer dengan berkata “ mengatuk lebih nyaman,tetapi mati lebih nyaman,dan yang lebih nyaman lagi adalah ketiadaan hidup “.

Kelompok kedua adalah kaum optimis, mereka berpandangan bahwa kematian bukanlah akhir wujud manusia. Biasanya kaum optimis dihuni oleh golongan agamis yang percaya ada hidup setelah mati. Sehingga untuk mencapai hidup yang sebenarnya, kematian adalah pintunya. Socrates mengatakan “ ketika aku meneliti rahasia kehidupan ini,kutemukan maut, dan ketika kutemnukan maut,kutemukan sesudahnya kehidupan abadi. Karena itu kita harus prihatin dengan kehidupan dan bergembira dengan kematian karena kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup”. Artinya, kaum optimis berpikiran kematian bukanlah perampasan atas hidup. Melainkan sesuatu yang harus dicapai dan dihormati. Ceramah itu terjadi lima hari yang lalu, dan apa yang dikatakan kiai itu pula yang kini menggelayuti pikiranya.

Lelaki itu memang bukan penganut agama yang taat. Dia juga mengaku bukan ateis. Latar belakang keluarganya yang menyebabkan dia berpikir agama hanyalah sumber konflik dan mengkotak-kotakkan manusia kedalam kubu yang bahkan tidak pernah ia kehendaki. Agama baginya hanyalah sekedar siklus berkembangbiak. Dalam artian, agama hanya turunan dan warisan orang tua. Jika memang Ibu –Bapaknya kebetulan Islam, maka ia pun menjadi Islam. Ini juga bukan salah orang tuanya,karena mereka juga mengalami siklus yang sama.. Dia belum percaya dengan hidup sesudah mati. Dia melihat, hidup adalah tempat untuk all out. Tempat untuk menikmati segala-galanya sebelum petugas-petugas maut datang menjemputnya.

Pria berkulit hitam manis itu kembali berpikir dalam. Dibalik posisinya sebagai kaum pesimis, tersembunyi suara hati yang sesekali mengganggunya dan menyebutnya telah lari dari Tuhan. Di dalam hatinya yang terdalam bergulat kencang kenapa harus ada mati. Pria itu sekali lagi menolak kematian sebagai keniscayaan. Masih banyak hal-hal yang belum ia lakukan di dunia. Ia belum pernah ke Hawaii,tempat yang diimpikannya sejak kecil. Ia juga belum mapan,seperti kawan-kawanya yang lain, dan ia pun belum menemukan pendamping hidup,seperti yang dikatakan dalam buku-buku suci agama,bahwa manusia diciptakan berpasang-pasangan. Sudah hampir enam dekade ia ada di dunia dan ia menjalani dengan pencarian kenikmatan duniawi.

Api rokok yang dipegangnya sudah menyentuh sisi terakhir dari tembakau. Serasa belum puas, dibunuhnya ke dalam asbak yang hampir muntah dengan gunung puntungan rokok yang sudah mengalami kematian. Tanpa takut mati karena penyakit paru, ia melahirkan lagi sebatang rokok. “ toh rokok ini juga akan mengalami kematian” ujarnya dalam hati. Dihisapnya dalam-dalam dan ia pun teringat akan masa mudanya dulu. Bayangan masa-masa menjadi manusia hedon, pergi pagi- pulang pagi, semua nama diskotek dan tempat prostitusi kelas ekonomi dihapalnya bagai menghapal nama menteri Orde Baru. Ia mendeklarasikan dirinya sebagai pelopor kaum penikmat hidup di lingkunganya. Masa muda dianggapnya sebagai sebagai the golden years of life. Baginya, mumpung masih hidup, dunia harus dinikmati.

Azan magrib seketika membuyarkan ingatan masa mudanya. Sekelompok santri berduyun-duyun untuk menjalankan sholat. Ia baru sadar,sudah enam bulan ia tinggal di pesantren karena stress. Orang-orang bilang, ia divonis dokter mengalami kanker paru stadium empat. Usianya tinggal menghitung hari. Dan dua hari yang lalu ia baru sadar. Ia harusnya megambil posisi kaum yang optimis melihat hidup. Penyesalan yang terlambat untuk berbuat yang berguna di dunia sebagai investasi di kehidupan selanjutnya. Ia sadar ia tidak punya pundi-pundi menuju kehidupan abadi. Pria itu sekarang berada dalam ruangan mesjid. Ia pula yang memimpin sholat untuk pertama kali dalam hidupnya. Setelah selesai sholat,ia memberi pesan kepada anak-anak muda pesantren, “anak muda, kehidupan di dunia selayaknya dinikmati,tetapi bukan tujuan akhir dari kehidupan.Batuk yang bersahut-sahutan mengehentikan pembicaraan itu sejenak. Pertanda waktu semakin tak berpihak. Sambil mengusap-usap dadanya,ia melanjutkan dengan berkata, “ apapun yang dilakukan di dunia ,semua adalah investasi kejayaan di akhirat. Anak muda,jangan terlambat “.

Adi Surya
Ketua DPC GMNI Kab. Sumedang
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fisip Unpad

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :