Kurban Sebagai Ibadah Transformatif

Kurban Sebagai Ibadah Transformatif

Apakah semakin tinggi animo masyarakat untuk menyembelih hewan kurban mencerminkan tingkat kesalehan yang semakin meningkat pula?.Pertanyaan ini tidak berpijak dari ruang kosong,melainkan hadir dari refleksi pemaknaan hari besar keagamaan oleh sebagian besar masyarakat kita. Seringkali konteks ibadah yang menjadi momentum untuk menemukan hikmah dalam ruang transendental kehilangan artinya yang substansial.Perayaan hari besar agama seperti Idul Adha kini menjadi ruang perebutan status dan simbolisasi prestise dengan menjadikannya hanya sebatas ritual yang kering akan makna.

Kata kurban berasal dari qaruba yaqrubu qurban wa qurbanan yang berarti mendekat atau pendekatan. Menurut istilah, kurban berarti melakukan ibadah penyembelihan binatang dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah kurban telah dituntunkan sejak Nabi Adam AS (QS Al Maidah: 27). Sedang ibadah kurban yang dilakukan umat Islam saat ini ittiba’ kepada sunah Nabi Ibrahim.Dalam QS Al Kautsar: 2, Allah SWT berfirman Fashalli lirabbika wanhar (maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah). Sedang Rasulullah SAW melarang orang yang mampu berkurban tetapi tidak berkorban untuk mendekati musalanya (HR Ahmad). Namun demikian, Allah mengingatkan bahwa darah dan daging kurban tidak akan sampai kepada-Nya, yang sampai adalah ketakwaan (QS Al Haj 22: 37).

Dari sisi sejarah, hari kurban merupakan peringatan atas pengalaman rohani Nabi Ibrahim AS bersama anaknya, Ismail dan istri beliau, Siti Hajar, dalam menghadapi kesulitan akibat kekeringan di daerah Makah. Dalam bentuknya yang lebih lengkap, peringatan pengalaman tersebut dilaksanakan di Tanah Suci berupa ibadah haji bersama-sama oleh segenap umat Islam dari segala penjuru dunia. Berkurban- yang pada masa Nabi Ibrahim disimbolkan dengan mengorbankan seekor domba - memiliki nilai-nilai kemanusiaan yang begitu indah dan agung. Diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim melalui mimpi yang haq untuk menyembelih anaknya, Ismail. Perintah itu sekaligus ujian bagi Nabi Ibrahim untuk rela mengorbankan anaknya demi memperoleh rida Allah yang kemudian Allah mengganti kurban tersebut dengan seekor kambing.

Sebenarnya kurban dalam arti “pendekatan”, tidak terjebak pada kedekatan pada Allah dengan mengharapkan pahala,melainkan juga dekat pada sesama manusia. Dalam arti,selain memiliki makna ritual,kurban juga memiliki makna sosial dalam wujud kepedulian sosial.Saat ini kondisi bangsa diselimuti oleh berbagai penderitaan yang semakin berat. Bencana alam, kemiskinan, kriminalitas kerah putih dan segudang krisis lainnya patut kita jadikan sasaran bantuan kita. Korban Lapindo Brantas masih tersingkir dari hak-hak yang seharusnya mereka peroleh.Mereka ditelantarkan begitu saja dan justru dianggap sebagai beban negara yang dikategorikan mengganggu. Banyaknya gelandangan dan pengemis di persimpangan jalan menampilkan parade keangkuhan negara dan masyarakat terhadap nasib mereka.Seorang ibu yang bunuh diri bersama anak-anaknya dikarenakan tidak bisa menyediakan sepiring nasi di meja makan adalah bukti lunturnya solidaritas sosial.

Namun,diseberang lainnya, gedung-gedung mewah berdiri angkuh,orang-orang kaya membuang muka saat si miskin mencoba mengulurkan tangan mengetuk pintu hati.Lembaran uang dihambur-hamburkan hanya untuk sebuah pesta pernikahan dan mengajukan pembenaran bahwa orang miskin harus berusaha sendiri tanpa subsidi negara demi tegaknya “ideologi perut” berjubahkan keserakahan yang bernama kapitalisme. Banyak pesta pora di negeri ini, tapi banyak pula pesta penderitaan di sisi lainnya. Lonceng kematian atas solidaritas kini mencapai titik nadir di negeri ini. Walau banyak yang berkurban,tidak lebih hanya dalam waktu yang sifatnya temporer.

Ada beberapa alasan mendasar ketika seorang umat untuk melakukan ibadah kurban. Pertama, sebagai sebuah kewajiban bagi seseorang yang telah memiliki kemampuan khususnya dalam aspek materi untuk berbagi terhadap sesama. Wujud dari alasan ini dengan cara menyembelih hewan dan membagikanya pada orang lain yang membutuhkan sebagai simbol kepedulian. Kedua, mensyukuri nikmat Allah. Kekayaan dan rezeki yang diperoleh di dunia ini semata-mata karena kehendak Allah. Dengan berkurban,manusia diingatkan agar selalu berbagi dengan sesamanya. Namun,banyak pula orang berkurban untuk alasan-alasan yang bertentangan dengan agama. Menjadikan hari Idul Adha sebagai prestise dan berselimut kepentingan duniawi adalah bentuk lain dari penyimpangan. Banyak orang berkurban,menyembelih ratusan hewan namun hanya untuk mencari popularitas, menjaga gengsi karena tidak mau ketinggalan arus. Ada pula yang menjadikannya sebagai lahan untuk membersihkan dan menutupi kebobrokan dari perbuatan negatif. Politisi, koruptor, kriminal rela menyumbang hewan kurban kepada masyarakat dengan iming-iming suara pada saat pemilu nanti. Artinya, kurban harus dilandasi oleh keiklasan dan kesucian hati untuk benar-benar peduli pada sesama.

Untuk membantu pemahaman berkurban ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, menjauhkan makna kurban hanya sebatas menyembelih hewan. Dalam konteks berkorban,tidak melulu harus berupa materi. Tenaga, waktu dan sumbangan gagasan bagi perbaikan kondisi lingkungan kita juga adalah salah satu cara mengaktualisasi semangat kepedulian kita. Pada zaman Nabi Ibrahim,ternak dijadikan kurban karena pada zaman itu simbol kekayaan tertinggi adalah orang-orang yang memiliki ternak seperti kambing. Namun, pada saat ini kekayaan tertinggi bisa bersumber pada materi dan buah pikir dalam bentuk solusi bagi penderitaan sesama. Kedua, menjadikan kurban sebagai sesuatu yang transformatif. Dalam artian, pengorbanan yang kita beri harus bisa mengerakkan perubahan sosial dan berkelanjutan.Alangkah lebih baik kita berkorban untuk jangka panjang dengan membantu orang yang menderita agar dapat menolong dirinya sendiri. Jadi bantuan bukan bersifat charity semata,namun bantuan yang dalam jangka panjang bisa membuat orang yang kita bantu menjadi berdaya dan mandiri.Semangat kepedulian sosial tidak dilakukan hanya setiap hari Idul Adha,melainkan sepanjang kita hidup dalam ruang ritual dan sosial.

Persoalanya bagaimana kita mengimplementasikan nilai-nilai semangat berkurban dalam kehidupan sehari-hari untuk meringankan nasib saudara-saudara kita.Bukan berbicara seberapa banyak hewan, seberapa menggunungya materi yang kita bagikan. Ibadah kurban semestinya menjadi lonceng kehidupan bagi momentum kita kembali menyadari hakikat sebagai manusia yang beragama dan bermasyarakat.

Adi Surya Purba

Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009

0 komentar:

Posting Komentar

Beri Komentar Anda Di Sini :