Bahaya Laten Kekerasan Antar Agama


Kita tidak sedang menghadapi bahaya laten komunisme. Kita sedang menghadapi bahaya laten kekerasan antar agama. Peristiwa konflik dengan membawa simbol agama belakangan ini membuat kita kembali mengajukan tanya, republik Indonesia ini milik siapa ?. Indonesia dibangun berdasarkan kesepakatan semua pihak. Tanah bangunanya terbentang mulai dari ujung Aceh sampai Merauke. Pondasinya terbuat dari lima sila yang digali dari sejarah bangsa. Sedangkan batu bata adalah beragam suku, etnis, budaya dan agama dengan segala kemajemukanya dilapisi semen keinginan atau perasaan senasib akibat penjajahan untuk hidup bersatu sebagai sebuah bangsa. Artinya, Indonesia tidak elok jika dikatakan milik sepihak saja. Indonesia adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all for one)
                Dengan pemahaman Indonesia ber-bhineka tunggal ika, konsekuensinya memang tidaklah mudah. Ragam perbedaan memang melahirkan dua sisi yang kadang mudah untuk dibenturkan, yakni ekslusivitas kelompok dan tuntutan untuk hidup berdampingan dengan damai. Ekslusivitas yang salah arah melahirkan keyakinan mayoritas-minoritas yang juga salah arah. Hubungan yang seharusnya sejajar, dibelokkan menjadi “penguasa” dan “yang dikuasai”. Apalagi jika dikaitkan dengan agama. Hal ini tentunya menjadi sangat sensitif karena menyangkut sisi teologis yang sudah menjadi keyakinan para pemeluknya. Kasus Ambon dan Poso bisa menjadi sejarah kelam bagaimana hal itu bisa terjadi di negeri yang cinta damai.
                Kasus konflik antara jemaat HKBP dengan beberapa orang yang diidentifikasi sebagai ormas salah satu agama tidak berpijak dari ruang kosong. Sederhanya konflik bermula dari persoalan keinginan mendirikan rumah ibadah oleh jemaat HKBP. Keinginan ini direspon warga sekitar dengan melakukan protes dengan beralaskan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri bahwasanya pendirian tempat ibadah harus memenuhi persayaratan administratif dan teknis. Sayangnya, konflik antar kedua pihak berlarut-larut dengan absenya negara sebagai penjaga tegaknya rasa damai bagi para warganya.

Negara gagal
Dalam laporan Setara Institute pada siaran pers tanggal 26 juli 2010 menyatakan bahwa sejak memasuki tahn 2010, eskalasi penyerangan terhadap rumah ibadah, khusunya jemaat kristiani terus meningkat jika dibandingkan pad tahun sebelumnya. Pada tahun 2008, terdapat 17 tindakan, pad atahun 2009 terdapat 18 tindakan pelanggaran-pelanggaran yang menyasar Jemaat Kristiani dalam berbagai bentuk. Tahun 2010 antara januari-juli terdapat 28 kasus yang sama. Bersasarkan catatan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), ada 16 kasus pelarangan beribadah dan penutupan gereja dan lembaga Kristiani tahun 2010.
Data di atas patut kita waspadai, dalam konteks sebagai bangsa yang terdiri dari berbagai macam latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa yang menyimpan bahaya laten konflik harizontal.Kerap kali bentrokan dengan nada egoisme kelompok menyimpan api dalam sekam dalam perjalanan kita sebagai bangsa. Api dalam sekam ini jika tidak pernah disirami dengan pemahaman dan komunikasi yang baik, akan terus menggores tinta sejarah kelam.
Fakta di lapangan, kebanyakan konflik terjadi karena negara seperti tidak berani masuk dalam wilayah konflik. Kepala daerah terjebak dalam tirani mayoritas (atas nama desakan masyakarat banyak) kemudian membuat kebijakan yang mengandung standar ganda. Sedangkan dalam tataran yang lebih tinggi, presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan terkesan lambat dalam merespon kasus ini. Bandingkan dengan Presiden Obama yang langsung berbicara tegas tentang kontroversi pembangunan mesjid dan pembakaran Al-Quran.
Para pemimpin seharusnya membaca kembali tujuan negara dibentuk adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia. Artinya, negara harus  memiliki kemauan politik untuk bertindakan tegas guna melindungi setiap dan seluruh warga negaranya dari ancaman dan tindakan kekerasan dari individu atau kelompok warga lainnya. Jika negara tidak bisa memainkan peranya sebagai pelindung, kita akan tergelincir menjadi negara gagal (failed stated). Bisa dibayangkan apa jadinya kehidupan berbangsa dan bernegara jika negara tidak memiliki kekuatan untuk mengatur. Disinilah kemudian celah anarkisme masuk sebagai monopoli kebenaran.
Pemahaman Keberagaman
Pemaknaan atas realitas masih lemahnya pemahaman kita dalam membina hubungan harmonis antar sesama,membuat pendidikan sebagai alat untuk penamanan nilai-nilai yang diharapkan dapat membentuk perilaku yang diharapkan mencuat sebagai jalan keluar. Wacana pemahaman kehidupan  multikultur yang diharapkan dapat menjembatani hal ini memang layak kita kaji secara kritis dengan coba mengkomparasikan dengan pengalaman negara-negara lain seperti Amerika, Canada dan Australia. Negara-negara tersebut merupakan contoh negara yang berhasil mengembangkan masyarakat multikultur dan mereka dapat membangun identitas kebangsaannya, dengan atau tanpa menghilangkan identitas agama mereka.
Atas dasar itulah, kemudian mereka mengembangkan multiculturalism, yang menekankan penghargaan dan penghormatan  terhadap hak-hak minoritas, baik dilihat dari segi etnik, agama, ras atau warna kulit. Muliklturalisme pada hakikatnya adalah sebuah konsep akhir untuk membangun kekuatan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai latar belakang etnik, agama, ras, budaya dan bahasa, dengan menghargai dan menghormati hak-hak sipil mereka, termasuk hak-hak kelompok minoritas. (Budianta,2003:9).

Kolaborasi Sistem Dasar (Stakeholder)
Untuk menyelesaikan persoalan di atas memang butuh dialog dan kerjasama berbagai pihak. Pendekatan yang dilakukan sebaiknya bersifat holistik aprroach yang merupakan pendekatan yang memandang masalah dalam kaitanya dengan sistem yang lebih besar (kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya). Pelaku perubahan berperan sebagai orang yang menjadi fasilititator masyarakat menggali sendiri cara-cara apa yang perlu dilakukan untuk mencari solusi buat dirinya sendiri. Sedangkan untuk model pengembangan masyarakat yang cocok adalah locality development dimana perubahan harus diikuti oleh partisipasi yang luas di tingkat komunitas lokal dengen ikut serta dalam pengambilan keputusan  dan ikut berbagai kegiatan yang dilakukan. Masyarakat diberi kesempatan untuk membuat analisis sendiri dan mengambil keputusan yang berguna bagi mereka sendiri untuk mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Terdapat tiga strategi dalam proses perubahan masyarakat (Zaltman, Gerald dan Kaufman, 1972 : 51-61), yakni strategi empiric-rational. Pada dasarnya strategi ini membawa perubahan dengan informasi atau dengan data-data tentang suatu obyek, seperti melalui publikasi, ataupun sosialisasi. Strategi ini mempunyai asumsi dasar bahwa manusia adalah makhluk yang rasional. Asumsi lain adalah manusia akan mengikuti kepentingan pribadi mereka yang rasional saat memang dapat diterima. Perubahan masyarakat ditimbulkan dengan mempengaruhi kepentingan pribadi tersebut. Disini dialog antar umat beragama menjadi penting dengan mengedepankan logika cerdas bukan fanatisme sempit. Dalam konteks ini, hemat saya perlu pengembangan dialog-dialog intra dan antar agama, tidak hanya pada level puncak, tetapi juga pada level tengah dan bawah kepemimpinan agama.
Kedua, strategi normative re-educative.Pada dasarnya strategi ini meabawa perubahan dengan mengubah norma-norma yang dianut oleh masyarakat. Dalam hal ini, landasan (sumber norma) yang dijadikan norma sengketa adalah SKB 3 menteri. Untuk itu, perlu segera presiden meninjau ulang kembali peraturan tersebut dikontekskan dengan semangat undang-undang yang mengatur tentang kebebasan beragama dan menjalankan ibadah. Selain itu, nilai-nilai tentang toleransi dan saling menghormati perlu terus dikuatkan melalui lembaga formal seperti lembaga pendidikan maupun informal seperti lembaga kemasyarakatan di tingkatan warga.
Ketiga, strategi power-coercive. Perubahan dapat terjadi dengan adanya kekuasaan. Strategi ini berhubungan dengan keijakan yang diambil oleh pihak yang mempunyai kekuasaan seperti Pemerintah. Disini tindakan sigap dan tegas aparat dalam menjaga kerukunan umat beragama dan menindak setiap pelaku yang mencoba mencederai hal tersebut. Untuk melaksanakan pendekatan tersebut, kita butuh aktor-aktor perubahan yang bergabung dalam sebuah kerangka sistem dasar (manajemen stakeholder) Sistem pelaksana perubahan dalam kerangka sistem dasar merupakan kumpulan aktor yang bekerja sama dengan latar belakang yang berbeda seperti kalangan tokoh agama, pihak kepolisian, LSM, kementrian agama dan pihak-pihak lainya. Diharapkan kerjasama semua pihak bisa dalam menyelesikan kasus ini bisa menjadi titik pihak bagi kehidupan kerukunan bergama di tanah air. Sekali lagi bahwasanya Indonesia tidak lahir karena sebab usaha satu pihak saja. Indonesia adalah satu untuk semua dan semua untuk satu (one for all and all for one).

Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009
Alumnus Fisip Unpad-Sumedang