Desain Resolusi Di Tahun 2009
Setiap pergantian tahun selalu mengandung makna-makna simbolik. Orang-orang senantiasa menarik garis demarkasi sebagai pembanding pencapaian dan harapan. Berakhirnya tahun 2008 dan mulai melangkah ke tahun baru meyiratkan secercah harapan di tengah sesaknya lalu lalang peristiwa yang membuat kita harus mengelus dada. Jika kita mau membalik layar 2008, maka akan terbentang kondisi sosial,ekonomi dan politik yang senantiasa mengancam kepastian manusia untuk hidup.
Di bidang ekonomi, krisis finansial yang melanda Amerika Serikat membuat kondisi ekonomi kita sangat rentan dan dampaknya sudah sangat terasa dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan banyaknya usaha-usaha yang terancam gulung tikar. Setali tiga uang dengan bidang ekonomi,kondisi politik juga belum beranjak dari stagnasi. Perilaku elit dan sistem politik yang self group oriented masih menjadi panglima. Rakyat pun belum siap untuk hidup dalam alam demokrasi yang dituntut harus siap menang dan kalah dalam sebuah kontestasi politik. Masih banyak terjadi ketidakpuasan dengan berujung pada pengerahan kekuatan massa. Kondisi sosial dan budaya juga tidak ada prestasi yang membanggakan,tingkat kemiskinan yang masih tinggi,pengangguran,kriminalitas dan kurangnya perhatian pemerintah pada sektor budaya membuat kompleks perjalanan bangsa untuk mencapai cita-citanya.
Berkaca pada apa yang terjadi pada tahun 2008, Indonesia akan menghadapi jalan terjal dan berliku untuk berbenah. Selain pekerjaan rumah pemerintah pada tahun lalu belum dapat dikatakan maksimal, tahun 2009 akan dihadapkan pada kondisi yang jauh lebih berat. Tugas berat tersebut jika tidak ditangani dan diantisipasi sejak dini bahkan bisa membuat kondisi Indonesia mengalami kerusuhan atau gejolak (chaos). Ada dua sektor yang akan diprediksi bisa memporakporandakan sendi-sendi berbangsa. Pertama,bangsa ini akan mengadakan pesta demokrasi melalui pemilu legislatif dan ekskutif. Kedua,efek lanjutan krisis ekonomi global yang diprediksi akan menunjukkan keganasannya di pertengahan tahun.
Menghadapi tahun 2009 sebagai tahun politik memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Elit-elit politik yang akan bertarung dalam pemilu tentunya akan melibatkan kekuatan-kekuatan politik yang ada di masyarakat. Dengan budaya feodalisme dan relasi patron client yang masih mengakar di mayoritas rakyat kita, bukan tidak mungkin kekecewaan elit akan diteruskan pada tataran akar rumput (grass root). Jika tidak di manage, irisan dan benturan kekuatan politik bisa melumpuhkan roda pembangunan kesejahteraan. Konflik horizontal dan vertikal bukan tidak mungkin terjadi jikalau hal ini tidak diantisipasi dari sekarang.
Kondisi ekonomi Indonesia tidak akan lebih baik dan bahkan cenderung menurun. Dalam versi Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), misalnya, pertumbuhan ekonomi 2009 negara-negara maju hampir semuanya negatif. Amerika Serikat akan tumbuh -0,91 persen, Inggris -1,12 persen, Jerman -0,75 persen, Perancis 0,36 persen, Italia -1,03 persen, Belanda -0,17 persen, dan Jepang -0,15 persen. Sebaliknya, negara-negara berkembang, khususnya emerging markets, masih mengalami pertumbuhan positif meski melambat. Misalnya, China tumbuh 8 persen, versi lain bahkan 9 persen, India 7,3 persen, Korea Selatan 2,67 persen, Brasil 3 persen, Afrika Selatan 3 persen. Pertumbuhan Indonesia sendiri diprediksi akan menurun di angka 4-4,5 persen.
Jika memang ada penurunan, maka kondisi ini akan berdampak pada penyerapan tenaga kerja. Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada 2008 setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi akan menambah 702.000 lapangan kerja baru. Dengan demikian, jika pertumbuhan turun dari 6 persen ke 4,5 persen, tenaga kerja yang tidak terserap bisa mencapai 1,053 juta orang. Padahal, masih ada sekitar 9,427 juta penganggur terbuka yang menunggu pekerjaan saat ini. Dalam jangka panjang, tingkat pengangguran ini akan menambah angka kriminalitas dan potensi ketidakteraturan sosial (social disorder) yang berdampak pada meningkatnya jumlah penyakit sosial.
Kondisi sosial budaya juga layak mendapat perhatian yang serius. Pemerintah diprediksi tidak akan banyak memperhatikan sektor ini karena akan berkonsentrasi pada pemilu. Dalam hal ini civil society (masyarakat sipil) bisa memainkan peranan yang vital untuk memaksa negara agar tidak lari dari tanggung jawab. Kelompok-kelompok masyarakat yang harid sebagai wujud oposisi pemerintah harus mengambil peran sebagai fasilitator dan enabler (pemungkin) masyarakat ke akses-akses publik yang akan semakin sulit dijangkau.
Kemarin adalah sejarah dan esok masih merupakan misteri. Namun, bukan berarti kita tidak bisa memprediksi dan menyusun langkah-langkah pencegahan dan penanggulangan. Resolusi kita ke depan adalah gotong royong untuk menghadapi beban berat krisis politik dan ekonomi. Bung karno berulang-ulang mengatakan bahwa gotong royong adalah inti dari budaya bangsa Indonesia. Sudah saatnya kita melihat dan menganalisis msalah bersama,menelurkan solusi bersama dan mengeksekusi solusi secara bersama-sama pula. Sejarah memang tidak bisa ditebak,tetapi manusia juga punya akal untuk memperkirakan. Tahun 2009 menyimpan secercah harapan untuk beranjak maju. Walaupun diprediksi kita masih akan menghadapi masa-masa sulit, sebuah bangsa tidak akan berubah jika tidak merubah nasibnya sendiri dengan usaha dan tidak tergantung pada pihak lain.
Adi Surya
Ketua DPC GMNI Sumedang
Anggota DPD KNPI Sumedang Bidang Hukum dan HAM
Mahasiswa KS Unpad
0 komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar Anda Di Sini :