21 Mei 2011
Dua sahabat dekatku kemarin lulus
lagi. Tak bisa untuk tidak bilang aku iri atas pencapaian mereka. Menggugat
tapi entah pada siapa. Sebelum lebih jauh mencari kambing hitam, lebih baik aku
cari kari kambing untuk disantap. Skripsi kini menjadi musuh nomor satu yang
harus dikalahkan. Sudah dua tahun lebih pertempuran. Dan aku belum menang. Aku
tak mau menunjuk karena takut kehabisan telunjuk. Dan karena saya sedikit egois,
saya juga tidak mau mengarahkan telunjuk itu ke hidungku. Mungkin ini yang
dinamakan suratan Ilahi. Bukan artinya ini adalah mencari pembenaran. Karena
kalian selalu bilang beda pembenaran dan kebenaran hanya seutas rambut hitam
nenek tua di pinggir jalan.
Aku menyebutnya guratan tangan
setelah aku berpikir dan meligat ke belakang. Hampir di setiap kelompok yang
kumasuki, menjadi nomor satu itu adalah amanah. Sewaktu kecil, saya selalu
memimpin beberapa anak jahil dan bandel memerankan sebuah kelompok kejahilan.
Mulai dari mencuri mangga tetangga sebelah sampai dikejar-kejar pemilik kebun
mentimun karena perintah pada anggota untuk mengambilnya seolah semua adalah
milik bersama. Suatu pola pikir yang membuat orang tuaku menggelengkan
kepalanya. Memasuki SMP, SMA hampir tidak pernah tidak punya pengikut. Bahkan
menjadi nomor satu tidak hanya dalam hal kejahilan. Tetapi kubuktikan dengan
meraih nilai tertinggi NEM SMU. Mengkudeta ketua kelas sampai menjadi orang
pertama yang selalu menyarankan bolos pada jam-jam fisika dan kimia. Dan,aku
tidak pernah sendiri melakukannya. Memasuki kuliah, itu pun berulang. Diangkat
menajdi ketua angkatan ,ketua organisasi dan pemimpin dalam kelompok-kelompok
pergaulan selalu saja aku perankan. Namun menjadi terdepan di awal perjalanan, tidak
sama artinya menjadi yang paling awal di akhir perjalanan. Semuanya hampir
terbalik.
Menjadi paling lama memilih SMP mana
yang akan kutempati, menjadi orang terlama yang menganggur setelah SMU dibanding
teman-temanku sepermainan, sampai sekarang menjadi salah satu stok terakhir
yang belum lulus dari perkuliahan. Apakah memang hidupku ditakdirkan untuk
menjadi benteng terakhir yang menjaga kerajaan ?. Menjadi orang terakhir
sebelum orang-orang disekitarku selamat sampai tujuan. Tetapi kalaupun itu
guratan nasib, toh aku selalu berhasil memasuki tempat baru dengan selamat.
Memasuki jenjang-jenjang kehidupan tanpa ada benang yang putus. Bedanya,
orang-orang melewati dengan mudah, dan aku sedikit kesusahan.
Tetapi sekali lagi, apapun yang
terjadi menimpa kita, tidak ada satu orang pun yang bisa memutuskan dan memaksa
kita memaknainya. Artinya, kematian orang tua, bisa kita pandang sebagai sebuah
kebahagiaan. Mungkin agak sedikit naif, tetapi bukan berarti salah. Justru,
kebanyakan ornag gagal, bukan karena faktor orang lain, melainkan gagal melihat
dan memakai kacamata yang tepat. Orang yang memakai kacamata hitam akan
mengatakan dunia itu hitam. Dan itu sah-sah saja,karena orang-orang memang
hanya bisa berkomentar melalui kacamata yang dipakainya. Dan saya tidak mau
sama dengan orang-orang memandang hidup ini. Hitam bisa jadi putih, merah bisa
jadi kuning, kematian bisa dimaknai sebagai kebahagiaan, isak tangis diartikan
sebagai berkah yang sedang diberikan. Setiap peristiwa adalah bebas nilai, dan
kita yang memegang palu untuk menentukan apa nilainya,bukan siapa-siapa.
Oleh karena itu, dunia yang saya
hadapi sekarang adalah dunia menurut saya. Bukan dalam arti kesewenang-wenangan
dan mengabaikan yang lain. Tetapi semata-mata hak kita sebagai manusia untuk
menentukan kemana arah hidup kita. Bukan artinya mengabaikan saran seorang
teman baik, melainkan sebagai manusia,hanya kitalah yang paling mengerti apa
yang terbaik buat diri kita. Saran tidak akan tinggal bak petugas stasiun yang
mengingatkan “jangan lupa untuk menjaga barang bawaan”. Saranmu akan jadi bahan
pertimbangan yang sangat berharga. Dan mohon maaf kalau anda harus menerima
fakta, sayalah orang terahir yang menentukan vonis terhadap diri saya sendiri.
Lantas bagaimana saya memandang
hidup saya sekarang. Saya katakan dalam-dalam “bahwa posisi belakang tidak
selamanya terbelakang”. Dan hanya orang-orang yang memiliki semangat hidup yang
bisa membuktikan hal itu. Kalau tidak, mohon maaf, hanya akan jadi kata-kata
penghiburan buat orang-orang yang kalah. Sebentar tenang, sehabis itu mati.
0 komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar Anda Di Sini :