Lonceng Kematian Pendidikan Nasional
Pro kontra yang menyelimuti pemberlakuan status badan hukum pada penyelenggara dan /atau satuan pendidikan terjawab dengan ketukan palu sidang dari ruang DPR. Rancangan Undang-Undang BHP yang menjadi perdebatan di ranah publik akhirnya menjadi undang-undang yang mengikat secara hukum. Pengesahan ini dianggap sebagian kalangan sebagai bentuk halus dari privatisasi pendidikan yang semakin membuat pendidikan menjadi barang dagangan. Tampak jelas terlihat bahwa ada semangat untuk memaksa institusi pendidikan harus dikelola seperti korporasi melalui pengaturan tentang tata kelola,pengurus kekayaan,biaya operasional dan istilah-istilah baru yang cocok diterapkan pada perusahaan.
Jika kita menarik garis sejarah kebelakang, Badan Hukum Pendidikan merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 23 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan penyelenggara dan /atau satuan pendidikan formal yang didirikan pemerintah atau masyarakat harus berbentuk badan hukum pendidikan. Undang-undang inilah sumber pangkal dari penerapan otonomisasi institusi pendidikan. Dengan status BHP,maka semakin menelanjangi fakta lepas tanganya pemerintah dan memberi pembenaran bahwa BHP merupakan wujud dari demokratisasi pendidikan.
Kesalahan paradigima lainya adalah dijadikanya pendidikan sebagai salah satu sektor jasa. Proses meliberalkan pendidikan telah diinstitusionalkan dalam kebijakan-kebijakan yang sifatnya mengikat. Pada putaran WTO di Doha, disepakati bahwa pendidikan termasuk sektor jasa yang diperdagangkan. Artinya, pendidikan direduksi dan dijadikan komoditi transaksional dalam ruang pasar. Saat ini biaya bangku kuliah untuk memasuki perguruan tinggi negeri sudah semakin tak terjangkau dan diskriminatif. Universitas berlomba-lomba dalam membuka jalur-jalur yang dianggap bisa memberikan profit. Sementara jatah kursi untuk seleksi formal seperti SPMB jumlahnya semakin berkurang. Kuota bagi mahasiswa asing untuk kuliah, ditutupnya jurusan yang tidak menghasilkan profit dan pelibatan swasta dalam pengelolaan pendidikan dikhawatirkan akan membunuh jati diri perguruan tinggi sebagai lembaga pendidikan.Dengan demikian,kampus sedang menuju sebuah transisi dari yang awalnya untuk memenuhi hak-hak pendidikan warga negara menjadi sebuah perusahaan yang berorientasi profit.
Ketiga, status pailit. Pendidikan sebagai hak warga negara menjadi tidak pasti karena adanya status pailit bagi insitusi pendidikan. Untuk itu dapat kita prediksi bagaimana peserta didik sangat rentan akibat ketidakpastian pendidikan,selain itu insitutusi pendidikan akan mencari jalur-jalur agar tidak pailit termasuk dengan membuka jurusan berorientasi pasar,menaikkan biaya pendidikan,sehingga dalam jangka panjang membentuk budaya bisnis dalam dunia pendidikan.
Untuk itu kita tidak bisa tinggal diam menyikapi persoalan ini. Selain melakukan aksi protes dengan berunjuk rasa ke pihak-pihak terkait. Gelombang protes juga harus dilakukan secara mengakar,yakni melakukan uji materil (judicial review) Pasal 53 UU Nomor 20 tahun 2003.Sebagai penganut negara kesejahteraan,sejatinya peran negara sangat berperan besar dalam mengurus dan memenuhi hak dan kebutuhan warganya. Bukan menyerahkan nasib warga ke dalam lubang hitam pasar yang ganas dengan diktum survival by the fittest atau siapa yang kuat dialah yang akan bertahan dan yang lemah akan tergilas mati.
Adi Surya
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fisip Unpad
0 komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar Anda Di Sini :