Benarkah Pancasila masih dibutuhkan? Pada tahun
2011 silam, Presiden SBY pada peringatan Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 tentang
Lahirnya Pancasila di gedung DPR/MPR, memaparkan hasil survei BPS tentang cara
pandang masyarakat Indonesia terhadap Pancasila. Sebanyak 79,26 persen masyarakat beranggapan Pancasila penting untuk
dipertahankan. Kemudian 89 persen menganggap berbagai permasalahan bangsa seperti
tawuran, konflik antara kelompok masyarakat dan sebagainya terjadi karena
kurangnya pemahaman dan pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Survei ini bisa saja dipandang positif, tetapi
sebenarnya mengandung ironi. Ironinya, 67 tahun sejak Pidato 1 Juni 1945
tentang lahirnya pancasila, masalah yang dibicarakan masih saja sebatas kurangnya
pemahaman dan pengamalan Pancasila.
Pancasila
hanya dipahami hanya sebatas lima silanya, yakni dimulai Sila Ketuhanan sampai
Sila Keadilan Sosial. Padahal, bukankah untuk bisa mengaktualisasikan makhluk
yang bernama Pancasila, kita perlu telusuri apa dan siapa dan dalam kondisi apa
Pancasila lahir. Di saat yang sama, berbagai seminar, pidato, diskusi terus
menerus mereproduksi Pancasila sebagai bagian dari wacana. Degradasi terjadi
ketika repetisi yang berlangsung hanya sebatas simbol-simbol dan bukannya
pemahaman terhadap nilai-nilai Pancasila secara menyeluruh. Inflasi pelafalan
Pancasila yang tidak dibarengi dengan internalisasi dan implementasinya
menyebabkan devaluasi nilai dasar negara ini. Pancasila terus menerus direproduksi
tanpa tahu fungsi dan utilitasnya. Produk tersebut seringkali ditempatkan di
“etalase solusi” yang ketika ada persoalan, dengan enteng telunjuk kita
mengarah ke etalase tersebut.
Beramai-ramai
orang menyebut Pancasila sebagai solusi dari masalah yang dihadapi negara ini.
Solusi yang dirasa abstrak karena konkretisasi nilai-nilai Pancasila masih jauh
untuk direalisasikan karena masih dalam tataran wacana saja. Komitmen untuk
mengaplikasikan Pancasila dalam lini-lini kehidupan berbangsa dan bernegara ini
tidak banyak dimiliki oleh individu maupun institusi yang seharusnya turut
mengawal tumbuh kembang Pancasila.
Bunyi-Bunyian Pancasila
Pancasila
yang terlihat begitu melekat dalam setiap aktivitas pejabat negara sampai
dengan rakyat biasa, tidak berarti apa-apa ketika dihadapkan dengan masalah
pluralisme yang banyak terjadi di berbagai titik di Indonesia. Lihat sumpah
jabatan pejabat negara yang kini jadi tumpukan sampah. Dalam UUD 1945 baik
sebelum maupun sesudah amandemen, sumpah presiden berbunyi “memegang teguh UUD” (di mana ada
Pancasila di dalamnya). Lihat pula komitmen para kepala daerah dalam Pasal 27
huruf (a) UU Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang berbunyi “Kepala daerah dan wakil kepala daerah
mempunyai kewajiban memegang teguh dan mengamalkan pancasila...”. Buka pula
tentang sumpah PNS dalam Pasal 26 UU 43 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kepegawaian yang bunyi sumpahnya “Bahwa
saya, untuk diangkat menjadi PNS, akan setia dan taat sepenuhnya kepada
Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945...” Sampai ke tingkatan peserta didik, di mana dalam upacara bendera, tidak
pernah ketinggalan, pembacaan sila-sila pancasila. Tetapi kenyataanya sangat
jauh panggang dari api. Oleh karena
itu, menarik apa yang dikatakan Yudi Latif (2011), bahwa di zaman orde baru, penataran Pedoman Penghayatan dan Penerapan
Pancasila (P4), buku-buku dan pidato para pejabat di mana-mana tentang
Pancasila, tidak memiliki satu pun kandungan yang dapat diterapkan. Wacana Pancasila lebih mirip bunyi-bunyian di dunia ide,
yang enak didengar, enak diulang-ulang, enak dipentaskan di berbagai panggung
tetapi secara tidak sadar, hal ini bisa saja menimbulkan efek “eneg Pancasila”
di dunia nyata.
Setidaknya
munculnya “eneg Pancasila” hari ini bisa kita lacak dari tiga aspek yang
mencakup aspek kenegaraan, kebangsaan dan kemasyarakatan. Pertama, aspek
kenegaraan. Notonagoro melihat Pancasila, sebagai cita hukum (rechtsidee) merupakan bintang pemandu.
Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide
dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan
pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila. Dalam hal ini, perwujudan nyata-nya bisa kita
lihat pada Pasal 2 UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan
Perundang-undangan yang bunyinya “Pancasila merupakan sumber segala sumber
hukum negara”. Berlawanan dengan itu, data di Mahkamah Konstitusi menyebutkan, dari sekitar 400 pengaduan
gugatan UU yang masuk ke lembaga itu pada Agustus 2003-Mei 2012,
sekitar 27 persen di antaranya dibatalkan karena melanggar
nilai-nilai Pancasila. Belum lagi
maraknya perda-perda yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila. Serta tak
lupa kebijakan kepala daerah yang begitu vulgar mengingkari ideologi negara.
Kedua,
aspek kebangsaan. Hal yang paling aktual adalah bagaimana kita gagal merawat
permata pluralisme kebangsaan Indonesia. Kekerasan atas nama
pemurnian dan perlindungan terhadap agama dilakukan mulai marak terjadi sejak awal 2000-an. Sepanjang 2007- 2010 Mabes Polri mencatat paling tidak terjadi 107 kekerasan yang dilakukan organisasi
kemasyarakatan berbasis keagamaan maupun primordialisme etnis. Pada 2007 ada 10
tindak kekerasan. Pada 2008 ada 8 kali. Pada 2009 ada 40 kali, sementara pada
2010 ada 29 kali. Data Mabes Polri ini diperkuat dengan data yang dikeluarkan
Setara Institute, yang menunjukkan sepanjang 2009-2010 terjadi sebanyak 183
kekerasan atas nama agama dilakukan aktor non-negara.
Demokrasi liberal turut serta berdampak pada proses liberalisasi ideologi dalam kehidupan kebangsaan kita. Ditambah lagi dengan hancurnya perekonomian nasional
akibat ekspansi kapital multi-nasional dalam kerangka neo-liberal yang juga
merupakan dampak dari ketiadaan nilai atau ideologi bangsa di kalangan elit politik dan
pejabat negara. Kelompok radikal keagamaan relatif
berhasil menjual ‘mimpi’ akan kehidupan
yang lebih layak dibawah naungan hukum
syariah atau bentuk negara khilafah ditengah-tengah masyarakat yang frustasi
akibat problem ekonomi yang tiada berujung.
Ketiga,
aspek kemasyarakatan. Hal yang paling nyata terlihat dalam keseharian
masyarakat adalah bagaimana budaya asing begitu mendominasi ruang publik serta
semakin menguatnya nilai individualisme. Absensinya nilai-nilai gotong-royong
datang bersama modernisasi ala barat di segala sektor kehidupan.
Fundamentalisme agama juga merasuk mengisi kekosongan dalam tubuh masyarakat
yang lahir akibat perubahan sosial yang berderap cepat.
Radikalisasi Positif Ideologi
Pancasila tidaklah jatuh
dari langit, melainkan ideologi yang butuh perjuangan. Sudah saatnya kita
berhenti berdebat tentang Pancasila dan saatnya menggaungkan radikalisasi
ideologi. Dalam hal ini, Bung Karno dalam bagian akhir pidatonya pada 1 Juni di
depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai
menekankan betapa pentingnya perjuangan Ideologi itu. “Maka dari itu, jikalau bangsa Indonesia ingin supaya Pancasila yang
saya usulkan itu, menjadi satu realiteit,...ingin hidup sempurna dengan sociale rechtvaardigheid, ingin hidup
dengan sejahtera dan aman, dengan ketuhanan yang luas dan sempurna – janganlah
lupa akan syarat untuk menyelenggarakannya, ialah perjuangan, perjuangan, dan
sekali lagi perjuangan!”
Di sini
Pancasila sebaiknya, meminjam istilah Yudi Latief, mengalami proses
radikalisasi yang positif yakni penjangkaran dan pengakaran lebih dalam di
masyarakat. Artinya ideologi tidak sekadar hafalan, tidak sekadar
bunyi-bunyian, tidak pula sekadar macan kertas. Istilah
radikalisasi ini, oleh budayawan Kuntowijoyo, menunjuk pada upaya “mengaktifkan” sila-sila dalam
Pancasila agar “operasional”, untuk menjadi dasar negara, pedoman, filsafat,
serta ideologi dan tercermin dalam perilaku keseharian bangsa, terutama para
elite politik. Proses radikalisasi Pancasila ini
bisa dilakukan dengan jalan mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara,
mengembangkan Pancasila sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu,
mengusahakan Pancasila memiliki konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi
antarsila, dan korespondensi dengan realitas sosial, serta menjadikan Pancasila
yang semula hanya melayani kepentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang
melayani kepentingan horizontal sekaligus menjadikan Pancasila
sebagai kritik kebijakan negara. Dengan begitu, Pancasila akan menjadi lebih
operasional dalam kehidupan dan ketatanegaraan, sanggup memenuhi kebutuhan
praktis dan pragmatis, dan bersifat fungsional.
Untuk itu
menjadi tepat apa yang dilakukan MPR-RI periode 2009-2014 menjadikan setiap 1
Juni sebagai peringatan bersejarah dimana
untuk pertama kalinya Bung Karno berpidato tentang Pancasila sebagai dasar
negara di depan BPUPK. Begitu pun sosialisasi empat pilar yang dilakukan oleh
MPR bisa menjadi mata air ditengah keruhnya lautan air mata republik. Tetapi
MPR tidaklah bisa sendirian. Harus ada sinergi dengan instansi-instansi lain
yang dapat mendukung proses pembumian Pancasila dalam kehidupan masyarakat.
Bangsa ini sudah terlalu lama tiarap. Kita segenap rakyat Indonesia sudah sejatinya
menjadi prajurit pengawal benteng Ideologi republik. Anda ingin tetap melihat
bangsa ini terus terpuruk terhina? Maaf, saya tidak.
Adi Surya Purba
Tenaga Ahli Anggota DPR RI
Aktivis GMNI
1 komentar:
SETUJU BUNG... TETAP SEMANGAT MERDEKA!!!!
Penggunaan istilah bintang pemandu digunakan pertama kali oleh Rudolf Stammler. Kemudian Soekarno menggunakannya juga pada kuliah umum Pancasila...
Memahami Pancasila juga tidak bisa dipisahkan dari pandangan Soepomo tentang negara integralistik... dan konsep kekeluargaannya... walaupun dalam beberapa dekade menuai kritik dari beberapa pihak yang belum "paham"
tapi A. HAMID S. ATTAMIMI dalam majalah tempo membela Soepomo sebagai berikut...
Catatan pinggir: terlalu "pinggir"
Saya berpendapat, Catatan Pinggir Goenawan Mohamad dalam TEMPO 13 April 1991 agak "mis" dalam menilai cita negara (staatsidee) yang dikemukakan Soepomo untuk Negara Republik Indonesia yang akan dibangun. Soepomo tidak hanya melihat Das Sollen, yang memang merupakan keharusan bagi seorang ahli hukum pada umumnya, melainkan juga ia melihat Das Sein sebagaimana layaknya seorang ahli hukum adat pada khususnya. Cita negara yang dikemukakannya menjawab permintaan Ketua Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai Dr. Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar filsafat (phillossophische grondslag) atau pandangan hidup ( Weltanschauung) dari negara kita. Cita negara sama halnya dengan cita hukum (rechtsidee), adalah tipe ideal. Dalam melukiskan cita hukum, Rudolf Stammler mengumpamakannya sebagai bintang pemandu (Leitstern) yang tidak mungkin dicapai namun dapat mengarahkan dan menguji kenyataan sosial yang terjadi. Begitu juga cita negara persatuan ataupun cita negara kekeluargaan memang perlu ada sebagai pilihan dari beberapa cita negara yang "tersedia". Tanpa suatu cita negara, Negara Republik Indonesia akan kehilangan arah dan segala yang terjadi dalam kenyataan sosial tidak dapat diukur benar tidaknya. Jadi, andai kata kita tidak setuju sekalipun dengan cita negara yang dikemukakan Soepomo, kita juga tetap memerlukan suatu cita negara. Silakan pilih! Selanjutnya, adalah tidak benar bahwa Soepomo menolak usul Bung Hatta mengenai kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan sebagainya. Usul Bung Hatta yang berbunyi, "Hak rakyat untuk menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul, diakui oleh negara dan ditentukan dalam undang-undang", tidak disetujui oleh Soepomo karena adanya kata "hak" dalam arti subjectief recht, karena dianggapnya bertentangan dengan sistematik cita negara kekeluargaan yang nota bene. Soepomo kemudian, setelah memahami maksud Bung Hatta, menawarkan usul "kompromis" karena dianggapnya "tidak semua orang dapat lekas insaf kepada paham kekeluargaan itu", dengan menyampaikan rumusan "Hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk bersidang dan berkumpul, untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan lain-lain diatur dengan undang-undang". Akhirnya, usul "kompromis" itu memperoleh rumusan "kompromis" pula sebagaimana bunyinya yang kita temukan dalam UUD 1945. (Bukan kata "hak" dan bukan pula kata "hukum", melainkan langsung dengan kata "Kemerdekaan ... dst." Lihat Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 susunan Muh. Yamin halaman 357 dan 358 jo. halaman 299). Saya juga berpendapat, Soepomo membuat kesalahan dengan menggunakan kata-kata "totaliter", "integralistik", "persatuan", dan "kekeluargaan" dalam arti dan maksud yang sama sebagaimana dilihatnya pada desa kita. Namun, untuk menyalahkan Soepomo begitu saja, karena dewasa ini kita melihat kenyataan yang belum sesuai dengan cita negara yang dikemukakan olehnya, catatan Goenawan Mohamad terlalu "pinggir" dan, karena itu, saya rasa tidak adil.
A. HAMID S. ATTAMIMI Jl. Leuser No. 54 Kebayoran Baru Jakarta 12120
Posting Komentar
Beri Komentar Anda Di Sini :