Reformasi di
tubuh institusi Polri ternyata masih sebatas jargon. Tetap saja persepsi publik
terhadap institusi ini bernada miring. Penanganan dalam bentrok warga Ogan
Ilir, Sumatera Selatan dan terungkapnya dugaan korupsi proyek pengadaan alat
simulator kemudi mobil dan motor yang dilakukan Korps Lalu Lintas Polri
(Korlantas Polri) menambah catatan buram wajah Kepolisian. Padahal, sejak
berpisah dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), Polri diharap bisa mengambil
peran pelayan dan pelindung ketertiban dan keamanan masyarakat. Seturut dengan
pemisahan itu pula, reformasi Polri menjadi istilah yang terus menerus
digaungkan karena peran sentral institusi ini dalam penegakan hukum. Komitmen
reformasi ini adalah janji Polri kepada republik. Maka tak heran, ketika setiap
penyelewengan kewenangan akan disorot begitu keras oleh publik.
Landasan tujuan Kepolisian tertuang
dalam pasal 4 UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang bunyinya “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan
ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia”. Tujuan
mulia tersebut menuntut personel-personel yang sudah terlebih dulu bisa mengamankan,
menertibkan, menentramkan, melindungi dirinya sendiri dari godaan praktik
melanggar hukum. Dalam hal ini, perlu diingatkan, bahwasanya Polri lahir dari
rakyat dan selama-lamanya mengabdi kepada rakyat dalam kerangka besar pemenuhan
tujuan bernegara, melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.
Oleh karenanya, dalam kerangka menuju ke
arah Polri yang bisa menjadi abdinya rakyat, perlu disusun langkah-langkah
pencapaian. Polri sudah membuatnya di atas kertas bernama Grand Strategy Polri
2005-2025 yang terbagi atas tiga periode. Pertama, Periode 2005 – 2010
merupakan tahap trust building,
Periode 2010 – 2014 tahap patnership
dan Periode 2015 – 2025 tahap strive for
excellence. Melihat pembabakan tersebut, seharusnya Polri saat ini berada
pada tahap patnership, yang fokus membangun
kerjasama yang erat dengan berbagai pihak yang
terkait dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian. Namun, benarkah
Polri telah melewati tahap yang pertama, yakni tahap membangun kepercayaan
dimata publik ? Salah satu indikator untuk menjawabnya bisa dilihat dari
fenomena main hakim sendiri yang dilakukan baik oleh kerumunan orang maupun
ormas. Indikator lainya, keberadaan KPK yang terus menerus hendak diperkuat
yang sebenarnya menelanjangi reformasi Polri yang belum beres berbenah diri. Polri
belum dapat dipercaya.
Proses pembenahan ini seharusnya dipimpin
langsung oleh pucuk komando tertinggi, yakni Kapolri. Meminjam ucapan Cicero
dalam buku Imperium, “Ikan busuk dari kepalanya”. Jika pimpinan benar, maka
anak buah akan ikut benar, begitu pun sebaliknya. Jika pimpinan hanya bisa
berjanji, maka anak buah juga berpotensi besar untuk terjangkit. Kapolri
sebagai “kepala ikan” harusnya dituntut merealisasikan janji sepuluh komitmen
revitalisasi Polri pada saat fit and
proper test di DPR. Pertama, menjunjung
tinggi supremasi hukum dengan menegakkan hukum dan selalu bertindak sesuai
dengan ketentuan hukum, memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum. Faktanya, adanya tudingan Polri tebang pilih dalam beberapa kasus memang
mencederai supremasi hukum kita. Salah satunya terlihat dari penanganan kasus
surat palsu
MK. Disisi lain, polisi justru
sangat cepat memproses kasus yang menimpa masyarakat kecil tetapi sangat lambat dalam
memproses “kaum berpunya”.
Kedua, memastikan penuntasan penanganan
perkara yang memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum serta diinformasikan
penanganannya secara transparan kepada masyarakat. Menurut data yang dilansir dari ICW, ada sebanyak 20 kasus macet
yang belum jelas penangananya. Polri selalu beralasan bahwa belum ditemukanya
cukup bukti. Ketiga, memberikan
pelayanan publik yang lebih baik, lebih mudah, lebih cepat, lebih berkualitas,
lebih nyaman dan memuaskan bagi masyarakat.
Sebenarnya sudah menjadi rahasia umum bahwa
pelayanan yang dilakukan oleh Polri masih belum memuaskan masyarakat. Kita
sering mendengar masyarakat yang pernah berurusan dalam pembuatan SIM/STNK/SKCK, pelanggaran
peraturan lalu lintas, laporan kehilangan, kecelakaan, dan laporan
kasus pidana, tidak puas terhadap pelayanan yang dilakukan polri. Survei Integritas
Sektor Publik yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan
pelayanan polisi dalam penerbitan surat-surat seperti Surat Izin Mengemudi dan
Surat Keterangan Catatan Kepolisian mendapat nilai di bawah rata-rata. Unit
layanan SIM dan SKCK Kepolisian di 22 kota tercatat memperoleh indeks sebesar
4,60, di bawah rata-rata 5,42, alias indeks integritas paling rendah.
Keempat, membangun kerjasama dengan seluruh stakeholder dalam berbagai bidang yang
terkait dengan tugas pokok, fungsi dan peran polri, termasuk bentuk kerjasama
dalam bidang keamanan, pelayanan, pengembangan sumber daya manusia, penelitian
dan pengembangan serta pengawasan. Polri diketahui telah melakukan kerjasama dengan Komnas HAM pada tanggal 9 Mei 2011 di bidang
pendidikan dan penyelesaian kasus-kasus HAM. Namun, faktanya, kerjasama yang
dilakukan oleh Polri tidak memberi efek getar perubahan dalam perubahan mindset
khususnya penggunaan tindakan kekerasan. Polri sejak berpisah dari TNI
diharapkan tidak lagi menggunakan pola-pola militer dalam setiap tindakanya.
Namun faktanya, tindakan
polri terkadang malah melebihi militer.
Kelima, menunjukkan sikap kepemimpinan tauladan yang melayani
dan memberdayakan bawahan. Kepemimpinan dilihat dari
seberapa besar keberhasilanya menggerakkan bawahan untuk mencapai tujuan.
Tujuan polri dalam mewujudkan keamanan dan ketertiban serta pelayanan dan
pengayom masyarakat telah gagal. Ini bisa terlihat dari catatan buruk
kepolisian beberapa waktu ke belakang baik dalam kekerasan aparat, pembiaran
kekerasan, tudingan mafia hukum di tubuh polri, dugaan rekening gendut, polemik
penerimaan dana dari PT. Freeport, ketidakmampuan memprediksi dan mengatasi
konflik dan sebagainya.
Keenam, bekerja dengan senang hati, tulus, ikhlas dalam tugas
dan pengabdian serta mencurahkan segenap kemampuan, pemikiran, waktu, dan
tenaga untuk keberhasilan Polri. Jika janji revitalisasi
nomor enam ini dilaksanakan, tentu Polri tidak akan menghadapi persoalan –
persoalan seperti saat ini. Ketujuh, menerapkan prinsip reward
and punishment dengan memberikan penghargaan terhadap anggota yang
berprestasi serta memberi sanksi tegas bagi personel yang melanggar hukum, kode
etik, dan disiplin Polri. Salah satu faktor peningkatan
kepercayaan terhadap lembaga Polri adalah bagaimana polri berperilaku adil
kepada setiap warga negara. Tetapi, pelanggaran oleh aparat polri dalam
banyak kasus, hanya dikenakan sebatas sanksi disiplin saja.
Kedelapan, menjamin keberlanjutan kebijakan dan program yang
telah dilaksanakan oleh pejabat Kapolri sebelumnya sebagaimana yang tertuang
pada Grand Strategy Polri 2005-2014,
reformasi birokrasi Polri, dan akselerasi transformasi Polri. Jika kita lihat Grand Strategy
Polri 2005-2014, Kapolri periode lalu berada dalam tahap pembangunan
kepercayaan (trust building) yang dimulai
dari 2005-2009. Namun, bisa jelas kita lihat, Kapolri yang sekarang menjabat, tidak berhasil mengemban tugas
tersebut, malah tindakan
main hakim sendiri maupun pengambilalihan tugas polri oleh sekelompok ormas, semakin marak.
Kesembilan, taat asas dan berlaku adil dengan bersikap dan
berperilaku sesuai etika, prosedur, dan hukum yang dilandasi rasa keadilan. Salah satu kejadian dimana Polri melanggar
etika, prosedur dan hukum yang dilandasi keadilan adalah penggunaan tindakan
dalam mengatasi unjuk rasa di Bima. Pada saat itu, Polri melanggar Protap Nomor
1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarki yang mengakibatkan adanya
korban tewas. Kesepuluh, menjaga
integritas dengan bersikap tidak menyalahgunakan wewenang, transparan,
akuntabel, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, etika dan moral. Data Komnas HAM, polisi pada tahun 2011 ditempatkan sebagai penegak
hukum paling atas yang melakukan pelanggaran HAM. Data yang dimiliki Komnas HAM
bulan Januari – Oktober 2011 sebanyak 1075 kasus. Sementara pada tahun 2010
sebanyak 872 kasus. Artinya, terjadi peningkatan tindakan pelanggaran HAM
sebesar 18,88% dari tahun sebelumnya.
Polri sebaiknya serius berbenah. Inilah
masa pembuktian janji-janji manis Kapolri. Rakyat sudah lama rindu akan sosok
pengayom, pelayan, pelindung hak-haknya. Komando penegakan hukum harus terus
dikorbarkan. Keamanan dan ketertiban tidak jatuh dari langit. Semua butuh
perjuangan. Jika tidak, jangan sampai apa yang dikatakan Cicero, bahwa “ikan
busuk dari kepala”, terjadi di tubuh polri. Anda mau ? Maaf saya tidak.
Adi Surya Purba
Mahasiswa Pasca Sarjana FISIP UI
Tenaga Ahli Anggota DPR RI