Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati sejarah bangsanya. Bahkan tidak hanya menghormati, tetapi juga ikut melestarikannya. Peninggalan sejarah seperti bangunan-bangunan tempo dulu kebanyakan dipandang sebagai bagian dari masa lalu oleh kebanyakan generasi muda sekarang. Padahal, bangunan tersebut menjadi simbol yang menceritakan dan turut menentukan apa yang kita jalani hari ini. Mengetahui masa lalu sebenarnya turut menggali nilai-nilai perjuangan yang ditanamkan oleh pendahulu bangsa ini. Kita kebanyakan berkiblat ke negara lain, tetapi lupa akan rumahnya sendiri. Hal ini pula yang menimpa sebuah gedung bersejarah di Jalan Perintis Kemerdekaan nomor 5,Bandung. Keberadaanya seakan terlupakan dalam gegap gempita geliat zaman. Paling, hanya mereka yang segelintir yang ingat dan tahu akan makna sebuah perjuangan dari dalam gedung ini.
John, seorang karyawan yang sehari-hari bekerja di Gedung Indonesia Menggugat (GIM) mengisahkan bahwa nama gedung itu diambil dari judul pidato pembelaan Soekarno yang ia bacakan sendiri di salah satu ruang di gedung ini pada saat sidang pengadilan kasus politiknya pada tahun 1930. Bangunan ini diberi nama Gedung Indonesia Menggugat pada tahun 2005 oleh almarhum H.C. Mashudi, setelah menjalani renovasi fisik. Gedung Indonesia Menggugat Bandung kemudian diresmikan sebagai ruang publik pada 18 Juni 2007 oleh Pemda Propinsi Jawa Barat. Gedung ini sebelumnya merupakan gedung pengadilan kolonial Belanda. Pada 29 Desember 1929, Soekarno dan beberapa koleganya dari PNI, yaitu Raden Gatot Mangkoepradja, Maskoen, dan Soepriadinata, ditangkap polisi Belanda, dan diinapkan semalam di penjara Margangsan di Yogya, sebelum dipindahkan ke sebuah sel sempit di penjara Banceuy Bandung pada keesokan harinya. Di dalam penjara yang kotor dan bau inilah Soekarno menyusun pidato pembelaan yang bersejarah itu.
Memang menurut sejarahnya, Gedung Landraad yang dibangun 1907 oleh Wolf Schoemaker ini diubah menjadi Pengadilan Hindia Belanda tahun 1917. Soekarno adalah salah satu murid Wolf Schoemaker. Dia juga ikut membantu dalam pembangunan gedung yang justru menjadi tempat pengadilan atas dirinya sendiri. Memang tidak banyak orang yang tahu akan sejarah gedung ini. Bahkan orang-orang Bandung pun banyak yang hanya melewati jalan tersebut tanpa rasa ingin tahu tentang gedung yang berbentuk huruf V ini.
Karyawan lain yang bernama John mengaku sudah bekerja selama sebulan bergabung dengan teman-teman lain untuk mengelola GIM. Pada awalnya, dia beserta teman-teman teaternya sering menggunakan gedung ini untuk mengaktualisasikan minat dan bakat mereka di bidang seni. Beliau juga menceritakan ketika kita memasuki pintu depan, sebelah kanan adalah ruang pengadilan tempat Bung Karno dengan gagah berani menyampaikan pidatonya yang sangat terkenal itu, “indonesia Menggugat”. Kini ruangan itu masih menyimpan meja dan kursi hakim, beberapa foto-foto bersejarah tentang masa-masa tersebut. Sementara di sebelah kiri pintu depan, John mengatakan bahwa ruang tersebut sekarang menjadi ruang tamu. Hal ini karena gedung GIM banyak dipergunakan oleh kalangan seniman, budayawan, pegiat diskusi publik dan berbagai jenis acara-acara yang mengundang partisipasi publik. Untuk itu, perlu ruangan tersendiri untuk tamu-tamu yang diundang, mempersiapkan segala sesuatunya sebelum tampil.
Selain itu, setiap dinding gedung ini menampilkan foto-foto berserta rentetan peristiwa bersejarah pada masa itu. Kebanyakan tentang peran Bung Karno yang dikisahkan. Ruangan lainnya adalah ruang perpustakaan. Namun, melihat kondisinya yang hanya menyimpan sedikit buku-buku, perpustakaan ini tampak bukan seperti perpustakaan sejarah. John juga mengakui bahwa kebanyakan buku-buku yang ada di perpustakaan ini disumbangkan oleh orang-orang yang menggunakan gedung dan masyarakat yang ingin menyumbang. Misalnya, ketika ada acara bedah buku di GIM, buku yang dibedah disumbangkan ke perpustakaan ini. “Kedepannya, perpustakaan ini akan coba dilengkapi dengan koleksi-koleksi yang lebih lengkap lagi” terangnya.
Di sebelah ruangan perpustakaan, terdapat ruang seminar yang cukup luas. Ruang inilah yang banyak digunakan kelompok-kelompok masyarakat untuk mengadakan acara. John menuturkan “gedung ini banyak digunakan kelompok seni,budaya dan akademisi. Yang rutin membuat acara di GIM adalah anak-anak teater yang memanfaatkan fasilitas ini untuk berlatih dan tampil. Saat ini fungsi GIM lebih banyak sebagai ruang publik dibandingkan tempat wisata sejarah. Hal ini terlihat dari minimnya kunjungan wisatawan lokal untuk mengenal lebih jauh tentang gedung bersejarah ini. Saat ditanya berapa rata-rata pengunjung harian gedung ini, John menjawab sekitar lima hingga tujuh orang. Tentunya hal ini membuat kita miris. Sejarah sepertinya hanya milik kaum tua. Padahal untuk mengerti masa depan, generasi muda harus paham akan sejarah bangsanya.
Kini GIM memang diperuntukkan sebagai tempat pameran, pementasan, diskusi dan debat umum, yang kesemuanya mengakomodir kebutuhan masyarakat untuk menyuarakan kepedulian dan keprihatinan yang berkembang. Sebagai ruang publik, GIM mencoba menjadi tempat berkumpulnya masyarakat dari segala lapisan tanpa memandang strata untuk berdialog dan mengutarakan apa yang dipikirakannya. Ke depannya, gedung bersejarah tidak harus memakai paradigma “defensif” yang lebih menunggu kunjungan. Melainkan memainkan ciri yang “offensif” dimana gedung ini diperkenalkan mulai dari sekolah dasar dengan bekerja sama dengan pihak sekolah. Kegiatan bisa dimulai dengan membuat kunjungan sampai membuat tugas sekolah yang berkaitan dengan gedung ini.
Bung Karno pernah berujar “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”. Ironisnya, kini dia yang ditinggalkan oleh generasi muda yang menikmati hasil perjuanganya. Gedung ini mengajak kita untuk berani menggugat pada segala sifat penjajahan. Apakah kita sudah benar-benar merdeka?.Kalau begitu, jangan pernah takut menggugat.
Adi Surya
Mahasiswa Fisip Unpad
Aktivis GMNI Sumedang
0 komentar:
Posting Komentar
Beri Komentar Anda Di Sini :