Eksistensi organisasi masyarakat (ormas) telah terlihat jauh sebelum Negara Republik Indonesia berdiri. Pada zaman pergerakan nasional, ormas merupakan alat perjuangan penting dalam mencapai Indonesia merdeka. Membentuk ormas kala itu adalah satu-satunya pilihan realistis yang harus diambil dengan pemikiran bahwa perjuangan tidak bisa dilakukan sendirian. Namun tentu saja, membentuk ormas dengan tujuan merdeka dari exploitation de l'homme par l'homme merupakan suatu hal yang penuh resiko. Kontrol penjajah terhadap kebebasan berserikat dan berkumpul begitu ketat. Banyak yang dijebloskan di penjara dan beberapa dibuang ke pengasingan. Namun, ormas pulalah yang pada saat itu memberi andil melahirkan tokoh-tokoh pemimpin nasional serta rumusan model cara perjuangan ke arah cita-cita Indonesia merdeka. Tidak berlebihan kiranya jika kita berkata tanpa ormas, belum tentu ada cerita tentang Indonesia Merdeka.
Perkembangan masyarakat tak dapat dilepaskan dari peran ormas di setiap zaman. Kita mengenal Boedi Oetomo (1908) yang mencoba memperbaiki taraf pendidikan dan budaya untuk rakyat Jawa dan Madura, Syarikat Dagang Islam (1911) yang memiliki orientasi memperkuat perekonomian umat. Begitu pula halnya dengan organisasi lainnya seperti Perhimpunan Indonesia, Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama, yang turut menjadi obor dalam menerangi kelamnya kolonialisme dan imperalisme. Pasca-kemerdekaan, perkembangan ormas di Indonesia banyak mengalami pasang surut seiring bergantinya sistem pemerintahan. Zaman Orde Baru merupakan saat-saat di mana kebebasan berserikat dan berkumpul berada di titik nadir. Karakter otoritarian negara membuat semua kekuatan politik yang kritis dilemahkan. Ormas menjadi sasaran tembak dari pemerintahan yang arogan dan despotis. Negara melakukan pengontrolan, homogenisasi sampai pembekuan yang otoritas tafsirnya hanya ada di tangan pemerintah. Siapa melawan, pasti “digebuk”.
Setelah reformasi menjungkalkan Orde Baru, tuntutan demokrasi semakin kencang. Penguatan inisiatif lokal dan HAM terus tumbuh, keterbukaan dan desentralisasi mengemuka menjadi wacana publik. Perubahan momentum yang drastis itu turut membawa angin segar bagi perkembangan ormas yang lama direpresi. Tidak hanya secara kuantitas, perkembangan ormas juga terlihat dari beragamnya visi misi yang diusung masing-masing organisasi. Makin berjamurnya ormas yang ada, seyogyanya juga diikuti dengan pengaturan dan penataan organisasi yang semata-mata berorientasi pada kepentingan publik. Sebelumnya, pengaturan ormas terdapat dalam UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Namun peraturan tersebut dinilai masih belum memadai untuk mengatasi masalah terkait dengan ormas dan dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Salah satu masalah yang nyata terlihat adalah makin eksisnya ormas-ormas yang jutsru memperlemah komitmen terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Isu kekerasan, ancaman terhadap pluralisme, serta spionase merupakan masalah terkait ormas yang harus segera diselesaikan. Dalam perkembangannya kini, DPR telah membentuk panitia khusus (pansus) untuk segera merampungkan revisi UU tersebut. Pentingnya revisi aturan ormas ini tidak lepas dari semangat kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat yang merupakan bagian dari hak asasi manusia serta dijamin oleh UUD NRI 1945.
Dalam evaluasinya, ada beberapa poin penting dalam revisi Undang-undang ormas yang harus kita kawal bersama. Pertama, menyangkut asas ormas. Orde baru melakukan politisasi ideologi Pancasila sebagai tameng untuk “homogenisasi” ormas dengan asas tunggal yakni Pancasila. Ormas yang melawan mendapat labelisasi “ekstrem kanan” atau “ekstrem kiri” dan dikategorikan membahayakan Ideologi negara. Label itu menjadi legitimasi pemerintah Orde Baru untuk memberangus ormas yang menentang tersebut. Antipati terhadap pemerintahan Orde Baru juga berimbas pada Pancasila yang dinilai sebagai produk Orba. Namun, perlu disadari bahwa Pancasila adalah dasar negara dan falsafah bangsa, dan bukan merupakan alat politik rezim. Oleh karenanya, penempatan Pancasila sebagai asas ormas dalam menjalankan kegiatan dan mencapai tujuannya, tidak mengandung tendensi politik yang merelasikannya dengan Orba. Tindakan terorisme mengatasnamakan Islam tentu tidak membuat kita anti-Islam. Maka, seharusnya dalam rumusan UU Ormas wajib mencantumkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas dasar ormas dan dapat membuat ciri ormas sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Kedua, mengenai ormas-ormas yang berafiliasi dengan partai politik. Banyak pihak berpendapat sebaiknya ormas tidak dijadikan kendaraan politik untuk melakukan kegiatan-kegiatan politik praktis. Karenanya, banyak kalangan menyodorkan definisi ormas tidak termasuk organisasi yang berafiliasi dengan parpol. Namun, yang menjadi pertanyaan, masuk dalam kategori apakah ormas yang berafiliasi dengan parpol jika UU melarang ormas berafiliasi dengan parpol? Dan bagaimana cara pengaturannya? Ormas parpol seperti Baitul Muslimin, Kosgoro, Garda Bangsa dan sebagainya, juga cerminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Agar tidak menimbulkan kekosongan hukum, perlu dibentuk pengaturan ormas yang berafiliasi dengan parpol dalam revisi UU Ormas.
Ketiga, menyangkut masalah kegiatan dan keuangan ormas. Hal ini menjadi penting karena diduga banyak ormas yang menerima dana-dana yang tidak jelas pertanggungjawabannya. Selama ini dalam UU tentang Ormas, tidak diatur secara jelas tegas bagaimana dan lewat cara apa suatu Ormas mempertanggungjawabkan keuangannya. Lantas bagaimana kita mengatur keuangan ormas ?. Di dalam Bab Ketentuan Umum, Pasal 1 angka 3, UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, ormas yang seluruh dananya atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri dikategorikan sebagai badan publik. Kemudian pada pasal 9 UU ini diatur tentang informasi yang wajib diinformasikan oleh badan publik yang salah satunya mengenai informasi kegiatan, kinerja dan laporan keuangan secara berkala. Merujuk pada aturan tersebut, menarik untuk menggulirkan adanya semacam audit keuangan terhadap ormas dalam kapasitasnya sebagai badan publik. Hal ini bukan untuk mengekang ormas melainkan mencegah penyimpangan yang bertujuan menganggu kepentingan nasional. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan ormas harus dikelola dengan semangat profesional, transparan, dan menjunjung tinggi prinsip tata kelola keuangan yang baik. Selama ini pun semua ormas juga menuntut adanya transparansi birokrasi, maka sudah sepatutnya transparansi tersebut juga berjalan di organisasinya.
Keempat, larangan dan sanksi. Kebebasan mendirikan ormas tidak berarti tanpa aturan. Kebebasan sebagai hak juga melahirkan kewajiban sebagai bentuk pertanggungjawaban kebebasan tersebut. Merebaknya tindak kekerasan beberapa ormas belakangan ini membuat negara harus membuat rambu-rambu pengaturanya. Poin pentingnya adalah ormas bukan negara dan karenanya ormas tidak dibenarkan mengambil alih fungsi negara. Dalam RUU Ormas harus dicantumkan perihal larangan kegiatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, melakukan tindakan yang bisa menyebabkan disintegrasi bangsa, mengganggu ketertiban umum dan merusak fasilitas umum dan menyebarkan isu-isu permusuhan yang berbau suku, agama dan ras. Selain itu, ormas juga dilarang menerima bantuan asing sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adapun mengenai sanksi, sebaiknya ormas-ormas yang melakukan pelanggaran dikenakan sanksi bertahap mulai dari sanksi administratif sampai pembubaran ormas yang tidak dimonopoli pemerintah. Untuk itu perlunya dimasukkan mekanisme peradilan yang mencegah tafsir tunggal dari pemerintah atas tindakan ormas. Dalam UU ormas sebelumnya, pemerintah memegang kuasa otoritatif tanpa ada mekanisme peradilan. Selain itu, sanksi bagi ormas asing yang mengganggu kepentingan nasional juga perlu diatur. Sebaiknya negara tegas dalam menyikapi ormas asing yang membahayakan kepentingan nasional dengan cara mencabut izin dan melarang beroperasi di Indonesia.
Kelima, pengaturan tentang ormas asing. Dalam Pasal 39 RUU Ormas, dikatakan Ormas asing dalam pelaksanaan kegiatanya wajib bekerja sama atau melibatkan ormas Indonesia. Namun yang harus dikawal adalah apakah ormas Indonesia yang diajak bekerja sama perlu dipilih berdasarkan syarat-syarat tertentu, semisal lama beroperasi dan statusnya sudah berbadan hukum. Hal ini untuk menghindari rekayasa pembentukkan Ormas Indonesia yang muncul tiba-tiba hanya untuk kepentingan terlaksananya kegiatan ormas asing di Indonesia yang bukan tidak mungkin mengganggu kepentingan nasional kita.
Untuk itu penting kiranya dalam merevisi UU Ormas, pembuat undang-undang merujuk pada Pancasila dan UUD 1945. Hal ini agar hasil revisi mempunyai ruh dan semangat yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang hidup dan berkembang di masyarakat. Baik pihak pemerintah maupun ormas harus memahami, pengaturan terhadap salah satu elemen masyarakat ini diwujudkan bukan dalam makna yang represif dan subordinatif. Keduanya harus bekerja sama untuk mewujudkan sistem masyarakat yang ideal, madani, dan berdikari.
Adi Surya, S.Sos
Alumnus FISIP UNPAD