Dahulu, sewaktu kita masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), memperoleh nilai merah pada saat pembagian raport adalah hal yang memalukan. Nilai merah identik dengan penurunan prestasi. Tentunya wanprestasi itu disebabkan manajemen diri sendiri. Meskipun ada faktor luar yang mempengaruhi,tetap saja kualitas diri diuji untuk mencari solusi. Jika anak SD tersebut bertanggung jawab pada diri dan orang tuanya,tentunya seorang presiden harus malu kepada rakyat yang memberikan kepercayaan padanya. Artinya, seorang anak saja bisa malu,apalagi seorang negarawan seperti presiden ?
Menjelang 100 hari pemerintahan kabinet jilid II, publik mulai tidak puas. Nurani publik seakan terkoyak dengan terungkapnya dugaan konspirasi penahanan Bibid dan Chandra, penegakan hukum yang tidak memihak kaum marhaen (kaum tertindas) sampai skandal bank century. Wajar nurani publik terusik, karena pemimpin yang mayoritas didukung oleh rakyat,tidak mampu memulihkan kepercayaan kita semua. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono meletakkan 13 program kerja yang meliputi melanjutkan program pendidikan nasional, kesehatan masyarakat, program penuntasan kemiskinan, menciptakan lebih banyak lagi lapangan kerja bagi rakyat Indonesia,melanjutkan program pembangunan infrastruktur perekonomian Indonesia,meningkatkan ketahanan pangan dan swasembada beras, gula, jagung, dsb,menciptakan ketahanan energi dalam menghadapi krisis energi dunia; menciptakan good government dan good corporate governance, melanjutkan proses demokratisasi, melanjutkan pelaksanaan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, pengembangan teknologi, perbaikan lingkungan hidup dan pengembangan budaya bangsa.
Semua program bagus tersebut akan jadi pepesan kosong jika tanpa bukti konkrit. Nyatanya,publik merasa tidak ada sebuah prestasi yang layak ditonjolkan. Seorang pakar transisi kepemimpinan, Michael Watkins mengatakan hanya butuh 90 hari bagi pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi transisi. Padahal pemerintahan ini bukan lagi transisi tetapi melanjutkan. Jadi sebenarnya, tidak butuh 100 hari untuk membuktikan kinerja kabinet. Namun,penilaian raport presiden juga kita tempatkan dalam porsi yang proporsional. Dalam teori manajemen,evaluasi diartikan identifikasi keberhasilan dan/atau kegagalan suatau program kerja atau kegiatan. Evaluasi terbagi menjadi evaluasi proses dan evaluasi hasil. Melihat konteks 100 hari ini,kita berada pada posisi mengevaluasi proses. Tipe evaluasi ini, dilaksanakan pada interval periode tertentu,misalnya per triwulan atau semester selama proses implementasi.
Dari program kerja tersebut kita masih berjalan beriringan dengan kasus kontroversi UAN, kemiskinan masih tinggi, pengangguran yang terus bertambah, ketidakadilan bagi rakyat kecil, harga bahan pokok yang melambung, penegakan hukum yang belum tegak, mafia peradilan dan maraknya kerusakan lingkungan akibat izin yang semrawut. Dari sini publik bisa menilai,bagaimana memberi nilai raport kabinet. Teringat seorang anak SD yang malu mendapat nilai merah,tentunya dia akan berupaya keras untuk memperoleh kepercayaan orang tuanya. Jika tidak, tentunya sekolah juga berhak melakukan pemecatan. Begitu juga dengan presiden,jika masih ada rasa malu,segera perbaiki diri. Bukan dengan cara mengklaim program –program tersebut tanpa dirasakan publik. Jika tidak berbenah, memodifikasi pidato soekarno “jika kata-kata saja tidak mampu menyadarkan jiwa yang keblinger, terpaksa senjata rakyat yang berbicara”.
Diposting oleh:Ucox Unpad
-
Selasa, 19 Januari 2010
"Apabila aku telah mencapai sesuatu selama diatas dunia,ini adalah karena rakyatku.Tanpa rakyat aku tidak berarti apa-apa.Kalau aku mati,kuburkanlah Bapakmu menurut agama Islam dan diatas batu kecil yang biasa, engkau tulislah kata-kata sederhana : Di sini beristirahat Bung Karno,Penyambung Lidah Rakyat Indonesia"
CARA DOWNLOAD
1. COPY LINK BERIKUT : http://www.4shared.com/file/201261236/e79a9274/PENYAMBUNG_LIDAH_RAKYAT__GMNI_.html
2. Anda akan masuk dalam situs rapidshare dan klik UNDUH SEKARANG
3. Tunggu Hitungan Mundur DETIK dan klik KLIK DISINI UNTUK MENGUNDUH FILE
Diposting oleh:Ucox Unpad
-
Jumat, 15 Januari 2010
Di bawah ini adalah sebagian pasal-pasal yang ada dalam UU No. 22 Tahun 2009.
Pasal 293
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Untuk mobil yang tidak ada kotak P3K bisa dikenakan denda Rp 250.000 atau pidana 1 bulan (Pasal 278).
Pasal 107
(1) Pengemudi Kendaraan Bermotor wajib menyalakan lampu utama Kendaraan Bermotor yang digunakan di Jalan pada malam hari dan pada kondisi tertentu.
(2) Pengemudi Sepeda Motor selain mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyalakan lampu utama pada siang hari.
Pasal 293
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
(2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 ( lima belas) hari atau denda paling banyak Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Pasal 278
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan berupa ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, dan peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling paling banyakRp250. 000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 279
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang dipasangi perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).
Pasal 281
Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp1.000.000, 00 (satu juta rupiah).
Pasal 285
(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor
beroda empat atau lebih di Jalan yang tidak memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat
pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, atau penghapus kaca sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) juncto Pasal 48 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling
banyak Rp500.000,00 ( lima ratus ribu rupiah).
Pasal 291
(1) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor tidak mengenakan helm standar nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor yang membiarkan penumpangnya tidak mengenakan helm sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (8) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah).
Pasal 293
(1) Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari dan kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal107 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan atau denda paling banyak
Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). (2) Setiap orang yang mengemudikan Sepeda Motor di Jalan tanpa menyalakan lampu utama pada siang hari sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 (lima belas) hari atau denda paling banyak Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).
Bagaimana jadinya kalau sebuah undang-undang dinyatakan berlaku dengan memuat aturan dan sanksi tetapi tidak disertai dengan persiapan sarana dan prasarana (penunjang) ?. Hal inilah yang sekarang kita temukan pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Sebagai contoh,pengendara yang belok kiri dikatakan tidak boleh langsung.Padahal,rambu atau perangkat pendukungnya belum ada. Jika pengemudi kendaraan yang tidak mengutamakan keselamatan pekalan kaki harus dihukum kurungan 2 bulan. Sementara fasilitas pejalan kaki tidak dibangun.Disatu sisi pemerintah menyatakan UU telah berlaku,namun disisi lain tidak disiapkan perangat pendukungnya. Lantas, masyarakat lagi yang jadi korban.
Belum lagi pasal pada UU itu tidak hanya mengancam pengemudi kendaraan dengan banyak sekali pasal pidana dengan ancaman kurungan. Padahal,pelanggaran administratif semacam tidak mengenakan helm standar,tidak menyalakan lampu utama di siang hari cukup dengan sanksi administrasi seperti peringatan sampai pencabutan SIM atau denda uang.Ditakutkan banyaknya ancaman pasal pidana menjadi lahan subur praktik korupsi atau suap di jalanan.
Sebagai pengguna jalan,kami berharap pemberlakuan undang-undang ini tidak menjadikan masyarakat sebagai korban. Jika perangkat penunjang sudah siap,sosialisasi peraturan sudah baik dan aparat bertindak adil maka tentunya peraturan itu pasti didukung karena bertujuan untuk membuat lalu lintas menjadi tertib di tengah semrawutnya lalu lintas kita. Jika tidak, akan banyak pengendara kendaraan akan masuk bui atau mengganti denda yang sangat berat hanya untuk sebuah pelanggaran administratif.
Diposting oleh:Ucox Unpad
-
Kamis, 14 Januari 2010
Pertumbuhan Ekonomi Untuk Rakyat
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan pada tahun 2011 pemerintah akan bisa mengakselerasi pertumbuhan ekonomi menjadi 6%. Dengan pencapaian sebesar itu, pertumbuhan ekonomi sebesar 7% atau lebih pada tahun 2014, bakal terealisasi. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana yakin akselerasi atau percepatan pertumbuhan ekonomi bisa terlaksana. Pasalnya, indikator-indikator makro yang mendukung sudah menunjukkan perkembangan yang positif. Misalnya angka inflasi yang rendah dan membaiknya ekspor yang diprediksi akan tumbuh antara 5-10% pada tahun 2010. Akankah Indonesia bisa mencapai target tersebut dan yang lebih penting akankah target tersebut bermanfaat buat rakyat banyak ?
Faktor-faktor penyebab terganggunya pertumbuhan ekonomi dipicu oleh ketidakstabilan sosial, politik, dan ekonomi. Ini merupakan sumber yang menghalangi pertumbuhan ekonomi.Kedua,ketidakmampuan atau kelemahan setor swasta melaksanakan fungsi entreprenurial yang bersedia dan mampu mengadakan akumulasi kapital dan mengambil inisiatif mengadakan investasi yang diperlukan untuk memonitori proses pertumbuhan. Ketiga,rendahnya tabungan-investasi masyarakat (sektor swasta) merupakan pusat atau faktor penyebab timbulnya dilema kemiskinan yang menghambat pertumbuhan ekonomi.Keempat,jumlah penduduk yang sangat besar dan laju pertumbuhannya yang sangat cepat. Program pemerintahlah yang mampu secara intensif menurunkan laju pertambahan penduduk yang cepat lewat program keluarga berencana dan melaksanakan program-program pembangunan pertanian atau daerah pedesaan yang bisa mengerem atau memperlambat arus urbanisasi penduduk pedesaan menuju ke kota-kota besar dan mengakibatkan masalah-masalah social, politis, dan ekonomi.
Saat ini pertumbuhan ditopang oleh konsumsi rumah tangga. Padahal pertumbuhan yang baik harus bisa dihasilkan dari luar populasi.Untuk itu ada dua hal esensial harus dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi adalah, pertama sumber-sumber yang harus digunakan secara lebih efisien seperti sumber daya alam,sumber dan kualitas tenaga kerja,akumulasi kapital. Ini berarti tak boleh ada sumber-sumber menganggur dan alokasi penggunaannya kurang efisien.Yang kedua, penawaran atau jumlah sumber-sumber atau elemen-elemen pertumbuhan tersebut haruslah diusahakan pertambahannya.
Adanya pemerintah yang kuat dan berwibawa menjamin terciptanya keamanan dan ketertiban hukum serta persatuan dan perdamaian di dalam negeri.Penggenjotan ekspor produk-produk yang memiliki daya saing dengan membuka pasar,investasi dengan memberikan kemudahan,infrastruktur dan daya tarik dibanding negara lain,belum lagi kepastian hukum yang bisa menjamin psikologis pelaku usaha. Namun,yang paling penting untuk diingat bahwasanya pertumbuhan ekonomi bukan hanya berbicara angka-angka. Melainkan bagaimana angka tersebut berbicara untuk membuat kehidupan rakyat menjadi lebih baik. Jika tidak,percuma kita bicara akselerasi pertumbuhan ekonomi dengan bahasa-bahasa yang tidak dimengerti oleh bahasa rakyat.
Diposting oleh:Ucox Unpad
-
Selasa, 12 Januari 2010
Ada sebuah paradoks yang sulit kita pahami bersama. Ketika penjara atau Lembaga Pemasyarakatan (LP) kini menawarkan surga kebebasan dibandingkan dunia bebas yang justru kini tidak bebas. Lapas menjadi tempat paling aman untuk melakukan sebuah tindak kejahatan.Begitu juga dengan beberapa privilege yang didapatkan tahanan yang punya uang dan kuasa. Inspeksi mendadak yang dilakukan oleh Satgas Mafia Hukum di Rutan Pondok Bambu menunjukkan hal ini. Terpidana korupsi Arthalita Suryani menempati ruangan yang mirip hotel bintang lima dengan segala fasilitasnya. Nurani publik kembali terkoyak. Bukan hanya di ruang publik rasa ketidakadilan menjadi wacana mainstream,melainkan dibalik tembok penjara pun diskriminasi merajalela. Kejadian ini hanyalah sebuah masalah turunan dari carut marutnya perilaku aparat birokrasi LP. Jangan sampai koruptor tidak takut lagi untuk korupsi, karena penjara kini sudah menjadi surga.
Peristiwa seperti ini bukan untuk pertama kali terjadi. Kita masih ingat terpidana 20 tahun kasus narkoba Schapelle Corby yang dipergoki sedang menjalani perawatan rambut dan pedicure di salon dan makan bersama saudara perempuannya, Mercedes di restoran Kebab Palace Kuta. Begitu juga Bob Hasan yang ditahan di lembaga pemasyarakatan Nusa Kambangan dikabarkan mendapat fasilitas helikopter untuk bepergian menemui keluarga dan rekan bisnisnya. Setali tiga uang, perlakuan sama juga diberikan kepada Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Ruang tahanan putra bungsu mantan Presiden Soeharto itu terdapat AC, televisi, dan fasilitas lainnya. Tak hanya itu, Tommy Soeharto juga bebas berkomunikasi menggunakan telepon seluler. Artinya, kasus seperti ini bukanlah barang baru yang seharusnya bisa dicegah. Lantas dimana masalahnya ?
Mencari akar masalah dalam masalah sosial memang tidak pernah mudah dilakukan. Karakteristik dari sebuah masalah sosial adalah bersifat multicausal karena berkaitan dengan berbagai subsistem seperti sosial,politik,ekonomi dan budaya yang ada dalam sebuah sistem lingkungan. Namun,benang kusut bukanlah sesuatu hal yang mustahil untuk diurai. Melihat konteks lokasi berlangsungnya kejadian,ada dua pihak yang berperan besar dalam menghasilkan perilaku positif ataupun negatif,yakni petugas LP dan narapidana. Logika awam akan berpikir tidak mungkin tahanan bisa mendapatkan fasilitas mewah tanpa izin dan sepengetahuan petugas. Oleh karena itu sangat mudah untuk memvonis siapa yang bersalah dalam hal ini.
Namun, melihat fenomena ini adalah bak puncak gunung es, tentunya kita jangan meletakkanya secara kasuistik karena praktik jual beli fasilitas ini sebenarnya sudah lama terjadi secara sistematis dan melibatkan banyak pihak. Sebenarnya kasus ini membuka kotak hitam praktik-praktik yang terjadi di LP seperti mudahnya transaksi narkoba, pungutan liar, jual beli makanan dalam lapas, perjudian dan bahkan ada cerita petugas lapas menyewakan tempat khusus buat menyalurkan hasrat biologis bagi para napi dan pembesuk. Mental birokrasi kita masih saja beranggapan “masalah adalah uang” sehingga Lembaga Pemasyarakatan dijadikan ajang bisnis yang menggiurkan.
Ada beberapa penyebab hal ini bisa terjadi. Pertama, adanya mental birokrat yang korup. Lemahnya proses rekruitmen, seleksi serta pengembangan sumberdaya manusia (SDM) yang tidak terprogram dengan baik. Kita lihat banyak birokrasi publik yang diisi oleh tenaga-tenaga yang tidak profesional (the wrong man in the right place). Tidak diterapkannya merit system, tetapi atas dasar rasa like and dislike. Bayangkan sejak mulai seleksi PNS untuk petugas LP yang membayar sejumlah uang “pelumas” untuk bisa lolos. Otomatis, secara logika ekonomi, petugas LP akan berusaha mengembalikan uang yang sudah dikeluarkan tersebut. Hal ini terjadi berulang-ulang dan menjadi kebiasaan yang berujung pada mental perilaku yang tidak sehat.Kedua, rendahnya tingkat kesejahteraan petugas Lapas. Dengan fasilitas minim serta jumlah gaji yang berkisar antara Rp 400 ribu sampai Rp 900 ribu per bulan, para petugas ini, mau tak mau harus bersiaga selama 12 jam pada shif malam dan enam jam pada shif siang. Perbandingan antara risiko dan beban kerja para petugas dengan upah yang didapat, dirasa tidak imbang. Politik penggajian dan kesejahteraan pegawai yang kurang adil menyebabkan pegawai kurang mempunyai motivasi kerja sehiingga memicu timbulnya perilaku kolutif dan koruptif (Islamy, 1998).
Ketiga, masih kaburnya kode etik bagi aparat birokrasi publik (code of conduct), sehingga tidak mampu menciptakan adanya budaya birokrasi yang sehat, seperti kerja keras, keinginan untuk berprestasi kejujuran, rasa tanggung jawab, bersih dan bebas dari KKN, dan sebagainya. Keempat, kurangnya jumlah personel petugas di Lapas. Perbandingan petugas dengan narapida berkisar antara 1 : 100-200. Satu sipir penjara mengawasi ratusan orang yang tentunya tidak akan efektif. Kelima,tidak adanya sistem pengawasan yang kokoh dan kurang adanya ketegasan dalam kepemimpinan. Indikasinya, informasi dalam penjara hanya diketahui oleh segelintir pihak. Bahkan Menteri Hukum dan HAM mengaku baru tahu ada “hotel bintang lima” dalam lapas. Ini menunjukkan sistem pengawasan sangat buruk.
Keenam, kondisi lapas yang penuh sesak (over capacity). Jumlah penghuni penjara pada tahun 2006 sebanyak 112.744 orang dan sementara kapasitas seharusnya hanya 76.550 orang, berlebih 112.744 orang. Pada Tahun 2007, jumlah penghuni lapas sekitar 127.238 orang dan kapasitasnya 86.550 orang atau kelebihan kapasitas 40.688 orang. Sedangkan tahun 2008 tercatat jumlah penghuni penjara mencapai 130.075 orang, berlebih 41.476 orang dari kapasitas yang seharunya yakni 88.599 orang. Ditjen Pemasyarakatan mencatat jumlah narapidana dan tahanan yang menghuni lapas atau rumah tahanan (rutan) pada tahun 2009 mencapai 132.372 orang, sedangkan kapasitas idealnya sebanyak 90.853 orang.
Jumlah total penghuni lapas atau rutan terdiri dari 55.471 tahanan, 76.901 narapidana, 2.175 anak tahanan, 3.364 anak pidana dan 152 anak negara. Kondisi yang tidak manusiawi ini tentunya merangsang narapidana yang memiliki uang untuk mendapatkan kenyamanan. Kondisi lapas memang harusnya nyaman dan manusiawi dikarenakan penjara atau lapas bukan tempat penyiksaan melainkan tempat pembinaan.
Sebagai solusi harus ada reformasi birokrasi dalam tubuh lembaga pemasyarakatan.Kita membaginya menjadi aspek restoration (perbaikan) ,provision (penyediaan sumber-sumber daya) dan prevention (pencegahan). Aspek restoration harus menyentuh penghilangan fator penyebab rusaknya fungsi dan membangun kembali pola-pola interaksi. Pengalaman di Amerika, dalam upaya mengatasi sejumlah masalah dalam sistem pemenjaraan, mereka membentuk suatu badan yang dikenal dengan Prison Ombudsman (Ombudsman Penjara). Lembaga ini berfungsi sebagai mediator antara sejumlah stakeholder, seperti narapidana, petugas, penjara (di Indonesia disebut LP), dan juga otoritas yang ada di atas penjara (di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan). Multistakeholder ini bisa merekomendasikan menghilangkan semua fasilitas yang diperoleh tahanan dan menempatkanya secara adil bersama tahanan yang lain. Disamping itu, menindak tegas siapa yang bertanggungjawab dalam pratik-praktik kejahatan dalam Lapas dan memutus rantai kejahatan yang ada.
Aspek provision harus bersifat pengembangan dengan melakukan pembinaan,pemberdayaan birokrasi melalui redefinisi peran dan tanggung jawabnya, peningkatan profesionalitas dengan mengoptimalkan sarana-sarana Diklat dan Litbang di bidang kepegawaian, pengembangan institusi (institutional building) yang bisa dipakai untuk memacu aparat birokrasi untuk mengejar keunggulan komparatif dan kompetitif sekaligus juga untuk memperkuat moral mereka, dan pelatihan kepekaan (sensitivity training) agar mereka responsif terhadap kepentingan publik (Islamy,1998).Selain itu, kenaikan gaji bisa dilakukan dengan disertai dengan remunerasi yang akan memacu petugas lapas untuk bekerja dengan baik. Artinya, jika kinerja bagus sama dengan gaji bertambah dan sebaliknya.
Sedangkan aspek pencegahan bisa dilakukan dengan multistakeholder, yang tidak hanya melibatkan Kementerian Hukum dan HAM dengan Dirjen Pemasyarakatannya.Lebih dari itu,upaya penyelesaian harus mengikutsertakan stakeholder lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Kepolisian, maupun organisasi masyarakat sipil (LSM) dan mungkin juga kalangan swasta seperti media massa. Di Lapas,pintu masuk kejahatan ada di tangan petugas LP. Untuk itu mekanisme pengawasan perlu dibuat transparan untuk diakses publik. Peran media massa sangat sentral dalam hal ini untuk diberi kemudahan meliput bahkan menginvestigasi dalam Lapas. Sebagai salah satu bagian dari masyarakat sipil, media tidak terjebak pada struktur birokrasi pemerintah dan lebih bebas untuk mengungkap fakta.
Pekerjaan menghilangkan mental birokrasi lapas yang buruk butuh konsistensi. Nilai-nilai negatif yang menjadi panduan bertindak harus dikikis perlahan disertai dengan teladan, kepemimpinan yang tegas dan pemberian motivasi bekerja dengan pembentukan sistem baru dalam lapas adalah harga mati. Jika tidak, optimalisasi efek jera dan pembinaan yang menjadi esensi Lapas menjadi gagal ketika ujung proses hukuman memberikan keistimewaan dan kemewahan.
Diposting oleh:Ucox Unpad
-
Sabtu, 09 Januari 2010
Setelah berbulan-bulan membahas, Kejaksaan Agung akhirnya resmi melarang lima buku.Lima buku itu adalah Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (ditulis Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).
UNTUK DOWNLOAD BUKU JOHN ROOSA KLIK ATAU COPY LINK BERIKUT : http://www.mediafire.com/?xngqhnwjzud
atau http://www.speedyshare.com/files/19969927/DalihPembunuhanMassal.pdf
bisa juga http://www.2shared.com/file/10231267/e43ed81e/DalihPembunuhanMassal.html dan disini http://www.ziddu.com/download/7895863/DalihPembunuhanMassal.pdf.html
Diposting oleh:Ucox Unpad
-
Kamis, 07 Januari 2010
Berikut petikan adu mulut kedua politisi tersebut yang dilakukan dengan nada suara tinggi, bahkan berteriak.
Ruhut : Anda sebagai pimpinan harus tegas, jangan molor-molor gini. (Dengan logat khas Bataknya). Gayus: Ada waktunya Anda menyampaikan pendapat internal dan eksternal, yang ini cukup. Ruhut: Oke, tapi kalau begitu pimpinan, kita konsekuen, sampai jam empat pagi pun oke. Aku sampai seminggu di sini juga siap. Buktinya, aku duduk terus. Jangan nanti Anda tanya terus nanti Anda keluar. Saya gak setuju. Gayus : Anda minta saya keluar? Ruhut : Enggak. Saudara jangan marah-marah. Kemarin Anda sudah marahi saya terus keluar. Gayus : Memangnya Anda melihat saya keluar? Ruhut : Oke, jangan marah-marah, sebentar, aduh marah-maraaah, kamu ini profesor. Aku ini nggak profesor, tapi nggak marah-marah. Gayus: Anda jangan kurang ajar nyebut profesor. Ruhut : Saya nggak ngomong kurang ajar. Terima kasih boosss... Gayus : Jangan kurang ajar kau. Ruhut : Kau yang jangan kurang ajar. Kenapa, nggak senang? Kau lempar palu ke aku. (menantang) Gayus: Sudah... sudah... harusnya Pansus menegur Ruhut supaya dikembalikan ke fraksinya karena selalu bikin gaduh... Ruhut : Apa urusannya. Kau PDIP, aku Demokrat... Aku hanya ingin fair, PDIP sudah banyak (waktunya)... Fraksi lain hanya 20 menit, mentang-mentang... terima kasih. Gayus : Hak pimpinan sangat penuh untuk mengatur. Anda jangan mengacaukan rapat ini. Ruhut : Di sini sama kita pimpinan. Terima kasiiiih... profesoooor. Gayus : Sudah... kamu sudah... Ruhut : Ya sudah, jangan ngoceh lagi... Gayus : Saya tanya, sudah belum?... Yang mimpin saya, bukan Anda. Ruhut : Sesama anggota pansus, kita berdiri sama tinggi. Gayus : Siapa bilang tinggi aku sama kau (ruangan riuh karena tawa keras). Ruhut : Idrus Marham, tolong ambil alih dulu nih... Wakil Saudara ini sudah mulai aneh-aneh. Gayus : Diam kau. Ruhut : Jangan bilang diam. Gayus : Satu kalimat. Diam kau! Ruhut : Kau yang diam, bangsat!!! (suasana makin riuh). Gayus : Hei, Anda menyebut kata-kata kotor untuk pimpinan. Ruhut : Heh, Anda apa dari tadi nggak kotor? Anda gak boleh begitu. Gayus : Diam kau.
Anggota pansus lain mencoba terus melerai: Sudah... sudah... sudah... Achsanul Qosasi yang duduk di sebelah kanan Ruhut mencoba mematikan mikrofon di depan Ruhut. Namun, tangannya terus dicegah, sebelum akhirnya mikrofon di depan Ruhut benar-benar bisa dimatikan.
Di kursi pimpinan, wakil ketua Pansus dari FPD Yahya Sacawirya juga berdiri. Dia mengacungkan tangan, seperti tanda time out, agar keributan dihentikan. Ketua Pansus Idrus Marham yang juga duduk di kursi pimpinan hanya geleng-geleng kepala. Sementara, tiga mantan pejabat BI yang diperiksa terdiam di kursi saksi.
Tanya jawab pun kembali dilanjutkan. Andi Rahmat dari Fraksi PKS yang mendapat giliran bertanya mulai mengajukan pertanyaan. Di ujung ruangan, Ruhut masih mengomel-ngomel.
Gayus pun kembali menimpali. Gayus : Suara dari mana tadi? Ruhut : Suara dari langit. Gayus : Kalau begitu suara setan itu... (Tawa hadirin pun kembali meledak).
'Wah, bener nih yang dibilang Gus Dur, anggota DPR ini kayak anak TK,' celetuk salah seorang pengunjung yang duduk di balkon bersama wartawan. (jpnn)