Matinya Politik Pencitraan


Matinya Politik Pencitraan
                Seorang filsuf berkebangsaan Jerman Friedrich Nietzhe pernah berucap “Tuhan telah mati. Kini dalam nada yang hampir sama, Anas Urbaningrum yang naik ke podium dan mengucap “pencitraan telah mati”. Anas memang tidak mengucapkan itu secara verbal, namun secara tersirat, “sang pangeran biru” itu pastinya tidak akan menyangkalnya. Pencitraan disini adalah pola kampanye yang hanya mengandalkan kampanye udara tanpa pernah menjejakkan kaki ke tanah. Kemenangan Anas, sekaligus membuktikan bahwa suara arus bawah tidak goyah dikepung oleh iklan-iklan politik. Rival terberatnya adalah Marzuki Ali, senior dan sekaligus ketua DPR. Namun, sekali lagi, faktor senioritas juga tidak mampu membendung laju kemenangan Anas Urbaningrum. Anas Urbaningrum (AU), dalam putaran kedua pemilihan ketum Partai Demokrat ini, berhasil mengumpulkan 280 suara.
Sedang Marzuki Alie (MA) meraih 248 suara.
            Ada beberapa faktor yang bisa kita nilai sebagai kunci kemenangan Anas. Pertama, Anas sudah membuat investasi politik sejak dini di tubuh partai. Posisi yang dijabatnya sebagai Ketua DPP Bidang Politik,membuat interaksi politik dengan arus bawah sebagai pemilik mandat suara lebih terjaga. Dengan posisinya di DPP itu pula, Anas memainkan negosisasi dan bargain politik dengan proses politik arus bawah di DPC-DPC. Interaksi yang intens membuat hubungan emosional dan iman politik tersampaikan dengan baik. Kedua, Karakter pribadi yang santun, cerdas dan berwibawa. Anas tahu betul bahwa karakter pribadinya sangat cocok dengan positioning Partai Demokrat yang juga selaras dengan karakter pribadinya. Proses pelembagaan nilai-nilai yang dimiliki partai membuat kader-kader demokrat yang mempunyai hak suara dalam kongres dibuat nyaman dengan sosok Anas.
            Ketiga, pengalaman politik sejak dini. Guru terbaik adalah pengalaman. Anas sebenarnya bukan anak kemarin sore dalam panggung perpolitikan tanah air. Karirnya sejak menjadi aktivis HMI sampai kemudian menjadi ketua fraksi demokrat di Senayan tergolong cukup mulus untuk usia yang masih muda. Ini adalah rajutan track record yang tidak bisa disangkal sebagai sebuah prestasi politik yang brillian. Ibarat kita membeli barang elektronik dengan rumusnya “harga tidak pernah bohong”, begitu pula dalam melihat kualitas pemimpin, diktumnya berbunyi “track record tidak bakal bohong”. Dalam usianya yang masih 41 tahun, dengan jabatan sebagai ketua partai terbesar di Indonesia, menunjukkan siapa sebenarnya beliau.
            Keempat, dukungan SBY. Walau tidak tersurat, SBY sedang memainkan politik tebar jala. Artinya, siapapun ketuanya, yang menang tetap SBY. Menempatkan anaknya, Eddi Baskoro ke dalam kubu Andi Malaranggeng adalah satu sisi. Sisi lain, pada saat menjelang putaran kedua, kita sebenarnya bisa mencerna bahasa politik SBY dalam pidato singkatnya agar pemilihan dilakukan demokratis dan tidak ada tekanan. Demokratis dan tanpa tekanan adalah simbol kedaulatan rakyat, yang juga berarti suara pemilih tidak tunduk pada kekuatan politik tertentu dan hanya berdaulat pada sang pemilik suara. Pada saat itu, suara AM yang hendak diperebutkan, dan sesuai dengan pidato SBY, suara AM akhirnya punya otonomi atas hak politiknya masing-masing. Padahal AM sudah mengumumkan pelimpahan dukunganya pada Marzuki Ali. Pelimpahan dukungan akhirnya tidak bulat, karena  hampir setengah lebih suara AM pindah ke kubu Anas. Menurut penulis, SBY sengaja bersikap netral dan cenderung membiarkan tiga kandidat bertarung habis-habisan sejak awal. Sambil menunggu dan melihat kandidat yang paling berpeluang menang. SBY tidak ingin berhadapan dengan konflik jika mendukung terang-terangan salah satu calon. Kalaupun ada beberapa sinyal, itupun tidak bisa di-judge oleh pihak yang kalah sebagai dukungan SBY. Terlihat disini bagaimana SBY juga bermain cantik mengamankan posisinya. Hal ini pula yang dianggap sebagai faktor penentuan kalahnya Marzuki. Posisi Marzuki sebagai ketua DPR mungkin terlalu sulit untuk dikendalikan SBY sehingga kemudian memberi sinyal halus mendukung Anas.
            Terlepas dari faktor kekalahan Marzuki Ali, ada hal yang menarik dari kongres demokrat kemarin, yakni matinya iklan politik. Beberapa analisis kemenangan Anas, berbanding terbalik dengan tersingkirnya Andi di putaran pertama, banyak pertanyaan kenapa Andi dengan Ibas sebagai simbol Cikeas, bisa kalah ?. Restu Cikeas kepada Andi dengan representasi Ibas adalah klaim. Tidak pernah ada tanda-tanda Cikeas mendukung Andi.  Penempatan Ibas di kubu Andi bisa dibaca sebagai kebebasan Ibas dalam memilih calon pemimpin atau bisa juga dibaca sebagai strategi politik SBY untuk sekedar menebar pengaruh . Karena rumus politik SBY adalah siapapun yang menang, pemenang sejati adalah SBY,maka penempatan Ibas tidak terlalu menjadi perhitungan politik yang bisa menggoyahkan kewibawaan Cikeas jika Andi kalah. Rumus politik SBY terbukti dengan posisinya sebagai ketua dewan pembina sekaligus menjadi ketua majelis tinggi partai yang memiliki kewenangan yang sangat superpower. Kewenangan tersebut antara lain menentukan formatur pembentukan kabinet Anas sampai pengambilan keputusan strategis partai,pembentukan koalisi dan penentuan calon presiden dan wakil presiden. Jika dilihat dari kewenangan majelis tinggi tersebut, maka fungsi ketua umum hanyalah sebagai pembawa obor. Yang terang bersinar tetap SBY.
            Selain itu, Andi jarang menjalin interaksi politik di akar rumput. Posisinya sebagai juru bicara presiden dan menteri pemuda dan olah raga tentunya bukan pintu yang tepat untuk membangun relasi politik dengan DPC-DPC. Akhirnya, iklan politik menjadi senjata pamungkas menutupi kelemahan itu. Namun, Andi lupa bahwa kampanye udara saja tidaklah cukup. Kampanye darat untuk pemilih sekelas partai masih sangat menentukan. Inti pencitraan dalam ajang politik seringkali  dan kebanyakan adalah membangun kesadaran palsu bagi khalayak yang menjadikan sosok yang dimunculkan nampak sempurna. Hal itu mungkin bisa dikenakan pada khalayak yang memiliki kesadaran pasif namun tidak bagi khalayak aktif seperti anggota internal partai. Menurut Jean Baudrillard, filsuf dan pakar komunikasi Perancis, media merupakan agen simulasi (peniruan) yang mampu memproduksi kenyataan (realitas) buatan, bahkan tidak memiliki rujukan sama sekali dalam kehidupan kita. Teori Baudrillard masuk akal dihubungkan pada banyaknya iklan-iklan di televisi, radio, dan media cetak menampilkan tokoh-tokoh dengan bendera satu partai politik di belakangnya. Para tokoh politik memproduksi kenyataan buatan bermuatan politis agar mendapatkan dukungan di kongres. Proses dramatisasi ditunjukkan dengan mengangkat tema besar yang sensitif dan populer di hadapan pemilih.
            Demokrat membuktikan iklan politik bukan rumus sakti menghasilkan pemimpin. Politik hati yang dibangun jauh-jauh hari masih ada dalam kongres kemarin. Kekalahan Andii itu menguatkan pendapat, jika ingin berhasil di dunia politik maka tidak cukup dengan upaya pencitraan saja. Setiap calon harus turun ke daerah, mendatangi konstituennya, berdialog dan menanam persepsi yang sama tentang visi dan misi partai. Andi lupa yang dihadapinya bukan segerombolan massa rakyat yang mudah tertipu dan terombang-ambing oleh iklan dan spanduk siapa yang paling banyak. Itu semua karena Andi lupa, dan sekali lagi lupa bahwa dia menggunakan meriam untuk membunuh nyamuk”.

Adi Surya
Mantan Ketua DPC GMNI Sumedang 2007-2009
Menempuh Studi Di Fisip Unpad

           

           
           

Tarawangsa Dari Bumi Rancakalong


Tarawangsa Dari Bumi Rancakalong
                Konon dahulu kala, menurut cerita yang berkembang di masyarakat, Desa Rancakalong, Kabupaten Sumedang ditimpa musibah yang membuat warganya panik luar biasa. Sebab musabab kepanikan tersebut karena hilangnya butiran padi dari dalam kulitnya. Padi yang ditanam tumbuh, tetapi tidak berisi. Akibatnya, masyarakat mengalami kekurangan pangan, kelaparan dan berbagai jenis penyakit. Hingga tiba kemudian para tokoh desa berembuk dengan satu tujuan yakni bagaimana dan dimana mendapatkan bibit padi. Pada masa itu, Mataram dikenal sebagai lumbungnya bibit padi. Oleh karena itu, berangkatlah para utusan dari Desa Rancakalong menemui Ratu Mataram. Setelah mendapat bibit padi, diperjalanan para utusan dihadang begal (perampok), maka untuk membawa bibit padi tersebut, Embah Jatikusumah menciptakan dua buah alat musik yang mempunyai fungsi sebagai alat untuk membawa benih padi dengan cara memasukannya ke dalam lubang resonator yang terdapat pada bagian belakang alat tersebut. Alat musik tersebut di beri nama Jentreng dan Tarawangsa.
Tarawangsa memiliki dua pengertian. Pertama, sebagai alat musik gesek yang memiliki dua dawai yang terbuat dari kawat baja atau besi. Kedua, merupakan nama dari salah satu jenis musik tradisional Sunda. Tarawangsa merupakan sebuah ensambel kecil yang terdiri dari sebuah tarawangsa dan sebuah alat petik tujuh dawai yang menyerupai kacapi, yang disebut jentreng.Tarawangsa punya dua kawat sebagai perlambang Sang Pencipta selalu menciptakan makhluk berpasang-pasangan. Sedangkan jentreng berdawai tujuh. Bila seluruh digabung jumlahnya sembilan sama dengan jumlah wali penyebar Islam di tanah Jawa.
Sampai saat ini, kedua alat kesenian tersebut dijadikan simbol ucapan syukur kepada sang gaib atas keberhasilan utusan membawa bibit padi tersebut. Masyarakat rancakalong memainkan kedua alam musik tersebut disertai tarian,sesajen untuk menghormati dewi kesuburan, Dewi Sri (Nyi Pohaci). Jadi Nyi Pohaci adalah berkah hidup masyarakat Sunda. Dari kematiannya tumbuh kehidupan yang membawa berkah pada umat manusia. Tanpa Nyi Pohaci, masyarakat Sunda tidak memperoleh sumber kehidupannya. Itulah sebabnya masyarakat Sunda di zaman pertaniannya, amat menghormati Nyi Pohaci. Agar sang dewi tetap ada dan menjaga kesuburan dan kehidupan masyarakat Rancakalong dalam setiap panen padi melakukan ritual ngalaksa,yakni ungkapan rasa syukur pada Yang Maha Esa atas hasil panen yang telah diperoleh. Dalam upacara tersebut digelar kesenian tarawangsa sebagai media penghubung antara alam mahkluk halus dengan alam manusia. Musik ritual tarawangsa mengantarkan masyarakat pendukungnya (orang-orang yang menari) pada keadaan alam bawah sadar hingga trance (tak sadarkan diri).
Musik yang dialunkan seakan membawa penari ke dalam ruang sakral yang tidak kasat mata. Keyakinan bahwa sesembahan mereka telah diterima oleh sang gaib ketiak panri-penari sudah bersatu dengan ruh yang tampak dari fenomena tak sadarkan diri. Penghormatan akan konsep ruh tidak dapat kita lepaskan dari kepercayaan animisme yang sampai sekarang masih dianut di berbagai daerah. Kepercayaan animisme (dari bahasa Latin anima atau "roh") adalah kepercayaan kepada makhluk halus dan roh merupakan asas kepercayaan agama yang mula-mula muncul di kalangan manusia primitif. Kepercayaan animisme mempercayai bahawa setiap benda di Bumi ini, (seperti kawasan tertentu, gua, pokok atau batu besar), mempunyai jiwa yang mesti dihormati agar semangat tersebut tidak mengganggu manusia, malah membantu mereka dari semangat dan roh jahat dan juga dalam kehidupan seharian mereka.Masyarakat Rancakalong menganggap ruh/gaib dengan dunia manusia merupakan satu kesatuan dalam irama kosmik yang teratur.
Dalam masyarakat sunda, praktik-praktik sinkretis dan mistik memang masih mewarnai kehidupan masyarakatnya. Kehidupan suku sunda ditujukan untuk memelihara keseimbangan alam semesta. Keseimbangan magis dipertahankan dengan upacara adat. Sedangkan keseimbangan sosial dipelihara melalui saling memberi (gotong royong). Sehubungan dengan hal itu pula bahwa orang Sunda menganggap bahwa dunia ini dipandang sebagai kesatuan kosmis yang artinya setiap unsur yang ada di dunia ini saling berhubungan. Oleh sebab itu pada masyarakat Sunda hal-hal yang religius selalu bertalian dengan upacara-upacara ritual (dengan hal-hal yang bersifat suci) atau berhubungan dengan super natural (hal-hal yang di luar kemampuan akal pikiran manusia). Karena itulah banyak sekali pamali, cadu, buyut, ialah larangan-Iarangan yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya, yang bila dilanggar tidak hanya membawa akibat bahkan malapetaka bagi pelanggarnya, tetapi bagi seluruh masyarakat dimana ia tinggal (Hidding: 1935).
Pemain Tarawangsa hanya terdiri dari dua orang, yaitu satu orang pemain Tarawangsa dan satu orang pemain Jentreng. Semua pemain Tarawangsa terdiri dari laki-laki, dengan usia rata-rata 35 – 60 tahunan. Mereka semuanya adalah petani, dan biasanya disajikan berkaitan dengan upacara padi, misalnya dalam ngalaksa, yang berfungsi sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang melimpah. Dalam pertunjukannya ini biasanya melibatkan para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka menari secara teratur. Mula-mula Saehu/Saman (laki-laki), disusul para penari perempuan. Mereka bertugas ngalungsurkeun (menurunkan) Dewi Sri dan para leluhur. Kemudian hadirin yang ada di sekitar tempat pertunjukan juga ikut menari. Musik ritual dan tarian yang disesuaikan dengan alunan musik menjadi media penghubung untuk menghadirkan sang gaib dalam upacara itu.
Dalam makalahnya tentang kesenian Tarawangsa, Aji Permana menggambarkan bahwa musik ritual dihubungkan dengan sesuatu yang berkaitan dengan upacara keagamaan atau kepercayaan yang diyakini oleh sekelompok orang atau masyarakat dalam rangka penyembahan dan penghormatan terhadap yang gaib. Dalam hal ini musik digunakan sebagai media transceiver menuju alam yang dihuni oleh makhluk halus. Adanya ruang sakral (suci, keramat) yang dibentuk oleh keyakinan yang dianut masyarakat, dan dengan musik manusia mengalami keterbukaan rohani melakukan penyesuaian dengan alam. Van Peursen dalam Strategi Kebudayaan menyebutnya sebagai manusia yang transcendental (berdasarkan kerohanian), artinya manusia tidak terkurung (imanen) pada kehidupan dirinya, melainkan luruh terhadap kehendak alam. Pada dasarnya musik sakral untuk prosesi ritus dipengaruhi oleh keyakinan yang dianut oleh masyarakat pendukungnya. Musik sakral dapat digunakan sesuai dengan keinginan masyarakatnya, salah satunya musik yang dianggap keramat dapat digunakan untuk pengusir ruh jahat yang dapat memudarkan keteraturan yang sudah dijalin antara alam manusia dan alam gaib atau antara manusia dengan alam semesta. Selain sebagai media upacara syukur terhadap hasil bumi, keselamatan, dsb, musik ritual yang dinggap keramat itu dapat menimbulkan ketentraman batin yang meyakininya. Esensinya musik ritual yang sakral mempengaruhi emosi manusia, hingga menimbulkan kehalusan budi yang mendengarkannya.
Ritual dari bumi Rancakalong membawa pesan-pesan dalam hubungan manusia dengan alam. Penghormatan kepada sesatu yang gaib menyiratkan pesan bahwa ada keseimbangan alam semesta harus dijaga. Ucapan syukur atas hasil panen menggambarkan,kita sebagai mahluk hidup tidak boleh lupa akan kehadiran Yang Maha Esa dalam setiap apa yang kita peroleh. Manifestasi ucapan syukur memang tergantung nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, dan masyarakat Rancakalong bukanlah orang-orang yang lupa akan bersyukur,bukanlah manusia-manusia yang antroposentis atau menganut paham cartesian yang menempatkan manusia (akal) di atas segala-galanya.

Adi Surya
Penikmat Budaya
Bergiat Di GMNI Sumedang



           
           
           


Menyelami Pikiran-Pikiran Schopenhauer


Menyelami Pikiran-Pikiran Schopenhauer
                Siapa Schopenhauer? Diantara jejeran filsuf-filsuf besar yang sering dijiplak pikiran-pikirannya oleh kita, Dia (SC), seringkali terlupakan, padahal salah satu ciri filsafatnya adalah keberanian menguak sisi gelap manusia. Ia menyerang filsafat Hegel yang dinilainya abstrak. Namun,siapapun yang membenci Hegel, tidak akan pernah membencinya 100 %, termasuk Karl Marx. Upaya Hegel dalam mencari kebenaran dipuji Schopenhouer dengan berujar “ hidup teramat pendek,tapi kebenaran berlaku lama dan berumur panjang,oleh sebab itu mari kita bicara kebenaran”. Walaupun bersama dengan Marx memuji Hegel, namun jangan kira dia akan sependapat dengan Marx soal materalisme. Ia tidak behenti bertanya “bagaimana kita bisa menjelaskan bahwa jiwa adalah materi,kalau kita mengetahui materi melalui jiwa,melalui diri kita sendiri ?.Jika kita membayangkan bahwa kita berpikir materi,maka kita sesungguhnya berpikir hanya tentang subjek yang mempersepsi materi. Mata yang melihatnya,tangan yang merasakannya,pemahaman yang mengetahuinya. Jadi disitu tampak ada prinsip pengulangan yang tanpa akhir,karena secara tiba-tiba mata rantai yang berakhir tampak menjadi titik awal kembali ...Aku menyukai blak-blakanya sekaligus ngeri melihat keradikalan pikirannya..
                Oleh karena itu dia menganjurkan kita mulai berfilsafat dari dalam diri, bukan dari objek luar (materi). Kita tidak pernah bisa sampai pada hakikat benda-benda dari ketiadaan.Semakin kita menyelidikinya,semakin kita sadar bahwa kita mungkin mencapai sesuatu pun selain citra-citra dan nama-nama.Kita seperti manusia yang berputar-putar mengelilingi sebuah benteng untuk mencari jalan keluar.Namun,karena pintu itu tidak ditemukan,maka kita lalu mebuat sketsa pada bagian mukanya.Oleh karena itu mari kita masuk saja ke dalam.Kalau kita mampu menemukan hakikat jiwa kita sendiri,kita mungkin akan mempunyai kunci untuk membuka pintu dunia luar.
                Diluar sana, para filsuf sepertinya semua sepakat bahwa manusia adalah makhluk berakal (animal rationale). Sedangkan Schopenhouer mengkritik anggapan tersebut. Dia bernagggapan, intelek itu hanya bagian permukaan dari jiwa. Dibawah intelek terdapat kehendak yang tidak sadar, suatu daya atau kekuatan hidup yang abadi,suatu kehendak dari keinginan kuat. Intelek memang mengendalikan kehendak, tetapi hanya sebagai pembantu yang mengantar tuannya. Hubungan antara intelek dan kehendak digambarkan seperti “kehendak adalah orang kuat yang buta menggendong orang lumpuh yang melek”.Kita tidak menginginkan sebuah benda karena ada alasan rasionalnya,melainkan kita mempunyai alasan yang bisa dibuat rasional karena kita menginginkannya. Untuk kemenangan yang kita raih selalu kita ingat,tetapi untuk kegagalan-kegagaln yang kita terima,dengan segera kita coba lupakan.Pendek kata,intelek adalah alat keinginan dan jika intelek menggantkan keinginan,maka yang terjadi adalah kebingungan.
                Manusia sepertinya saja ditarik dari luar dirinya, padahal sebenarnya didorong dari dalam. Aktivitas seksual,makan,belanja,ngopi berasal dari kehendak yang setengah sadar untuk melakukan aktivitas itu. Kita didorong oleh apa yang kita rasakan. Kita mengira dibimbing oleh apa yang kita lihat, padahal didorong oelh apa yang kita rasakan.Pendek kata,kehendak adalah hakikat manusia. Kehendak tentu saja adalah kehendak untk hidup. Sedangkan musuh abadi kehendak adalah kematian.Akan tetapi bisakah kehendak mengalahkan kematian ?
                Schopenhouer menjawab bisa!. Melalui apa ? Ya melalui reproduksi. Setiap organisme dewasa segera mengorbankan dirinya untuk menjalankan tugas reproduksi,mulai dari laba-laba jantan yang dimangsa oleh betinanya agar bisa berkembangbiak,tawon yang bekerja keras mengumpulkan makanan untuk anak-anak yang tidak akan pernah dilihatnya,sampai manusia yang bekerja banting tulang untuk memberi makan dan pakaian pada ank-anaknya. Reproduksi adalah tujuan utama, karena hanya dengan cara itu kematian dapat dikalahkan.
                Hukum daya tarik seksual adalah bahwa pemilihan pasangan hidup sebagain besar ditentukan oleh kecocokan di antara orang-orang yang berpasangan untuk beranak pinak. Setiap orang mencari pasangan yang kira-kira bakal menetralisir segala kekuranganya.Seorang pria yang secara fisik lemah,akan mencari perempuan yang lebih kuat. Dalam banyak kasus,jatuh cinta bukanlah masalah hubungan timbal balik antara dua manusia. Masalah pokoknya adalah adanya keinginan untuk memiliki apa yang tidakmereka punyai. Schopenhouer juga menulis “sesungguhnya tidak ada perkawinan yang mendatangkan petaka,kecuali karena perkawinan karena cinta. Alasanya jelas, tujuan utama perkawinan adalah perpanjangan spesies dan bukan kesenangan individu. Ia yang kawin karena cinta pasti hidup menderita demikian bunyi pepatah Spanyol. Akan tetapi seorang gadis yang kawin karena cinta dan menentang saran orang tuanya perlu kita kagumi. Karena si gadis lebih menyukai apa yang menurutnya sangat penting dan bertindak menurut semangat alam,sedangkan orang tua hanya bertindak menurut semangat egoisme individualnya. Cinta adalah eugenika yang terbaik.
                Selanjutnya Ia mengatakan “jika dunia adalah perwudan kehendak, maka dunia adalah dunia penderitaan”. Alasanya,kehendak mengisyaratkan keinginan dan apa yang diinginkan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang diperoleh.. “seperti sedekah yang diberikan kepada seorang pengemis,agar ia bisa bertahan hidup hari ini,dan melanjutkan penderitaanya esok hari.Sepanjang kesdaran kita penuh dengan kehendak,sepanjang kita terperangkap oleh keinginan-keinginan kita,sepanjang kita tundak pada kehendak kita,maka kita tidak akan mempunyai kebahagiaan. Sama seperti Buddha yang bilang bahwa penderitaan bersumber dari keinginan.
                Agar hidup bahagia, hiduplah seperti anak-anak. Anak-anak mengira bahwa kehendak dan usaha merupakan kenikmatan.Mereka belum menemukan keserakahan dari keinginan dan kurangnya pemenuhan kebutuhan dan mereka belum merasakan sakitnya kekalahan.Akan tetapi apa boleh buat,hidup memang penderitaan,karena kita tidak bisa menjadikan diri kita anak-anak  kembali. Kegilaan adalah salah satu cara untuk menghindari penderitaan.Kegilaan adalah tabungan yang retak dalam untaian kesadaran.Tempat perlindungan terakhir adalah bunuh diri. Namun tindakah bunuh diri adalah sia-sia dan tindakan yang bodoh, karena kehidupan tidak dipengaruhi olehnya. Apalagi dalam setiap kematian, terdapat beribu-ribu kelahiran. Jadi bunuh diri hanyalah kemenangan individual belaka.
                Scopenhouer menjelaskan untuk memperoleh kebijaksanaan hidup lewat berfilsafat. Filsafat pada akhirnya memurnikan kehendak. Akan tetapi befilsafat bukan hanya copy paste pikiran para filsuf, melainkan dimengerti sebagai pengalaman dan pemikiran. Banyak sekali sarjana mengambil alih secara paksa pikiran-pikiran orang lain. Sangatlah berbahaya membaca suatu masalah sebelum kita sendiri memikirkannya. Ketika kita membaca,orang lain berpikir untuk kita.Demikianlah jika seseorang menghabiskan waktunya untuk membaca,lambat laun dia akan kehilangan kemampuan untuk berpikir. Saran pertama, hiduplah sebelum membaca buku-buku, dan kedua, bacalah teks sebelum membaca komentarnya.Satu karya jenius lebih baik daripada seribu komentar.
                Selain itu dia juga memberi kita saran untuk menjadi jenius, menyukai seni khususnya seni musik dan kembali ke jalan agama sebagai cara untuk mencapai kebijaksanaan hidup melawan kehendak yang tidak terdamaikan. Kebijaksanaan sejati adalah Nirwana, mengurangi sesedikit mungkin keinginan dan kehendak. Inilah sebuah pikiran-pikiran yang harus kita maknai dan bukan mengadopsi mentah-mentah. Harus juga diingat, pikiran filsuf dipengaruhi oleh latar belakang kehidupannya.Tulisan ini hanyalah sebah ringkasan pemikiran seseorang. Dan butuh berdialog secara kritis terhadap pemikiran seperti ini agar bisa secara jernih menemukan apa yang dimaksud sang pemikir.Bagaimana menurut anda tentang pemikiran Schopenhouer di atas ?
Salam
Adi Surya

Sumber : Abidin,Zainal, 2003 , Filsafat Manusia,Bandung : PT.Remaja Rosdakarya

Siapa Terdidik, Akan Menang


Siapa Terdidik, Akan Menang
            Semua yang ditanya apakah pendidikan memegang posisi yang sangat penting dalam memajukan sebuah negara akan menganggukkan kepala. Namun, saat berbicara tentang aksi menjadikan pendidikan sebagai sarana mencetak sumberdaya manusia yang memiliki ruh kompetisi,belum tentu semua akan mendukungnya. India punya Bangalore dimana wilayah itu juga disebut “Silicon Valley” tempat berkumpul ribuan perusahan teknologi informasi dunia. Bangalore menyediakan kwalitas manusia yang sangat siap dengan apa yang sedang dan akan terjadi dalam arus besar perobahan peradaban. Kelebihan India dari kawasan lain adalah kualitas pendidikannya yang luar biasa. Keberuntungan mewarisi tradisi penjajah bangsa Inggris, membuat pendidikan menjadi nyawa pembangunan India. Cerita dari Bangalore di atas seharusnya menampar kedua pipi kita bahwasanya kita masih jauh tertinggal dari negara-negara Asia lainnya. Apakah setelah itu kita sadar atau tidak ?. Ini berada dalam wilayah komitmen semua pihak.
            Di era globalisasi ini, invetasi modal finansial juga harus disertai dengan investasi sumber daya manusia. Mesin atau teknologi yang diimport dari luar, tidak akan bisa dijalankan oleh tenaga lokal ketika tidak ada satupun anak negeri yang bisa mengoperasikannya. Sumber daya alam yang terserak tidak akan bisa digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, saat kita masih memakai tangan asing yang hanya peduli pada profit semata. Investasi finansial ada di wilayah penguatan ekonomi, sedangkan kualitas manusia ada dalam wilayah pendidikan. Ternyata kita masih berjalan separuh arena, kita belum bulat dalam bentuk, belum seirama dalam alunan. Indikasinya, sejak merdeka, baru beberapa tahun yang lalu politik anggaran berpihak pada pendidikan sebesar 20 persen. Itupun diduga tidak penuh karena dibebankan dengan gaji pendidik. Indikasi lainnya, adalah gejala bagaimana cara melakukan evaluasi belajar yang bermutu. Contohnya adalah Ujian Nasional (UN) tidak pernah sepi dari pro kontra. Lantas bagaimana kita melaksanakan amanat yang tertuang dalam pembukaan UUD, mencerdaskan kehidupan bangsa ?
            Matra pendidikan kita baiknya fokus pada bidang pengetahuan, keterampilan dan sikap. Selama ini kita masih berada dalam wilayah pengetahuan. Padahal, saat batas negara semakin menipis, persaingan semakin ketat, maka keterampilan dan sikap layak untuk kita kembangkan. Dengan modal pengetahuan, memiliki keterampilan yang didukung oleh sikap yang positif tentunya tidak akan membuat kita menjadi bangsa kuli atau kuli diantara bangsa-bangsa. Guru Besar Universitas Waseda Jepang, Profesor Kinosita menyarankan bahwa yang diperlukan di Indonesia adalah pendidikan dasar dan bukan pendidikan yang canggih. Proses pendidikan pada pendidikan dasar setidaknnya bertumpu pada empat pilar yaitu learning to know, learning to do, leraning to be dan learning live together yang dapat dicapai melalui delapan kompetensi dasar yaitu membaca, menulis, mendengar, menutur, menghitung, meneliti, menghafal dan menghayal. Anggaran pendidikan nasional seharusnya diprioritaskan untuk mengentaskan pendidikan dasar 9 tahun dan bila perlu diperluas menjadi 12 tahun. Selain itu pendidikan dasar seharusnya “benar-benar” dibebaskan dari segala beban biaya. Dikatakan “benar-benar” karena selama ini wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah tidaklah gratis. Apabila semua anak usia pendidikan dasar sudah terlayani mendapatkan pendidikan tanpa dipungut biaya,barulah anggaran pendidikan dialokasikan untuk pendidikan tingkat selanjutnya.
            Investasi pada awalnya memang memerlukan pengeluaran,namun investasi pendidikan tidak akan pernah merugikan. Disamping itu ada hal yang tidak tampak namun penting yakni good will dari semua pihak khususnya penyelenggara negara. Karena pemerintah punya potensi melenceng, maka juga butuh elemen kontrol sosial yang juga kuat. Semua punya hak dan kewajiban masing-masing dalam menjalankan peran. Namun yang tetap harus diingat, pendidikan gratis maupun yang murah dan berkualitas adalah harga mati bagi bangsa yang ingin jadi tuan dinegeri sendiri, bukan bangsa kuli, budak diantara bangsa-bangsa.
Adi Surya
Mahasiswa Fisip Unpad
Aktivis GMNI