Penggusuran (Tidak ) Dengan Hati


                Louis Althusser pernah mengatakan tentang Represif State Aparatus (RSA) yang menggambarkan aparat negara yang menggunakan tindakan-tindakan represif demi kepentingan bangsa. Fenomena RSA ini di Indonesia tampak sejak zaman orde baru dimana militer memonopoli tafsir tentang tindakan represif bagi penentang pancasila dan pengganggu pembangunan. Nyatanya, tindakan represif ini tidak hilang walaupun militer telah kembali ke barak. Nilai-nilai kekerasan  mendapat pewarisnya dalam jubah-jubah yang lain. Hari ini kita bisa melihat itu pada tubuh Satpol PP. Tindakan represif yang mereka gunakan selalu dialaskan dengan masyararat yang tidak mau ditertibkan. Sejenak kita pantas menggantung tanya, dimana kedudukan rakyat dalam negara demokrasi yang disepakati bersama ?
                Rakyat sebenarnya bukan tidak mau tertib. Maraknya bangunan dan aktivitas liar yang melanggar izin tumbuh subur karena bukan keinginan mereka. Semisal, tanah disewakan kepada penduduk untuk beraktivitas (tempat tinggal atau tempat berdagang) tanpa pernah diberitahu resiko bahwa lahan tersebut merupakan milik negara yang tidak boleh dipakai sesuka hati. Kedua, masyarakat kecil dijebak oleh oknum-oknum. Masyarakat seolah-olah dibiarkan membangun bangunan di lahan milik privat/negara dengan membayar uang sewa. Ketiga, tidak terpenuhinya kebutuhan masyarakat oleh negara. Padahal dalam konstitusi, jelas tercantum tugas negara adalah melindungi segenap rakyat Indonesia. Sehingga, ketika ada pemberitahuan bahwa tanah tempat mereka akan digusur, muncul protes yang selalu dipadamkan dengan filosofi “pangkas rumput liar”.
                Dalam Undang-undang nomor 33 disebutkan bahwa tanah, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bunyi undang-undang tersebut terasa hambar ketika dibenturkan dengan realita negara lebih suka menjual tanah pada asing dan pihak-pihak yang dianggap menguntungkan. Disini, tampak kedaulatan rakyat “dibunuh” dalam ruang demokrasi. Mereka hanya menjadi tuan saat pilkada dan kemudian menjadi orang asing di negeri sendiri. Jika pancasila kita bedah, dalam sila kedua jelas dikatakan, kemanusiaan dan adil dan beradab dan sila kelima mengatakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artinya, bangsa ini menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan perikemanusiaan untuk setiap warga negara Indonesia.
                Jadi, tampak kontras tindakan represif Satpol PP terhadap warga yang di sisi lain juga punya hak untuk hidup, mendapat tempat tinggal layak, berusaha dan menggunakan aset bangsa ini untuk kemakmurannya. Meskipun mereka dikatakan menyalahi  izin, bukan berarti mereka juga diperlakukan tidak manusiawi. Mereka harus diperlakukan secara manusiawi. Selain itu, peraturan jangan lantas membelenggu dan menindak tanpa solusi. Penggusuran harus dilakukan disertai solusi dengan prinsip partisipasi. Kenapa partisipasi penting, karena masyarakat juga berhak menentukan apa yang terbaik untuk kehidupannya.
                Sudah waktunya aparatur negara memperlakukan rakyatnya sebagai tubuh-tubuh yang dewasa. Artinya, tidak lagi menindak seperti “mengusir binatang”, namun juga memenuhi tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat. Aparat yang menggunakan pendekatan partisipatif dan kekeluargaan akan membuat suasana menjadi dialogis. Rakyat jika diperlakukan kasar, maka akan dibalas dengan kasar. Rakyat jika perut dan rumahnya tidak diperhatikan negara, maka akan menyerobot tanah negara. Jika kita kembali ke akar masalah, pendirian bangunan tanpa izin hanya gejala, akarnya masalahnya adalah mari kita bertanya  bagaimana pemerintah selama ini mengurus rakyatnya ?

Mencapai Indonesia Merdeka (Bung Karno)


 
Sukarno

“Mentjapai Indonesia Merdeka"

           Ringkasan "visi-misi" Bung Karno ini berdasarkan “Mencapai Indonesia Merdeka” dalam Ir. Sukarno, Dibawah Bendera Revolusi (Djakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), jilid pertama, cetakan ketiga, hlm. 257-324.Seperti diungkapkan di bagian awal karya ini, Sukarno menuliskannya di Pangalengan pada 30 Maret 1933. Pangalengan, suatu kota kecil pegunungan di sebelah selatan kota Bandung. “[S]ekembali ... dari ... tournée ... ke Jawa Tengah ... membangkitkan Rakyat sedjumlah 89.000 orang,” Sukarno “berpakansi beberapa hari [di sana] melepaskan kelelahan badan.” Ia sendiri menyebut karyanya ini “risalah”, juga “vlugschrift”, yang dua-duanya berarti karangan ringkas, brosur, pamflet.
Risalah ini ditujukan kepada “orang yang baru mendjejakkan kaki di gelanggang perjoangan”. Agar tidak “terlalu tebal” dan “terlalu mahal”, “hanya garis-garis besar sahaja” yang dikemukakan. “Mitsalnya fatsal ‘Di Seberang Jembatan Emas’ kurang jelas, sehingga akan dipaparkan lebih rinci dalam karya lain.
Di luar pengantar yang tanpa sub-judul, risalah ini terdiri dari  10 sub-judul:

1.   Sebab-sebabnya Indonesia Tidak Merdeka
2.   Dari Imperialisme-Tua ke Imperialisme-Modern
3.   “Indonesia, Tanah Yang Mulya,
Tanah Kita Yang Kaya;
Disanalah kita Berada
Untuk Selama-lamanya” ...
4.   “Di Timur Matahari Mulai Bercahaya,
     Bangun dan Berdiri, Kawan Semua”...
5.   Gunanya Ada Partai
6.   Indonesia Merdeka Suatu Jembatan
7.   Sana Mau ke Sana, Sini Mau ke Sini
8.   Machtsvorming, Radikalisme, Massa-Aksi
9.   Diseberangnya Jembatan Emas
10. Mencapai Indonesia-Merdeka!


1.   Sebab-sebabnya Indonesia Tidak Merdeka

Risalah mulai dengan menolak tesis “Professor Veth”  bahwa Indonesia “tidak pernah merdeka [...] dari zaman Hindu sampai sekarang [...] Indonesia senantiasa menjadi negeri jajahan: mula-mula jajahan Hindu, kemudian jajahan Belanda.” Namun sejarah menunjukkan yang sebaliknya: “[K]aum yang kuasa di dalam zaman Hindu itu [...] tidak terutama sekali kaum penjajah [...]. Mereka bukanlah kaum yang merebut kerajaan, tetapi mereka sendirilah yang mendirikan kerajaan di Indonesia! Mereka menyusun staat Indonesia, yang tahadinya tidak ada staat Indonesia!” Hubungan kerajaan Indonesia itu dengan Hindustan “bukanlah perhubungan kekuasaan, [...] tetapi ialah perhubungan peradaban, perhubungan cultuur.”
[...]
“Negeri Indonesia ketika itu merdeka, – tetapi penduduk Indonesia, Rakyat-jelata Indonesia, Marhaen Indonesia ... tidak pernah merdeka.”  Namun begitulah nasib semua rakyat jelata di seluruh dunia, bukan hanya di Indonesia. Mereka “diperintah oleh raja-rajanya secara feodalisme: Mereka hanyalah menjadi perkakas sahaja dari raja-raja itu dengan segala bala-keningratannya ...”.
Karena itu sebab-sebabnya Indonesia dijajah, tidak merdeka, harus dicari dalam masa “[t]iga empat ratus tahun yang lalu, di dalam abad keenambelas ketujuhbelas ... ketika “feodalisme Eropah” surut dan diganti dengan “vroeg-kapitalisme”, kapitalisme tua, yaitu timbulnya kelas “pertukangan dan perdagangan, yang giat sekali berniaga di seluruh benua Eropa-Barat.” Kelas kapitalis ini semakin kuat sampai dapat mencapai “kedudukan kecakrawartian”, kuasa pemerintahan. Segera Eropa menjadi sempit bagi kapitalisme tua itu, sehingga “timbullah suatu nafsu, suatu stelsel” untuk menguasai “benua-benua lain, – terutama sekali di benua Timur, di benua Azia!” Itulah “imperialisme”.
Sementara itu “... masyarakat Indonesia khususnya, masyarakat Azia umumnya, pada waktu itu kebetulan sakit”, maksudnya “suatu masyarakat ‘in transformatie’ ..., yang sedang asyik ‘berganti bulu’: “[dari] feodalisme-kuno” atau “feodalisme Brahmanisme” ke “feodalisme-baru, feodalismenya ke-Islam-an, yang sedikit lebih demokratis ...”.  Masa ‘berganti bulu” itu tercermin antara lain dalam “pertempuran antar Demak dan Majapahit, atau Banten dan Pajajaran”. Pertempuran-pertempuran itu “membikin badan masyarakat menjadi ‘demam’ dan menjadi ‘kurang-tenaga’, dan lambat-laun dikalahkan oleh  kapitalisme-tua Eropa melalui nafsu imperialismenya.

2.   Dari Imperialisme-Tua ke Imperialisme-Modern

“Tahukah pembaca bagaimana mekarnya imperialisme itu, ... dari imperialisme-kecil menjadi imperialisme raksasa [...,] dari imperialisme-tua menjadi imperialisme modern?” Untuk itu pembaca perlu tahu lebih dulu bahwa “[i]mperialisme adalah anaknya kapitalisme. Imperialisme-tua dilahirkan oleh kapitalisme-tua, imperialisme-modern dilahirkan oleh kaitalisme-modern. [Namun] [w]ataknya kapitalisme-tua adalah berbeda besar dengan wataknya kapitalisme-modern. [...] Maka imperialisme-tua yang dilahirkan oleh kapitalisme-tua itu, – imperialismenya [VOC] dan ... [Tanam Paksa] – ... niscayalah satu watak dengan ‘ibunya’, yakni watak-tua, watak-kolot, watak-kuno.”
Watak kuno imperialisme-tua itu “menghantam ke kanan dan ke kiri, [menjalankan] stelsel monopoli dengan kekerasan dan kekejaman ... mengadakan sistim paksa ..., membinasakan ribuan jiwa manusia, menghancurkan kerajaan-kerajaan ..., membasmi milliunan tanaman cengkeh dan pala .... Ia melahirkan aturan contingenten [pajak berupa hasil bumi] dan leverantien [hak monopoli beli hasil bumi] yang sangat berat dipikulnya oleh Rakyat [...].”
“Tetapi lambat-laun di Eropah modern-kapitalisme mengganti vroeg-kapitalisme yang sudah tua-bangka. Paberik-paberik, bingkil-bingkil, bank-bank, pelabuhan-pelabuhan , kota-kota industri timbullah seakan-akan jamur di musim dingin, dan tatkala modern-kapitalisme ini sudah dewasa, maka modal-kelebihannya alias surpluskapital-nya lalu ingin dimasukkan di Indonesia ...”. Mereka tidak sabar menunggu di pintu gerbang Indonesia. Mereka memekik dengan semboyan-semboyan seperti kebebasan buruh, kebebasan menyewa tanah, persaingan bebas. “Dan akhirnya, pada kira-kira tahun 1870, dibukalah pintu gerbang itu!” Maka masuklah “modal-partikelir di Indonesia, – mengadakan paberik-paberik gula di mana-mana, kebon-kebon teh di mana-mana, onderneming-onderneming tembakau di mana-mana, dan lain sebagainya ...”.
“Cara pengambilan [rezeki dengan jalan monopoli] berobah, sistimnya berobah, wataknya berobah, tetapi banyakkah perobahan bagi Rakyat Indonesia? Banjir harta yang keluar dari Indonesia bukan semakin surut, tetapi malahan makin besar, drainage Indonesia malahan makin [besar].” Maka sejak “adanya opendeur politiek [politik pintu terbuka]  di dalam tahun 1905, maka modal yang boleh masuk ke Indonesia dan mencari rezeki di Indonesia bukanlah lagi modal Belanda sahaja, tetapi juga modal Inggeris, juga modal Amerika, juga modal Jepang, juga modal Jerman, juga modal Perancis, juga modal Italia, juga modal lain-lain, sehingga imperialisme di Indonesia kini adalah imperialisme yang internasional karenanya. Raksasa ‘biasa yang dulu ... kini sudah menjadi raksasa Rahwana Dasamuka yang bermulut sepuluh!”
Drainase itu digambarkan dengan perbandingan antara ekspor dan impor untuk 1924-1930.  Rata-rata jumlah ekspor/tahun f 1.527.799.571, sedang rata-rata jumlah impor/tahun f 875.917.143. Jadi rata-rata rasio ekspor dan impor adalah 174/100, sedang rasio tertinggi  226/100 dan terendah 135/100.  “Sedang bandingannya ekspor/impor di negeri-negeri jajahan yang lain-lain ada ‘mendingan’, [dan] bandingan itu di dalam tahun 1924: Afrika Selatan 119/100; Filipina 123/100; India 123/100; Mesir 129/100, Sri Lanka 133/100. “[M]aka buat Indonesia, ia menjadi yang paling celaka [...]”. Sebanyak 75 persen nilai ekspor itu berasal dari “delapan macam hatsil onderneming landbouw” atau hasil pertanian yang sangat dekat dengan kepentingan rakyat.
Untung bersih bagi semua onderneming itu rata-rata f 515.000.000/tahun, “lima ratus limabelas milliun rupiah setahun, dan ini adalah 9% á 10% dari mereka punya modal-induk!”, sedang “bagi Marhaen, yang membanting tulang dan berkeluh-kesah mandi keringat bekerja membikinkan untung sebesar itu, rata-rata di dalam zaman ‘normal’ [sebelum meleset] ta’ lebih dari delapan sen seorang sehari ...”

3. “Indonesia, Tanah yang Mulya ...”

Marhaen dapat “ta’ lebih dari delapan sen seorang sehari. Dan ini pun bukan hisapan-jempol kaum pembohong, bukan hasutannya kaum penghasut, bukan agitasinya pemimpin-agitator. [...] Memang hanya orang munafik dan durhaka sahajalah yang tak’ berhenti-henti berkemak-kemik: ‘Indonesia sejahtera. Rakyatnya kenyang-senang.” [...]. Kenyataan ini “ta’ dapat dibantah lagi. Dr Huender telah mengumpulkan angka-angka[nya]. [...] Ia membagi pendapatan Kang Marhaen itu dalam tiga bagian: ... dari padinya, ... dari palawijanya, ... dari perkuliannya bilamana Marhaen tengan ‘vrij’”.
[...]
“En toch, barangkali risalah ini dibaca oleh fihak ‘twijvelaars’ alias fihak ‘ragu-ragu’ di kalangan kita punya intellectuelen yang karena terlampau kenyang ‘cekokan kolonial’ tidak percaya bahwa Marhaen papa-sengsara?” Cara manjur melenyapkan keraguan mereka itu adalah menganjurkan mereka pergi ke kalangan Marhaen sendiri, lalu melihat dengan mata kepala sendiri. Boleh juga periksa “perkataan Professor Boeke yang berbunyi, bahwa hidupnya bapak tani adalah hidup ‘ellendig’, hidup yang sengsara keliwat sengsara’”. Boleh juga buka “surar-surat chabar [...] dan mengumpulkan ‘syair megatruh’ [...] yang melagukan betapa hidupnya Kang Marhaen yang ... sudah ‘sekarang makan besok tidak’ itu”.
[...]
 “O, Marhaen, hidupmu sehari-hari morat-marit” tapi “kamu boleh menyanyi: Indonesia,Tanah Yang Mulya/ Tanah Kita Yang Kaya/ Disanalah kita Berada/ Untuk Selama-lamanya."

4.   “Di Timur Matahari Mulai Bercahaya,"

“Tetapi hal-hal yang saya ceritakan di atas ini hanyalah kerusakan lahir sahaja. Kerusakan bathin pun ternyata [timbul] di mana-mana. Stelsel imperialisme yang butuh pada kaum buruh itu, sudah [menyelewengkan] semangat kita menjadi semangat perburuhan ... yang hanya senang jikalau bisa menghamba. Rakyat Indonesia sediakala terkenal sebagai Rakyat yang gaga-berani ..., yang perahu-perahunya melintasi lautan dan samodra ..., kini terkenal sebagai ‘het zachtste volk der aarde’, ‘Rakyat yang paling lemah-budi di seluruh muka bumi’. Rakya Indonesia itu kini menjadi Rakyat yang hilang kepercayaannya pada diri sendiri, hilang keperibadiannya [...]”.
Itu pun “belum bencana bathin yang paling besar! Bencana bathin yang paling besar ialah bahwa Rakyat Indonesia itu percaya bahwa ia memang adalah ‘Rakyat-kambing’ yang selamanya harus dipimpin dan dituntun”. Rakyat seperti itu percaya saja semboyan imperialisme bahwa mereka datang di Indonesia bukan untuk cari rezeki, malainkan datang membawa “’maksud suci’ ... ‘mission-cacrée’ [untuk mencapai] ‘beschaving’ dan ‘orde en rust’, – ‘[peradaban]’ dan ‘[ketertiban] umum’.”
Namun semua itu “hanyalah omong-kosong belaka”, dan kita akan binasa kalau terus percaya omong-kosong tersebut, ‘dan pantas binasa di dalam lumpur penghinaan dan nerakanya kegelapan. [...] Tetapi ... Alhamdulillah, di Timur matahari mulai bercahaya, fajar mulai menyingsing! Obat tidur imperialisme yang berabad-abad kita minum ... perlahan-lahan mlai kurang dayanya. [...] Berabad-abad kita sudah lembek hingga seperti kapuk dan agar-agar. Yang [kita] butuhkan kini ialah otot-otot yang kerasnya sebagai baja, urat-urat-syaraf yang kuatnya sebagai besi, kemauan yang kerasnya sebagai batu-hitam ... dan jika perlu, berani terjun ke dasarnya samodra!”
Fajar menyingsing itu adalah pergerakan kebangsaan kita. “Pergerakan memang bukan tergantung [pada] seorang pemimpin ..., pergerakan adalah bikinannya nasib kita yang sengsara. [Pergerakan] pada hakekatnya adalah usaha masyarakat sakit yang mengobati diri sendiri. [...] Oleh karena itulah kita harus mempunyai [...] pergerakan yang ... cocok dan sesuai dengan hukum-hukumnya masyarakat dan terus menuju ke arah doelnya masyarakat, ya’ni masyarakat yang selamat dan sempurna. [...]. Haibatkanlah pergerakanmu menjadi pergerakan yang bewust dan insyaf, yang karenanya akan menjadi haibat sebagai tenaganya gempa. Fajar mulai menyingsing. Sambutlah fajar itu dengan kesadaran, dan kamu akan segera melhat matahari terbit."

5.   Gunanya Ada Partai

“Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup yang lebih layak dan sempurna. Kita bergerak tidak karena ‘ideal’ saja ... [tapi] karena ingin perbaikan nasib [di segala bidang].” Namun, perbaikan nasib “hanyalah bisa datang seratus prosen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. [...] Oleh karena itu ... pergerakan kita itu ... yang ingin merobah samasekali sifatnya masyarakat ... yang samasekali ingin menggugurkan stelsel imperialisme dan kapitalisme. Pergerakan kita janganlah hanya ... ingin rendahnya pajak, ... tambahnya upah, janganlah hanya ingin perbaikan-perbaikan kecil yang bisa tercapai hari sekarang ...”.
Perubahan yang begitu besar harus “dibarengi dengan gemuruhnya banjir pergerakan Rakyat-Jelata. [...]. Kita pun harus menggerakkan Rakyat-jelata di dalam suatu pergerakan radikal yang bergelombangan sebagai banjir, menjelmakan pergerakan massa yang tahadinya onbewust dan hanya raba-raba itu menjadi suatu pergerakan massa yang bewust dan radikal, ya’ni massa-aksi yang insyaf akan jalan dan maksud-maksudnya.”
“Welnu, bagaimanakah kita bisa menjelmakan pergerakan ... yang bewust dan radikal? Dengan suatu partai! Dengan suatu partai yang mendidik Rakyat-jelata itu ke dalam ke-bewest-an dan keradikalan.” [...]. Partai yang demikian ... bukan partai burjuis, bukan partai ningrat, bukan ‘partai-Marhaen’ yang reformistis, bukan pun ‘partai radikal’ yang hanya amuk-amukan sahaja, – tetapi partai-Marhaen yang radikal yang tahu saat menjatuhkan pukulan-pukulannya.”

6.   Indonesia Merdeka Suatu Jembatan

Dengan partai seperti itulah pergerakan kebangsaan mencapai maksudnya: “suatu masyarakat yang adil dan sempurna, yang tidak ada tindasan dan hisapan, yang tidak ada kapitalisme dan imperialisme. [...]. Dan syarat yang pertama untuk menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme ... ialah: k i t a  h a r u s  m e r d e k a. Kita harus merdeka, agar supaya kita bisa leluasa bercancut-tali-wanda menggugurkan stelsel kapitalisme dan imperialisme. Kita harus merdeka, supaya kita bisa leluasa mendirikan suatu masyarakat-baru yang tiada kapitalisme dan imperialisme. [...]. Dapatkah Ramawijaja mengalahkan Rahwana Dasamuka, jikalau Ramawijaya itu [masih] terikat kaki dan tangannya ...?”
Syarat kedua, “mengikhtiarkan kemerdekaan nasional”, kaum Marhaen “j u g a  h a r u s  m e n j a g a   j a n g  d i  d a l a m  k e m e r d e k a a n – n a s i o n a l  i t u    k a u m  M a r h a e n l a h   j a n g  m e m e g a n g  k e k u a s a a n, – bukan kaum burjuis Indonesia, bukan kaum ningrat Indonesia, bukan musuh kaum-Marhaen. [...].
Adakah dus saya kini  mengutamakan klassenstrijd [pertentangan kelas]? Saya belum mengutamakan klassenstrijd antara bangsa Indonesia dengan bangsa Indonesia, walau pun tiap-tiap nafsu kemodalan di kalangan bangsa sendiri kini sudah saya musuhi. Saya seorang nasionalis ... selamanya menganjurkan supaya semua tenaga nasional yang bisa dipakai menghantam musuh untuk mendatangkan kemerdekaan-nasional itu, haruslah dihantamkan pula.”
“‘De sociale tegenstellingen worden in onvrije landen in nationale vormen uitgevochten’, ‘pertentangan sosial di negeri-negeri yang ta’ merdeka diperjoangkan secara nasional’, begitulah juga Henriette Roland Holst berkata. Tetapi kemerdekaan-nasional hanyalah suatu jembatan, suatu syarat, suatu strijdmoment. Di belakang Indonesia Merdeka itu kita kaum Marhaen masih harus mendirikan kita punya Gedung Keselamatan, bebas dari tiap-tiap macam kapitalisme.” Jadi, syarat ketiga adalah: kesadaran bahwa kemerdekaan nasisonal hanyalah jembatan emas.

7.   Sana Mau ke Sana, Sini Mau ke Sini

“Tapi sekarang timbul pertanyaan: bagaimana kita [memenuhi] ... tiga [syarat] itu?”
“[K]ita lebih dulu harus mengetahui hakekatnya kedudukan antara imperialisme dan kita, hakekat kedudukan antara s a n a  dan  s i n i.” Inilah yang menentukan “azas-azas perjoangan kita, ... strategi kita, ... taktik kita ... ‘houding’ [sikap] kita terhadap ... kaum sana itu ...”
Hakekat “kedudukan” itu “boleh kita gambarkan dengan satu perkataan sahaja: p e r  t e n t a n g a n. Pertentangan di dalam segala hal. [...] Tidak ada persesuaian antara sana dan sini. Antara sana dan sini ada pertentangan sebagai api dan air, sebagai serigala dan rusa, sebagai kejahatan dan kebenaran.” Inilah “yang oleh kaum Marxis disebutkan  d i a l e k t i k-nya sesuatu keadaan ...” Pertentang sana dan sini berada dalam dialektik itu, yang disebut “ber-antitese”.
Dialektik ini “menyuruh kita selamanya ... t i d a k   b e k e r j a  [s a m a] terhadap ... kaum sana itu, – s a m p a i  kepada saat keunggulan dan kemenangan. [...] kemenangan hanyalah bisa kita capai dengan kebiasaan  s e n d i r i, tenaga  s e n d i r i, usaha s e n d i r i. [...]. Inilah yang biasanya kita sebutkan politik ‘p e r c a y a  p a d a  k e k u a t a n  s e n d i r i’, politik ‘s e l f – h e l p dan  n o n – c o o p e r a t i o n'.”

8.   Machtsvorming, Radikalisme, Massa-Aksi

Selain membawa kita ke “politik selfhelp dan non-cooperation”, dialektika tadi juga membawa kita “ke dalam kawah candradimukanya politik machtsvorming, radikalisme dan massa-aksi.” Machtsvorming “adalah ... pembikinan kuasa ... jalan satu-satunya untuk memaksa kaum sana tunduk kepada kita.” Jalan satu-satunya, karena “’nooit heeft een klasse vrijwillig van haar bevoorrechte positie afstand gedaan”, begitulah Karl Marx berkata ... ‘Ta’ pernahlah sesuatu kelas suka melepaskan hak-haknya dengan ridlanya kemauan sendiri’.”
“Radikalisme” berarti menggunakan “machtsvorming” kita, bukan “kepandaian putar lidah, bukan kepandaian menggerutu dengan hati dendam terhadap kaum sana.” Dengan kata lain, “[t]iap-tiap kemenangan kita, dari yang besar-besar sampai yang kecil-kecil, adalah hatsilnya  d e s a k a n dengan kita punya tenaga. Oleh karena itu ‘teori’ dan ‘prinsip’ sahaja buat saya belum cukup. Tia-tiap orang bisa menutup dirinya di dalam kamar, dan menggerutu ‘ini tidak menurut teori’, ‘itu tidak menurut prinsip’. Saya tidak banyak menghargakan orang yang demikian itu. Tetapi yang paling sukar ialah, di muka musuh yang kuat dan membuta-tuli ini, menyusun suatu  m a c h t  yang terpikul oleh suatu prinsip. Keprinsipiilan dan keradikalan zonder machtsvorming yang bisa menundukkan musuh di dalam perjoangan yang haibat, bolehlah kita buang ke dalam sungai Gangga. Keprinsipiilan dan keradikalan yang menjelmakan kekuasaan, itulah kemauan Ibu!”

9.   Diseberangnya Jembatan Emas

“Adakah Indonesia-Merdeka bagi Marhaen menentukan hidup-kemanusiaan yang [leluasa dan sempurna, ... yang secara manusia dan selayak manusia]? Indonesia-Merdeka sebagai saya katakan di atas, adalah menjanjikan tetapi belum pasti menentukan bagi Marhaen hidup kemanusiaan yang demikian itu.”  Yang menjanjikan itu “barulah menjadi ketentuan, kalau Marhaen sedari sekarang sudah insyaf seinsyaf-insyafnya bahwa Indonesia-Merdeka hanyalah suatu jembatan, – sekali pun suatu jembatan emas!– yang harus dilalui dengan segala keawasan dan keprajinaan, jangan sampai di atas jembatan itu Kereta-Kemenangan dikusiri oleh lain orang selainnya Marhaen.”
Satu calon kusir ialah “kaum ningrat” dengan “nasionalisme-keningratan” mereka. “Mereka masih hidup dalam keadaan feodalisme [...] yang biasanya setia sekali pada kaum yang di atas ... Tetapi menurut cita-citanya di dalam Indonesia-Merdeka itu merekalah yang harus menjadi ‘kepala’ ... yang sejak zaman purbakala, sejak feodalisme Hindu dan sejak feodalisme ke-Islam-an toch sudah menjadi ‘pohon beringin’ yang melindungi kaum ‘kawulo’”. Calon kusir lain ialah “nasionalisme-keborjuisan” milik kaum modal, industri, kaum berpunya. Dua-duanya memuja individualisme, yang menjerumuskan Marhaen ke lembah demokrasi politik belaka.
Terhadap mereka ini  Marhaen mengajukan demokrasi berdasarkan “gotong royong”, dalam bentuk “sosio-demokrasi” dan “sosio-nasionalisme”. “Dengungkanlah sampai melintasi tanah-datar dan gunung dan samodra, bahwa Marhaen di seberangnya jembatan-emas akan mendirikan suatu masyarakat yang tiada keningratan dan tiada keborjuisan, tiada kelas-kelasan dan tiada kapitalisme.”
“Bagahialah partai-pelopor yang demikian itu!
“Bahagialah massa yang dipelopori partai yang demikian itu!
“Hiduplah sosio-nasionalisme dan soio-demokrasi!”

10. Mencapai Indonesia-Merdeka!

“Sekarang, kampiun-kampiun kemerdekaan, majulah ke muka, susunlah pergerakanmu menurut garis-garis yang saya guratkan di dalam risalah ini. Haibatkanlah partainya Marhaen, agar supaya menjadi partai pelopornya massa. Haibatkanlah semua semangat yang ada di dalam dadamu, haibatkanlah semua kecakapan-mengrorganisasi yang ada di dalam tubuhmu, haibatkanlah semua keberanian banteng yang ada di dalam nyawamu [...].”
“Hidupkanlah massa-aksi, untuk mencapai Indonesia-Merdeka!” (Parakitri T. Simbolon. Rebo, 1 Juli 2009).
 Sumber : http://www.zamrudkatulistiwa.com/index.php?option=com_content&view=article&id=89:mencapai-indonesia-merdeka-sukarno&catid=45:yang-inklusif


Pemikiran Negara Islam Soekarno dan Natsir


Latar Belakang
Indonesia yang merdeka pada tahun 1945 adalah sebuah negara yang berbentuk Kesatuan. Hal itu berdasarkan kesepakatan para founding fathers kita yang telah berjuang melalui berbagai cara baik diplomatk maupun konfrontasi fisik. Dalam sidang BPUPK (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan) dibahas berbagai persiapan untuk kemerdekaan Indonesia. Topik bahasan itu antara lain adalah mengenai bentuk negara, batas negara, dan dasar negara. Mengenai dua poin bahasan pertama tidak terjadi perdebatan yang berarti, tetapi untuk bahasan mengenai dasar negara terjadi pembahasan yang alot dan perdebatan yang sengit.
Perdebatan itu muncul ke permukaan sekitar tahun 1940-an dan terjadi antara dua tokoh besar saat itu yaitu Soekarno dan Natsir. Perdebatan tentang dasar negara berkutat pada dua pemikiran mereka yang bertolak belakang satu sama lain. Soekarno menganggap bahwa negara harus dipisahkan dari agama. Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Soekarno sering disebut Kaum Nasionalis Sekuler. Pemikiran yang bertolak belakang diperlihatkan oleh Natsir yang menganggap bahwa persoalan negara tidak dapat dipisahkna dari agama (dalam hal ini Islam). Kelompok yang mempunyai ide yang sama dengan Natsir sering disebut Kaum Nasionalis Islam. Keduanya sebenarnya mempunyai satu cita-cita yang sama untuk membangun negara ini. Tetapi keduanya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menentukan dasar negara ini.

Sosialisasi Politik Soekarno dan Natsir
Masa kecil Soekarno lebih banyak dihabiskan di Tulung Agung (Kediri). Sebelumnya ia tinggal bersama orang tuanya di Surabaya. Tetapi pada usia sekitar lima tahun ia pindah ke Kediri dan tinggal bersama kakeknya. Pada saat itu ia sering diajak oleh kakeknya menonton wayang. Kakeknya ingin mewariskan kecintaannya pada mitologi Jawa klasik itu. Saat itulah Soekarno mulai tertarik. Ia sangat menyukai cerita tentang kisah Mahabarata. Tokoh yang sangat ia kagumi adalah Bima. Bahkan ia mengidentifikasikan dirinya sebagai Bima. Itu adalah awal internalisasi nilai-nilai yang nantinya menjadi dasar pemikiran dan perjuangan bagi Soekarno.[1] Lain lagi halnya dengan pengaruh Barat yang juga mempengaruhi Soekarno. Soekarno kecil tidak pernah mendapatkan pelajaran agama baik formal maupun informal. Keluarganya lebih ke arah kejawen. Wajar apabila pemikiran-pemikirannya di masa selanjutnya tidak mempunyai dasar agama yang kuat. Soekarno banyak mencicipi bangku sekolah Belanda. Tetapi saat itu ia justru mengalami sebuah pengalaman yang memperlihatkan diskriminasi bangsa Barat kepada kaum Bumiputera. Selain hal di atas, ia juga pernah mengalami sosialisasi politik liannya. Seperti bergabungnya ia dengan aktivitas politik di Trikoro Darmo. Sosialisasi politiknya semakin kuat saat ia mondok dan diasuh di rumah tokoh utama Sarekat Islam yaitu Tjokroaminoto. Di sana ia mulai berkenalan dengan berbagai tokoh antara lain adalah Ki Hajar Dewantara, Agus Salim, dan lain-lain. Soekarno mendapat berbagai pengaruh pemikiran Barat dalam hidupnya. Hal itu ia peroleh ketika berseolah di sekolah asing. Persentuhannya dengan berbagai pemikiran itu membawa pengaruh kuat dalam pemikiran Soekarno nantinya.
Natsir memperoleh sosialisasi politik yang berbeda dengan Soekarno. Ia lahir dari keluarga Minang dan dibesarkan dalam kebudayaan dan adat Minang. Keluarganya sangat menekankan tentang pentingnya beragama dan menjalani ajaran agama. Oleh karena itulah masa kecilnya dihabiskan dengan berbagai kegiatam dan pelajaran agama disamping sekolah formal yang ia ikuti. Pengaruh budaya Minangkabau juga sangat lekat dalam sosialisasi politik Natsir. Latar belakang sejarah pergerakan Islam di Minang juga menjadi fokus utama. Karena pada masa sebelum Natsir lahir pada tahun 1908 di Minang sedang terjadi sebuah gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh kaum muda di daerah tersebut. Gerakan itu diilhami dan dipengaruhi oleh gerakan pembaharuan Islam yang ada di luar negeri seperti Wahhabi di Arab serta Muhammad Abduh di Mesir. Bahkan di antara mereka ada yang pernah berguru langsung dengan tokoh-tokoh Wahhabi. Tuntutan gerakan tersebut antara lain purifikasi (pemurnian) ajaran Islam. Gerakan itulah yang nantinya membawa pengaruh besar pada pemikiran Natsir. Selain pengaruh latar belakang sejarah itu, ada hal lainnya yang juga menjadi sosialisasi politik bagi Natsir yaitu pendidikan formal yang ia tempuh. Pada usia delapan tahun ia bersekolah di HIS (Hollandse Inlandse School) yang didirikan oleh Haji Abdullah Ahmad (seorang tokoh pembaharu di Padang). Beberapa bulan setelah itu ia dipindahkan ke HIS pemerintah yang sepenuhnya memakai sistem pendidikan Barat (Belanda) di Kota Solok. Itulah awal mula interaksinya dengan sistem kolonial. Setelah lulus dari HIS, ia melanjutkan ke MULO. Saat di MULO ia mulai bersentuhan dengan aktivitas organisasi yaitu bergabung denga Jong Islamieten Bond. Pada tahun 1927 ia melanjutkan pendidikan  dan merantau ke Bandung. Inilah momen pertemuannya dengan berbagai tokoh-tokoh Islam sekaligus sebagai tempat penempaannya hingga menjadi tokoh terkemuka.[2]

Pertarungan Ideologis Kelompok Sekuler dan Islam
Pertarungan ideologis antara dua golongan ini memfokuskan pada masa pergerakan nasional dan membatasi waktu pada tahun 1920-1939. Pada dasawarsa 1920-1930-an disebutkan oleh Taufik Abdullah sebagai “dasawarsa ideologi”. Hal itu dikatakan karena pada masa itu berbagai jenis ideologi berkembang dan menjadi perdebatan di kalangan kaum pergerakan nasional yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan keagamaan serta ideloogi perjuangan. Organisasi-organisasi yang memperdebatkan hal itu antara lain adalah Sarekat Islam dan PNI. Perdebatan itu terjadi di berbagai kesempatan dan melalui berbagai media yang ada.. Bahasan utamanya jelas yaitu mengenai ideologi perjuangan yang akan dijadikan sebagai pijakan serta dasar sebuah negara.

Pertentangan Pemikiran Soekarno dan Natsir
Polemik ini bermula ketika munculnya sebuah artikel pada tahun 1940 yang ditulis oleh Soekarno berjudul “Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara”. Tulisan itu dimuat di majalah Panji Islam. Menurut penulis, alasan dibuatnya tulisan itu sekedar untuk memenuhi permintaan pembaca Panji Islam dan sebagai bahan pertimbangan tentang baik buruknya serta benar salahnya agama dipisahkan dari negara.  Dalam tulisan tersebut penulis menyatakan bahwa dirinya tidak memihak kebijaksanaan Kemal Attaturk dan tidak memberikan penilaian darinya mengenai ide dan tindakan Kemal tesebut walaupun ia telah membaca sekitar dua puluh buku yang mambahas tentang masalah tersebut. Tulisan itu dibantah oleh Natsir yang pada mulanya menulis dengan nama samaran A.Muchlis. Artikel-artikel Soekarno dikatakannya tidak hanya sekedar bahan pertimbangan untuk dipikirkan saja, melainkan pernyataan pemihakan Soekarno terhadap ide dan dan tindakan Kemal. Perdebatan antara kedua tokoh tersebut terjadi dalam bentuk argumentasi yang dituliskan melalui artikel di majalah. Banyak sekali artikel yang mereka buat untuk saling membantah pemikiran diantara mereka mengenai Islam dan Negara. Tapi saya akan mengungkapkan pertentangan itu bukan dalam transkrip artikel melainkan melalui intisari pemikiran mereka.

Pemikiran Soekarno dan Natsir tentang Negara Islam
Pemikiran Soekarno tentang masalah ini terkait dengan gagasan pemisahan agama dari negara di Barat (Eropa) yang menyatakan bahwa agama adalah aturan spiritual (akhirat) dan negara adalah aturan duniawi (secular). Ditambahkan oleh soekarno bahwa agama adalah urusan spiritual pribadi, sedangkan masalah negara adalah persoalan dunia dan kemasyarakatan. Berdasarkan hal tersebut, ia menilai bahwa pelaksanaan ajaran agama hendaknya menjadi tanggung jawab setiap pribadi muslim dan bukan negara atau pemerintah. Negara dalam hal ini tidak turut campur untuk mengatur dan memaksakan ajaran-ajaran agama kepada para warga negaranya. Tapi menurutnya dengan dipisahkannya agama dengan negara bukan berarti ajaran Islam dikesampingkan, sebab dalam negara demokrasi, semua aspirasi termasuk aspirasi keislaman dapat disalurkan melalui parlemen. Umat Islam juga jangan terpaku dengan bentuk formal atau luar ajaran Islam tetapi lebih memperhatikan isi (substansi) atau semangat ajaran Islam. Apabila Indonesia menjadi Negara Islam dan Islam diterima sebagai dasar negara maka akan terjadi perpecahan di Indonesia karena tidak seluruh rakyat Indonesia beragama Islam. Menurut pandangan Soekarno, negara nasional adalah cita-cita rakyat Indonesia. Dalam usaha membangkitkan semangat cinta tanah air harus ditekankan pentingnya persatuan yang menurutnya tidak dapat didasarkan pada sukuisme, agama, atau ras. Persatua bangsa menurut Soekarno (mengutip Ernest Renan) hanya bisa dibangun oleh kehendak untuk bersatu (le desire d’etre ensemble) dan rasa pengabdian kepada tanah air. Persatuan harus mengabaikan kepentingan golongan yang sempit sekalipun berupa kepentingan Islam.[3] Beberapa poin diatas merupakan gambaran singkat pemikiran Soekarno mengenai Islam dan Negara.
Natsir mengemukakan pandangannya tentang Negara Islam. Salah satu penyebab mengapa orang tidak setuju tentang persatuan agama dan negara ialah karena gambaran yang keliru mengenai negara Islam. Gambaran yang disampaikan para Orientalis Barat itu menurutnya telah menyimpang dari bentuk asli negar Islam dan telah mempengaruhi umat islam untuk tidak menyetujui penyatuan Islam dengan Negara. Menurutnya, kekhalifahan Turki Utsmani terakhir (yang menurut Soekarno dianggap sebagai Negara Islam) dinilai tidak mencerminkan ciri-ciri Negara Islam. Natsir juga berpandangan bahwa negara sebagai alat untuk merealisasikan cita-cita Islam sesuai Al Quran dan Sunnah dan bukan merupakan tujuan akhir dalam Islam. Dalam Fiqhud Da’wah, Natsir menggambarkan bahwa hidup duniawi dan ukhrawi pada hakikatnya hanyalah dua fase (tahapan) dari kehidupan yang satu dan kontinyu; fase yang satu berkesinambungan dengan yang lain bagaikan bersambungnya siang dan malam. Ajaran Islam menurutnya tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya tetapi juga hubungan manusia dengan sesamanya. Dalam Islam terdapat semua perangkat atuarn di setiap aspek kehidupan tanpa terkecuali. Prinsip kenegaraan dalam Islam menekankan kepada bentuk musyawarah atau syuro. Tapi menurutnya, musyawarah dalam Islam berbeda dengan demokrasi karena dasar pemerintahan harus bersandar kepada ajaran Islam yang sudah jelas dan pasti (qath’i). Jadi prinsip pemerintahan negara tidak boleh ada yang lain walaupun ditentukan melalui proses musyawarah parlemen atau meminta persetujuan mayoritas warga negara. Dalam hal ini, Natsir menyatakan bahwa untuk dasar negara hanya mempunyai dua pilihan yaitu Sekularisme (la-diniyah, atau paham agama (dini).[4] Maka negara yang dikehendaki natsir adalah negara yang pada prinsipnya diatur oleh hukum-hukum Allah (syariat Islam).



[1] Ahmad Suhelmi. Polemik Negara Islam. Teraju. 2002. hal.16
[2] Ibid. hal.35
[3] Ahmad Suhelmi. DariKanan Islam Hingga Kiri Islam. Darul Falah. 2001. hal. 39
[4] Suhelmi. Polemik. Op.Cit. hal. 129

(Sumber : http://ahmadfathulbari.multiply.com/journal/item/6)

Transkrip Percakapan Indy Rahmawaty (TV One) Dengan Andris Novi


Jakarta - Presenter TVOne Indy Rahmawati diketahui sempat berkomunikasi  dengan tersangka kasus mafia kasus palsu Andris Ronaldi. Keduanya  berkomunikasi melalui Blackberry Messenger (BBM) sehari setelah tayangan  Apa Kabar Indonesia yang membahas markus di Mabes Polri. Percakapan keduanya telah diprint-out oleh Polri dan dijadikan salah  satu barang bukti dalam kasus mafia kasus palsu ini. Dalam dokumen yang  berisi transkrip lengkap percakapan BBM keduanya, diketahui bahwa Andris  sempat pergi ke luar kota untuk menghindari pengejaran polisi.Sebelumnya, Polri telah membeberkan sebagian percakapan keduanya. Dalam  dokumen yang telah beredar di kalangan wartawan pada Sabtu (10/4)  kemarin, berikut transkrip lengkap percakapan keduanya melalui BBM.  Dalam transkrip ini, Andris menggunakan nama B1LLY.

Indy TV One: Kalau perlu, ganti nomer aja bang
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Ok... Dari Mabes Tadi Siang... Cari gue
nich...

Indy TV One: Bang, kalau ada telepon2 dari nomer2 yang ga jelas, ga  perlu  diangkat. Polisi saat ini sdg kasak kusuk cari nomer teleponmu.  Aku TIDAK  akan kasih nomermu ke siapa pun.
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Ok...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Gue jadi buron nich...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Sampe kakak gue disamperin ke posyandu...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Gue dibilang tabrak lari..
Indy TV One: Aku lagi tiarap bang
Indy TV One: Siappp
Indy TV One: Waduh, kalau abang dicari mereka, artinya mereka udah tau  identitas abang dong..
Indy TV One: Sama bang.. Aku tiap pagi siaran ditunggi intel 5 org ..
Indy TV One: Bang, is everything ok?
Indy TV One: Aku ditekan pimpinan
Indy TV One: Aku matiin hp karena dicari pimpinan
Indy TV One: Aku ga berani ke kantor pusat di pulogadung, karena ditekan  pimpinan, suruh buka identitas kamu. Aku menolak
Indy TV One: Jelas bukan dari saya. Saya ga kasih tau siapapun soal  abang
Indy TV One: Bang... Is everything okay? ..
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Ndy..
Indy TV One: Alhamdulillah, abang nyahut juga..
Indy TV One: Eveything ok bang?
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): sengaja hp mati / hidup...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Saya jadi cabut keluar kota nich...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Mereka yg cari saya bawa foto, dan dapat  alamat dari stnk kendaraan yg dipakai. Fotonya juga ada..

Indy TV One: Waduh.... Gawat bangett..
Indy TV One: Kok mereka bisa tau dari siapa ya bang?
Indy TV One: Hati2, bang.. Hp matiin aja bang
Indy TV One: Aku dicariin big boss. Dia minta jatidiri kamu. Aku  menolak. Aku juga matiin hp terus.. On/off
Indy TV One: Bang, aku minta maaf udah bikin kamu repot dan susah
Indy TV One: Aku minta maaf sungguh2
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Jgn sampai ada yg Bocorin informasi apapun   ttg aku...
Indy TV One: Ga ada yg bocorin kok bang
Indy TV One: Ke boss pun aku ga kasih
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Ok sipp...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Insya Allah... Ini berlalu koq...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Yg penting kamu kgn kepancing aja...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Seluruh temen" police juga udah ada yg  curiga ama gue...
Indy TV One: Be cool bang..
Indy TV One: Ati2 ya
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Ok
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Ndy... Tolong hari ini kita harus  ketemu...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Polisi udah dapat rumah gue...
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): PING!!!
Indy TV One: Aman ga telp ke nomer baru?
Indy TV One: Bang, ayo ketemu. Di mana, jam berapa. Kasih tau saya
Indy TV One: Bang....
Indy TV One: Ketemu di mana jam berapa
Indy TV One: Masih bisa ditelp ke nomer luar kota?
Indy TV One: Bang…
(*)\ (*) B 1 L L Y (*)/(*): Indy telp saya ke 021 99999615
Indy TV One: Aku pake nomer kantor ya
Indy TV One: Aku otw
Indy TV One: Bang?
Indy TV One: Gimana nih, kita udah di lokasi
Indy TV One: Abang, aku bertiga udah deket
Indy TV One: Bagaimana, bang?
Indy TV One: Mohon kabari saya bang
Indy TV One: Segera
Indy TV One: Hellow, bang?
Sumber : http://forum.detik.com/showthread.php?t=178897






           


Korupsi Tanpa Wajah


Malam menjemput perlahan. Suara televisiku belakangan ini dipenuhi oleh komentar-komentar orang-orang yang katanya “pakar”, “ahli”, “menguasai di bidangnya” perihal kasus Gayus. Aduh, cape juga nonton berita yang itu-itu lagi. Gayus jadi artis dalam sekejap. Ternyata untuk jadi artis pun ga perlu menapak dari bawah, tapi cukup dengan korupsi. Tapi yang agak gede dikit, kalau kecil-kecilan, media ga mau muat. Dan kalau uang yang dirampok gede, itu santapan lezat buat para kuli tinta yang kaya raya. Biasalah bro, media kita masih menganut mainstream, bad news is a good news. Dalam hati, aku bilang, “kalau gitu pantes berita Indonesia bagus-bagus semua, wong isinya berita buruk semua”. Hehehe

Kenapa ya Gayusisme atau bahasa kerennya, maling, udah jadi biasa di bangsa ini. Karena udah biasa, justru malah dimaklumi dan biasanya tindakan yang dimaklumi, akan mulai ditiru. Apa maksudnya mas ? hmm, gini loh, kalau sampean mendengar, ada orang makan ular. Apa yang dirasakan ? pasti jadi pikiran dan keheranan yang luar biasa sambil ngucap “mengerikan” atau “kaya binatang” atau apa aja deh makian favorit khas orang indonesia. Intinya, perbuatan itu dianggap abnormal. Nah, kalau diandaikan makan ular sama dengan seorang yang korupsi, maka anda juga pasti memaki juga toh. Sekarang bayangkan yang makan ular itu banyak orang, dan kuping anda juga sudah biasa dengar “ ular enak juga loh”, atau temen anda bilang “ gw baru aja makan empedu ular, muantap coy”. Setelah frekuensi makan ular itu semakin sering kita dengar, maka semakin wajar dan maklum pula kita melihat seseorang memakan ular, bahkan lebih jauhnya, kita pun menjadi pemakan daging ular.

Begitu juga korupsi, semakin sering dan semakin banyak yang melakukan. Perbuatan itu ga lagi “aib”, bukan lagi perbuatan yang sembunyi-sembunyi, ga tabu lagi. Karena apa ? karena korupsi sudah dilakukan oleh para anonim (banyak wajah). Logikanya, tindakan yang dilakukan para anonim-anonim, lambat laun menjadi perbuatan yang biasa saja yang toh dilakukan semua orang. Itulah sebabnya, pas ngurus KTP, camat atau lurah ga malu ngomong uang pelicin. Itu juga sebabnya kenapa pas ngurus KTP, kita ga malu nanya berapa uang pelicinya. Bahkan kalau kita ga lakuin tindakan suap,korup dan seabrek perilaku tercela, malah kita yang jadi abnormal. Edan ga ?

Terus kemaren ada pengamat politik bilang “ satu orang jujur,masuk ke 9 orang korup, bisa dipastikan, bulan depan calon tersangka (kalau ga di depan hukum ya di depan Tuhan), bakal bertambah satu. Artinya, kejahatan korupsi bukanlah bersifat personal, melainkan berkaitan dengan sistem. Siapapun orangnya ketika masuk dalam sebuah sistem yang korup, dikasi pilihan 2 biji. Keluar atau bergabung dengan jaringan mafia maling negara. Kalau keluar, anak istri ga makan, kalau bergabung, masuk neraka. Ckckcc...ga ada pilihan lain apa mas...nasib..nasib..

Terus korupsi itu bukan berdiri sendiri, kaya tiang. Tapi saling berkaitan dengan kondisi sosial,ekonomi dan budaya. Kondisi sosial ya itu tadi, nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, kalau ekonomi, sifat serakah manusia. Bayangkan udah kaya masih aja korup. Jadi tolong ya, jangan seenaknya aja ngomong minta tambah gaji para pejabat, kalau cuma alasan doang.Jangan sok memuji remunerasi, toh kalau ga ada udang dibalik batu. dan ketiga ,budaya, korupsi udah jadi adat baru di Indonesia dengan budya manusianya yang tidak pernah puas, suka jalan pintas, lebih mementingkan hasil daripada proses. Korupsi itu multicausal booo...

Apa sih yang edan di republik ini. Mungkin variasi tindak kejahatan semua ada di sini. Indonesia adalah miniatur neraka versi dunia. Hehehe, bodoh amat kata orang menghina negeri sendiri, wong dihina aja, ga sadar-sadar. Uppsss, ngomongin kesadaran, wah berat urusannya. Sadar berarti membangunkan ketidaktahuan,menyadarkan ketidaksadaran. Dan itu ga gampang. Sama kalau menyadarkan orang yang udah pingsan (alhamdulilah belum mati), susah bukan ? ya lebih susah dibandingin bangunin orang tidur. Oh, masihkah kita segede ini minta disadarkan ?

Ada yang bilang hukum mati aje..nah lo, coba bayangin, memang pada awalnya masyarakat akan takut dengan hukuman, tapi jangan lupa, kejahatan selalu lebih maju dibanding hukum. Karena itu pula China ga sukses dengan hukuman matinya. Kita selalu fokus pada hukuman,bukan pada penyadaran. Asumsinya, untuk mencegah korupsi ya bukan mengandalkan hukum saja, tetapi ya lewat pikiran manusianya. Kalau pikiran kita clear untuk tidak korupsi, ga perlu hukuman mati deh..tapi ini pula yang sulit memang, mengubah pikiran sulit karena kita bukan robot. Dan kalau anda berharap revolusi pemikiran akan terjadi dalam wakktu dekat, hmm jangan ngarep deh..merubah mind set  itu puluhan tahun mas. Pikiran dipengaruhi lingkungan-lingkungan adalah nilai-nilai yang hidup dan diciptakan orang-orang-dan orang-orang berpikir-untuk berpikir benar, butuh alat berpikir benar- kita butuh lembaga. Apakah itu sekolah maupun organisasi terkecil, keluarga.

Rumus iseng saya, tindakan baik dilakukan dengan  sadar, dan kesadaran berbuat baik dipengaruhi oleh lingkungan (artinya bisa di rekayasa sosial) melalui lembaga formal/informal sehingga melahirkan budaya bangsa yang juga baik. Wah sudah malam...mau melanjutkan nonton TV lagi...eh...ada kasus Priok ya ? Maaf mau nonton dulu yo...Wassalam...