Kompetisi Global Dan Daya Saing Bangsa


           Peningkatan sumberdaya manusia Indonesia merupakan sebuah tuntutan dibanding dengan pilihan dalam era globalisasi ini. Perkembangan di bidang ekonomi yang sudah semakin tak berbatas, arus informasi yang semakin kencang dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat membuat sumberdaya manusia menjadi kunci keberhasilan dalam mengatasi tantangan dan perubahan zaman.Dalam bahasa lain, bisa kita katakan, bangsa yang meningkatkan sumberdaya manusianya akan menguasai dunia dan sebaliknya bangsa yang tidak menginvestasikanya akan menjadi bangsa terjajah.Artinya, kualitas manusia Indonesia harus selalu bisa beradaptasi dengan perubahan, bahkan mencipta perubahan itu sendiri.
          Namun, faktanya alih-alih mencipta perubahan, beradaptasi pun bangsa ini masih butuh proses panjang. Hal ini ditengarai karena persfektif pembangunan Indonesia yang belum bisa menempatkan manusia sebagai fokus pembangunan. Pemerintah masih terjebak pada pola pertumbuhan ekonomi yang seringkali tidak merefleksikan pada tataran akar rumput (grass root). Contoh kecilnya adalah, bagaimana sektor pendidikan yang harusnya mencetak sumberdaya manusia yang berkualitas masih belum menemukan metode yang ideal untuk mendidik anak bangsa. Belum lagi kesempatan memperoleh pendidikan yang masih jauh dari harapan rakyat.
          Dibandingkan dengan bangsa asia lainnya, seperti Jepang,China dan India, kita masih jauh dalam hal kompetisi daya saing. Masalah daya saing dalam pasar dunia yang semakin terbuka merupakan isu kunci dan tantangan yang tidak ringan. Tanpa dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi, niscaya produk suatu negara, termasuk produk Indonesia,tidak akan mampu menembus pasar internasional. Bahkan masuknya produk impor dapat mengancam posisi pasar domestik. Di tengah keterbukaan ekonomi dimana produk dan jasa bersaing bebas dalam sebuah negara, maka yang paling memiliki keunggulan kompetitif, akan menguasai pasar. Tentunya kita tidak mau bangsa ini hanya jadi pasar bagi produk bangsa lain. Kita tidak boleh menjadi bangsa konsumen.
Untuk meningkatkan daya saing manusia Indonesia, ada beberapa hal yang bisa kita lakukan. Pertama, meningkatkan kualitas hidup masyarakat baik di bidang jasmani maupun rohani.Hal ini diantaranya adalah meningkatkan kualitas SDM yang produktif, Peningkatan SDM yang berkembang dalam memanfaatkan, mengembangkan, dan penguasaan iptek, pengembangan pranata yang meliputi kelembagaan dan perangkat yang mendukung peningkatan kualitas SDM. Kedua, membenahi sektor pendidikan kita. Melalui pendidikan, masyarakat akan memiliki pengetahuan dalam mengatur kehidupannya secara lebih baik, memperbaiki sistem pendidikan dan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anggota masyarakat untuk mengenyam pendidikan dan meningkatkan kualitas pengajar.

Bangsa ini lahir tentu tidak dimaksudkan menjadi bangsa konsumen. Sebuah bangsa yang selalu tergantung pada produk-produk bangsa lain. Petuah Soekarno yang menekankan berdiri di atas kaki sendiri (berdikari) sangat relevan untuk menjadi penyemangat laju langkah kita. Manusia jangan dipandang sebagai objek,melainkan sebuah aset yang harus dikembangkan karena akan menentukan produktivitas suatu bangsa. Meskipun teknologi sedemikian canggihnya, manusia tidak akan bisa tergantikan dari segi kemampuanya untuk terus memperbaiki diri dan bahkan mencipta lebih dari kemampuannya. Kuncinya pemerintah harus kembali pada jalur pembangunan yang berorientasi manusia (people centerd development), jika abai, siap-siap kita tenggelam dalam arus penjajahan gaya baru.




DOWNLOAD BUKU NEOLIBERALISME



Neoliberalisme bukanlah sebuah produk yang benar-benar baru, tetapi dia adalah sebuah proses revisi terhadap sistem ekonomi sebelumnya tanpa menghilangkan kerja dasar dari sistem ekonomi sebelumnya yaitu sistem ekonomi liberal, bahkan sistem ekonomi Keynesian. Sistem ekonomi liberalnya Adam Smith, lalu sistem “penyelamat kapitalisme awal”  Keynesian serta yang teranyar yaitu sistem ekonomi neoliberal adalah sama-sama sebuah sistem yang menempatkan sistem produksi yang menempatkan adanya kaum yang mempunyai modal dan kaum yang hanya bekerja di dalam proses produksi.

Neoliberalisme sebagai perwujudan baru paham liberalisme saat ini dapat dikatakan telah menguasai sistem perekonomian dunia. Seperti kita ketahui bersama, paham liberalisme dipelopori oleh ekonom asal Inggris Adam Smith dalam karyanya The Wealth of Nations (1776). Sistem ini sempat menjadi dasar bagi ekonomi negara-negara maju seperti Amerika Serikat dari periode 1800-an hingga masa kejatuhannya pada periode krisis besar (Great Depression) di tahun 1930. Sistem ekonomi yang menekankan pada penghapusan intervensi pemerintah ini mengalami kegagalan untuk mengatasi krisis ekonomi besar-besaran yang terjadi saat itu.

Kebijakan itu ternyata terbukti sukses karena mampu membawa negara selamat dari bencana krisis ekonomi. Inti dari gagasannya menyebutkan tentang penggunaan “full employment” yang dijabarkan sebagai besarnya peranan buruh dalam pengembangan kapitalisme dan pentingnya peran serta pemerintah dan bank sentral dalam menciptakan lapangan kerja. Kebijakan ini mampu menggeser paham liberalisme untuk beberapa saat sampai munculnya kembali krisis kapitalisme yang berakibat semakin berkurangnya tingkat profit dan menguatnya perusahaan-perusahaan transnasional (TNC).

Menguatnya kekuatan modal dan politik perusahaan-perusahaan transnasional (TNC) yang banyak muncul di negara-negara maju makin meningkatkan tekanan untuk mengurangi berbagai bentuk intervensi pemerintah dalam perekonomian karena hal itu akan berpengaruh pada berkurangnya keuntungan yang mereka terima. Melalui kebijakan politik negara-negara maju dan institusi moneter seperti IMF, Bank Dunia dan WTO mereka mampu memaksakan penggunaan kembali paham liberalisme gaya baru atau yang lebih dikenal dengan sebutan paham neo-liberalisme.

DOWNLOAD GRATIS BUKU INI DENGAN COPY LINK INI : http://www.ziddu.com/download/4478360/NeoliberalismeMencengkeramIndonesia.zip.html

Meletakkan Kebenaran Di Atas Koalisi


               Turbulensi politik seringkali tidak mencerminkan proses pencarian menuju sebuah kebenaran. Bahkan dalam praktiknya, pertarungan politik yang terjadi selalu berbicara tentang kepentingan yang menguntungkan segelintir. Apakah itu soal kekuasaan,citra pro rakyat maupun soal tetek bengek urusan bargaining sekelompok kekuatan politik yang memancing di air keruh. Hal semacam ini yang tercermin dalam pola, gerak, mimik, retorika anggota pansus Century. Lantas kemudian terdengar isu perombakan kabinet,hal ini kita tidak bisa lepaskan bahwa kabinet adalah cermin politik anggota pansus. Namun pertanyaannya adalah,bagaimana kita sebagai rakyat kecil memandang turbulensi dan isu perombakan tersebut ?

                Sebagai pemegang sah mandat dari rakyat dalam bingkai sistem presidensial, tentunya presiden punya hak prerogatif untuk mengganti menterinya. Namun, selama pergantian itu terindikasi untuk menekan proses pencarian kebenaran di panggung pansus,tentunya kita tidak bisa menutup mata. Tidak bisa kita acuh karena kebenaran sejatinya adalah milik rakyat juga. Isu perombakan dihembuskan oleh petinggi partai demokrat yang menilai anggota koalisi banyak yang keluar jalur.Ibarat permainan sepakbola, partai demokrat memandang banyak pemain yang tidak seirama dengan tim,harus diganti. Padahal koalisi tidak sama dengan tim sepakbola. Sejatinya koalisi dibangun atas dasar komitmen bersama membangun bangsa di atas warna-warni politik identitas.Tetapi jangan sampai hal ini diartikan sebagai sebuah penyeragaman atau monopolitik ketika berhadapan dengan pencarian kebenaran. Artinya, kebenaran harus tetap dijunjung di atas segala kepentingan politik.

                Melihat peta politik sementara di pansus, memang membuat partai pemimpin koalisi harus memutar otak. Dari sekian banyak partai pendukung pemerintah, hanya PKB dan Demokrat yang menyatakan bailout bank century tidak bermasalah. Kemudian muncul isu reshuffle membuat publik bertanya, jangan-jangan untuk menekan koalisi agar melunak. Persoalannya, pansus adalah forum politik yang tujuannya mencari kebenaran. Jika kebenaran harus dikubur dengan transaksi maupun pressure politik, sangatlah tidak elok jika kita yang berada dalam posisi pencari kebenaran (korban century).

                Benturan kepentingan di antara angggota koalisi memang berbau tidak terlalu sedap. Golkar  misalnya, begitu bersemangat mengungkap kesalahan pemberian bailout dikarenakan dugaan motif politik untuk mengganti jabatan Sri Mulyani dengan orang-orang Golkar. Sedangkan PKS,PPP,PAN memang dari sejak kabinet pertama,terkenal dengan gertak sambal yang seringkali berakhir tidak sepedas sambalnya. Terepas dari motif politik itu ,rakyat cuma butuh kebenaran diungkap secara konsisten. Kita juga akan mencatat partai mana yang akan surut dan mundur teratur sembari menjilat ludah ketika berhadapan ancaman reshuffle.

Silang menyilang dalam politik memang sebuah keniscayaan. Namun perlu kita ingat, selama pertarungan politik berada dalam arena mencari keadilan, walaupun terkadang berbau “tipu-tipu”, biarkan berjalan secara elegan dahulu. Jika memang terdapat kesalahan,mari mengaku salah. Tidak perlu dengan “menodongkan senjata” untuk menutup mulut anggota pansus. Jika memang koalisi dimaksudkan juga untuk menyeiramakan dalam kebobrokan, kesalahan, keburukan, menjadi pertanyaan bagi kita semua, apakah koalisi ada di atas kebenaran, atau kebenaran ada di atas koalisi ? Salam.