NALAR KOALISI TRANSAKSIONAL


Harold Lasswell (1936) pernah mengatakan bahwa Politics : who gets what and when. Pesan yang ingin disampaikan dari pengertian ini adalah politik tidak lepas dari tawar menawar yang sifatnya pragmatis. Defenisi lain tentang politik yang umum adalah politik sebagai seni kemungkinan (art of possibility) yang menyiratkan tidak ada yang tidak mungkin dalam ranah politik sehingga memunculkan sebuah adagium tak ada teman atau musuh abadi,yang ada hanyalah kepentingan. Pemahaman tentang politik ini perlu kita jadikan kompas dalam memaknai setiap perilaku politik yang dilakukan oleh kontestan dalam pemilu 2009.
Pemilu legislatif yang baru saja dilalui membuat elit-elit yang hendak maju menuju RI-1 dan RI-2 menimbang dan mulai berhitung.Berbekal dengan hasil perhitungan sementara dari berbagai lembaga survei yang melakukan quick count,mulai terlihat fragmentasi peta kekuatan. Hasil sementara real count KPU menempatkan Partai Demokrat bertengger di puncak,kemudian disusul oleh Golkar,PDI-P,PKS dan PAN ke dalam lima besar.Hasil ini cukup berbeda dengan pemilu 2004 dimana pemenangnya adalah partai besar yakni Golkar,PDI-P,PKB,PPP,PD. Namun,yang menjadi persamaan adalah tidak ada satupun partai yang perolehannya mencapai 50 persen untuk menjadi modal strategis di parlemen. Untuk mengisi ruang–ruang inilah kemudian koalisi dibutuhkan untuk menciptakan pemerintahan yang kuat.
Wacana koalisi ini mendapat tempat dalam era demokrasi pasca orde baru. Sebelumnya,demokrasi yang terjadi hanya demokrasi semu yang pemenangnya sudah diketahui sebelum pemilu berlangsung.Hari ini dengan banyaknya partai politik yang ikut pemilu,membuat suara mayoritas sulit untuk dicapai. Ditambah lagi adanya syarat menjadi presiden diatur dalam undang-undang dimana dapat dilakukan oleh partai atau gabungan partai dengan perolehan suara pemilu legislative di atas 20% kursi DPR atau 25% suara sah.
Kebutuhan akan koalisi juga berdasarkan pertimbangan pengamanan penguatan kekuatan politik di parlemen. masing-masing partai akan berkoalisi dengan partai lain dan calon yang punya perolehan kursi signifikan di legislatif. Hal ini penting karena menurut UUD 45 Pasal 20 A UUD 1945 hasil amandemen menyatakan DPR memiliki fungsi legislasi,fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Dalam ayat 2 disebutkan pula DPR mempunyai hak interpelasi,hak angket dan hak menyatakan pendapat.Oleh sebab itu untuk mengamankan jalannya pemerintahan selama 5 tahun ,kontestan politik yang hendak maju ke pemilihan presiden harus berkoalisi.
Namun,yang menjadi persoalan adalah apakah koalisi dengan berlandaskan kesamaan ideologi,visi misi,program kerja memang mungkin terjadi ?. Atau jangan-jangan hal itu hanya menjadi etika politik ideal yang berbeda dengan realitas politik yang memang berlandaskan kekuasaan.Politik dalam tataran realitas hanya dimaknai sebagai alat pencapaian karir politik.Etika politik hanyalah sebagai bentuk penghalusan dari realitas kejamnya dunia politik dan bukan sebagai norma-norma dalam perilaku politik.Pandangan seperti ini sebenarnya mereduksi makna politik itu sendiri.
Demokrasi sejatinya memang tidak bisa dilepaskan dari proses-proses transaksi. Artinya ada pertukaran dari satu pihak kepada pihak lainnya.Namun proses transaksi dalam demokrasi yang sehat mengambil wujud pertukaran visi misi,ideologi,program maupun platform kontestan politik dengan dukungan pemilih. Proses transaksional yang tidak sehat tersebut sebenarnya secara tidak langsung menelanjangi sebuah fakta bahwa pasca reformasi perwujudan demokrasi tidak dimaknai sebagai penghormatan kepada kedaulatan rakyat. Melainkan menjadi ajang dan ruang segelintir orang yang memiliki kuasa dan uang untuk mereduksi demokrasi substansial menjadi sekedar demokrasi transaksional. Dalam arti demokrasi transaksional disini menyiratkan model demokrasi yang mengandung hubungan timbal balik dengan menganggap pemilih berada dalam bingkai hubungan dagang atau ekonomi.
Kita bisa melihat bahwa koalisi parpol untuk menghadapi pemilu pilpres 2009 belum ada satu partai pun yang lantang dan komprehensif menyuarakan koalisi atas dasar ideologi,visi misi,platform dan program kerja.Nafsu bagi-bagi kekuasaan dibalut dengan logika bahwa koalisi dengan partai yang bertolak belakang secara prinsip adalah murni untuk kepentingan bangsa yang lebih besar lagi.Padahal,nafsu kekuasaan itu kemudian bisa dilihat secara telanjang di saat koalisi yang rapuh dan malah memutuskan bersikap mendua dalam bingkai koalisi. Hal ini pernah terjadi pada saat koalisi 2004 dalam pemerintahan SBY.
Koalisi yang tidak berdasar platform yang sama memang akan rentan pecah dan berpotensi menggadaikan suara pemilih. Sangat jelas bahwa apa solusi yang ditawarkan PKS dengan PDS berbeda dalam menghadapi sebuah permasalahan sosial.Partai tersebut dipilih oleh konsituennya karena menganggap bahwa solusi atau ideologi yang dimiliki partai bisa membawa jalan keluar permasalahan sehari-hari pemilih.Namun,dengan mudahnya sekian persen suara partai “dibajak” oleh elit partai sesuai dengan peluang berkuasa.Partai tidak peduli dengan koalisi yang bertolak belakang satu sama lainnya dari segi ideologi dan program kerja.Kekuasaanlah yang menjadi satu-satunya kesamaan partai-partai yang berkoalisi tersebut.
Logika koalisi pragmatis ini sebenarnya dimulai dari munculnya fenomena “matinya ideologi” dalam tubuh partai. Partai semakin pragmatis dalam memaknai sebuah kekuasaan.Kaderisasi dalam tubuh partai absen di isi dengan penerapan nilai-nilai ideologis. Ditambah lagi masih rendahnya partisipasi konstituen untuk mengawal suaranya pada partai pilihan membuat elit begitu mudah memperjualbelikan suara rakyat.
Akibatnya adalah lagi-lagi korbannya adalah rakyat banyak. Koalisi pragmatis yang berlandaskan bagi-bagi kekuasaan semata sebenarnya tidak memberikan pendidikan politik pada publik.Dalam alam karakter feodalisme bangsa Indonesia,contoh yang diperankan oleh elit membuat rakyat juga tertular nalar-nalar oportunistik dalam politik. Selain itu,harapan rakyat agar pemerintahan berjalan stabil juga masih rentan. Stabilitas politik merupakan salah satu kunci bagi pembangunan bangsa. Lantas,ketika konflik-konflik elit yang terkadang menarik-narik massa akar rumput sangat mengancam kesatuan dan roda pembangunan.
Untuk keluar dari benang kusut nalar bangunan koalisi paragmatis ini hendaknya dibangun dari basis yakni partai politik. Partai mau tidak mau harus kembali ke khittah-nya sebagai pencetak kader-kader ideologis.Kita harus belajar bagaimana partai-partai pada masa pemilu 1955 berdebat dan menjalin kerjasama atas dasar kesamaan pandangan terhadap bangunan Indonesia.Bahkan,anggota dewan pada saat itu rela mendapat gaji yang minim namun bisa memperjuangkn pandangan-pandangan politik ke-Indonesiaanya.
Atau barangkali politik hanya dimaknai sebagai suatu yang banal, “ bahwa siapa mendapat posisi apa dalam situasi apa”. Kita jangan mau tertipu dengan koalisi atas nama rakyat. Slogan rakyat hanyalah bungkus untuk menutupi nalar koalisi pragmatis. Sudah saatnya pemilu dijadikan angin segar perubahan dan penghukuman bagi calon-calon yang hendak maju. Cara masyarakat memaksa partai untuk kembali ke prinsip ideologinya adalah dengan cara “menghapus nafsu kuasa” elit partai dengan cara memilih partai dan calon yang berpikiran dan bertindak ideologis dan menghukum dengan tidak memiih partai yang oportunis. Diharapkan partai berbenah diri untuk kembali pada jiwa ideologisnya dalam meraih simpati publik.Namun,jika pembenaranya koalisi dibangun bukan dari sisi kesamaan idelogi,maka untuk apa partai kemudian memiliki keyakinan ideologi.
Adi Surya Purba
Ketua DPC GMNI Sumedang
DPD KNPI Bidang Hukum dan HAM
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial

Reformasi Di Persimpangan Jalan


Dalam Pidato Lahirnya Pancasila di Bandung, Bung Karno mengatakan bahwa kemerdekaan bukanlah kata akhir. Merdeka dimaknai sebagai sebuah “jembatas emas” dimana hanya sebagai pintu gerbang untuk menyempurnakan sebuah tatanan masyarakat yang berkeadilan. Begitu juga dengan reformasi yang menghasilkan kebebasan dan demokrasi. Kita tidak boleh menganggap demokrasi adalah tujuan final,sehingga kita lupa untuk mensejahterakan dan mengelola demokrasi tersebut untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Apa yang mau disampaikan di sini adalah,bahwa alat dan tujuan itu berbeda. Bahwa reformasi hanyalah sebuah pintu gerbang dan demokrasi merupakan alat (tools).
Namun,tendensi ke arah pengerdilan demokrasi sebagai wujud kedaulatan rakyat semakin kental. Demokrasi memang bukan dijadikan tujuan,namun menjadi alat untuk celah berkuasanya para pembajak demokrasi. Kebebasan yang diwartakan demokrasi menjadi legitimasi elit-elit untuk kepentingan diri dan kelompoknya sendiri. Demokrasi kita hari ini adalah demokrasi semu,demokrasi yang makan-memakan dan cenderung proseduralistik namun miskin aspek substantif. Artinya,reformasi yang menelurkan demokrasi belum mampu dikelola secara efektif dalam memajukan kesejahteraan umum.Kita masih jauh dari demokrasi politik yang menjamin hak-hak rakyat tersampaikan,kita masih bermimpi dengan demokrasi ekonomi dimana terkandung kesejahteraan yang berkeadilan sosial.Rakyat masih menjadi objek demokrasi dan belum bisa berdikari dalam ekonomi.
Reformasi diartikan sebagai perubahan bertahap melalui perundang-undangan, artinya melalui proses legislatif yang konstitusional-demokratis. Reformasi (Latin: reformare) berarti: (1) Perbaikan melalui perubahan bentuk atau dengan menghilangkan yang salah-salah, (2) Mengakhiri ketidakbaikan dengan menggunakan paradigma, cara, metoda baru yang baik, (3) Pembaruan instrumental-prosedural (nonprinsipal).Perubahan hubungan kelembagaan memang telah banyak berubah,amandemen UUD boleh saja dilakukan,puluhan regulasi (peraturan) telah terselesaikan. Namun,itu hanya perubahan dalam tataran permukaan dan belum menyentuh kepentingan rakyat.
Di lapangan politik,rakyat masih menjadi penonton dagelan teater politik elit. Harusnya dalam demokrasi,menjadi subjek itu penting dan memang hakikatnya. Namun,partisipasi masyarakat hanya rutinitas lima tahunan dalam bilik-bilik suara.Bahkan tidak sedikit yang kemudian memilih “say no to politics”. Hari ini walau sudah ada sedikit kemajuan dalam memaknai demokrasi,rakyat secara keseluruhan masih buta politik.
Dalam ruang ekonomi,kesenjangan sosial makin mengangga.Angka kemiskinan masih saja tinggi. Kata sejahtera mash menjadi mimpi di siang hari.Di meja makan kadang hanya tersedia lauk pauk “keluh kesah” akibat semakin mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.Rakyat sebenarnya tidak minta banyak. Rakyat mayoritas ingin cukup sandang,pangan dan papan.Bahkan terkadang hanya dengan bisa makan tig kali sehari pun sudah terasa bak “oase di padang tandus”. Reformasi tidak banyak bicara tentang ekonomi,namun asyik berkubang dalam lingkaran politik semata. Padahal seperti kita ketahui,demokrasi politik saja tidaklah cukup.Kebijakan neoliberal pemerintah harus dirombak dengan pola-pola negara kesejahteraan (welfare state) agar pemerintah sadar bahwa tangung jawabnya besar dalam bidang pendidikan,ekonomi,politik dan sosial budaya.
Reformasi Indonesia yang digaungkan sebelas tahun yang lalu oleh mahasiswa dan kelas menengah lainnya memang tidak punya road map yang komprehensif.Reformasi bukanlah hal yang matang direncanakan,namun masih tampak ibarat “mendapat durian runtuh”. Akibatnya elit-elit yang kemudian berganti jubah menjadi pendukung reformasi yang kemudia mengambil alih kemudi.
Untuk mengembalikan reformasi pada rel-nya ada beberapa langkah yang bisa kita pertimbangkan. Pertama,mengamandemen UUD 45 secara radikal dengan menghapus pasal-pasal yang selama ini menjadi biang karut marutnya persoalan.Cara ini mungkin tampak beresiko tinggi.Namun, terkadang kita harus berani melakukan hal besar demi mendapat hasil yang maksimal pula. Kedua,memilih pemimpin yang pro agenda reformasi pro rakyat. Pemilu adalah momentum strategis untuk mewujudkan hal itu. Jangan pilih pemimpin yang mengingkari janji dan tidak pro rakyat.
Ketiga,penguatan instrumen civil society ( LSM,Pendidikan tinggi,pers dan insitusi hukum). Hal ini sangat penting untuk menjembatani antara masyarakat dengan negara.Peran yang dambil instrument ini bisa bersifat komplementer,korektif dan mitra bagi pemerintah.Hal ini untuk merangsang tingkat partisipasi rakyat dalam pembangunan yang bottom up.
Reformasi hanya menjadi jargonistik ketika hanya berada dalam ruang romantisme sejarah belaka. Ia butuh perwujudan dalam komitmen langkah-langkah operasional yang dilandasi oleh kemauan atau niat baik (good will).Maka,jika pelaksanaanya sudah berada dalam jalur yang benar,reformasi dan kesejahteraan bukan lagi mimpi,melainkan harapan yang terus menerus diperjuangkan.
Adi Surya Purba
Ketua DPC GMNI Sumedang
·          

Mencari Pemimpin Yang Bervisi Pendidikan


Jika memang kita sepakat dengan faktor pendidikan sebagai alat untuk membangun karakter bangsa,mengapa tidak ada satu pun koalisi partai berbicara lantang soal pendidikan ?. Atau jika pun ada, tidak lebih hanya sebagai komoditas politik untuk menampilkan citra pro rakyat dalam merayu pemilih dalam bingkai pemilu. Menjelang pemilihan presiden 2009,salah satu cara untuk menilai calon-calon yang layak dipilih adalah soal komitmennya pada peningkatan kualitas dan penyelenggaraan pendidikan yang bisa di akses setiap warga negara dengan murah dan gratis.
Komponen utama pendikan berada dalam wilayah peserta didik,pengajar dan sistem pendidikan. Sebagai peserta didik,setiap warga negara sesuai dengan amanat Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional berhak memperoleh pendidikan yang bisa dinikmati setiap warga dan tentunya berkualitas. Namun,hari ini realitanya sangat jauh dari teks–teks heroik dalam regulasi tersebut. Masih banyak anak-anak Indonesia tidak bisa memperoleh pendidikan. Bagi yang beruntung bisa memperolehnya,khususnya pendidikan tinggi,biayanya semakin tidak terjangkau. Pemenuhan dan pelaksanan realisasi anggaran pendidikan 20 persen dengan tepat sasaran akan sangat membantu keluar dari permasalahan ini.
Pengajar (guru dan dosen) yang dilabelkan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa,bukan berarti mengabaikan kesejahteraan mereka. Undang-undang Guru dan Dosen yang sudah ada,ternyata masih jauh panggang dari api. Banyak kasus yang kita lihat pengajar yang mencari kerja sampingan untuk memenuhi kesejahteraan keluarga mereka. Sebagai manusia yang diamanatkan tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa. Tingkat kesejahteraan guru dan dosen harusnya mendapat perhatian yang prioritas.Perhatian terhadap gaji dan peningkatan kualitas guru melalui Diklat,pelatihan dan award bagi pengajar yang difasilitasi pemerintah setidaknya memberi motivasi lebih untuk berkarya.
Untuk melaksanakan itu,sistem pendidikan harus dibenahi.Nilai positif dipertahankan dan sisi negatif dikaji ulang. Hari ini sistem kurang memihak pada pendidikan murah dan berkualitas.Pendidikan adalah barang yang mahal. Sedangkan seleksi kelas miskin dan kaya terus bergulir kencang. Indonesia butuh pemimpin untuk keluar dari carut marut pendidikan. Kita sedang mencari pemimpin yang bervisi ke depan mewujudkan pendidikan murah dan berkualitas.
Pemilu adalah momentum untuk melakukan itu.Melihat track record dan janji kampanye layaknya kita ketahui dan kita kawal realisasinya. Pembentukan konsituen penagih yang difalisitasi oleh instrumen civil society seperti LSM bisa menjadi wacth dog yang memantau komitemen itu berjalan di lapangan. Untuk itu kita sebagai pemilih cerdas,sudah saatnya katakan tidak pada pemimpin yang tidak pro pendidikan buat semua (education for all).
Adi Surya Purba
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fisip Unpad
Aktvis GMNI

Pemberantasan Korupsi Harus Jalan Terus


Wajah pemberantasan korupsi di Indonesia sedang mengalami cobaan berat. Lembaga KPK yang digawangi Antasari Azhar ini harus kehilangan pemimpinnya yang telah di non-aktifkan sebagai ketua KPK. Dugaan keterlibatan dengan penetapan status tersangka pada Antasari memang membuat kita terkejut.Pasalnya,gebrakan KPK di bawah kawalan Antasari sangat garang menangkap tikus-tikus koruptor dengan berbagai modus kejahatan. Namun,hal ini kemudian menjadi ironi.Sang pendekar anti korupsi yang biasanya berperan meyidik kasus,sekarang harus disidik.
Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dijelaskan, salah satu gagasan awal pembentukan KPK tidak lepas dari performance capaian lembaga penegak hukum yang ada, dalam hal ini adalah kepolisian dan kejaksaan. KPK lahir sebagai akibat gagalnya lembaga-lembaga penegakan hukum tersebut dalam pemberantasan korupsi. UU 30/2002 meletakkan korupsi sebagai extraordinary crime. Dengan kategori itu, penegakan hukum ( law enforcement ) pemberantasan korupsi juga menghendaki cara-cara yang luar biasa pula.
Melihat tugas besar KPK,kehilangan salah satu punggawa bukan berarti bahwa kasus-kasus korupsi akan mandeg.Selama ini kita masih terjebak dengan pola kepemimpinan berdasarkan figur dan mengabaikan team work.Coba kita lihat dalam proses-proses seleksi anggota lembaga – lembaga negara,hampir semua tersita pada siapa figur ketua dan mengabaikan faktor anggota yang lain. Undang-undang mengamanatkan bahwa KPK terdiri dari lima orang dan bukan satu orang.Dari sini,kita bisa melihat bahwa pemberantasan korupsi tidaklah urusan figuritas ketua KPK semata,melainkan pembagian kerja.Antasari hanya salah satu personel dalam sebuah sistem kerja kolektif pemberantasan korupsi dalam tubuh KPK.
Wacana politik yang bergulir untuk mencoba mengganggu kinerja KPK sangatlah tidak etis. Hal ini tampak pada pertemuan KPK dengan komisi III DPR RI dimana muncul pendapat yang mengatakan bahwa KPK tidak dulu menangani kasus-kasus korupsi karena anggotanya belum lima orang seperti yang diamantakan undang-undang.Padahal,KPK tidak bergantung pada satu orang dalam memberantas korupsi.Kasus ini adalah perkara pribadi dan bukan persoalan institusi. Jadi KPK harus tetap menebar jala untuk menjerat koruptor-koruptor di negeri ini.
Apapun hasil dari proses hukum terhadap kasus ini. Kita harus tetap mengutamakan asas praduga tak bersalah.Kita juga tidak harus men-judge tanpa bukti yang kuat.Biarlah hal ini menjadi ranah hukum dan tidak dipolitisir.Pemberantasan korupsi sebagai kejahatan luar biasa adalah tanpa syarat. Siapapun yang terkena akan mendapat jerat hukum. Tidak peduli sepuluh Antasari yang terjerat,pemberantasan korupsi harus jalan terus.
Adi Surya Purba
Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial
Fisip Unpad
Aktivis GMNI